Dinamika Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa
Timur, langsung, menghangat meskipun baru memasuki tahap awal. Proses
registrasi sudah diwarnai kericuhan hingga berlangsung dua hari. Sidang
pertama yang membahas tata tertib bahkan mengalami deadlock dan terpaksa
diskors dalam waktu panjang. Sumber kesemrawutan di agenda awal
pelaksanaan muktamar adalah polemik seputar pemberlakuan sistem ahlul
halli wal aqdi (AHWA) dalam memilih pemimpin baru NU. Elitee dan
muktamirin terjebak dalam faksi pro dan kontra AHWA.
Kondisi
ini sebenarnya patut disayangkan, mengingat muktamar kali ini
berlangsung di kota kelahiran sekaligus lokasi makam para pendiri NU.
Muktamar tahun ini ditargetkan dapat menjadi momentum kembali ke khitah
serta menguatkan NU sebagai ormas terbesar di Indonesia, dalam
memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa. Semua elemen NU, khususnya
elite dan muktamirin penting menyikapi dinamika ini secara bijak dan
berupaya mencapai titik temu dengan motivasi menggapai rahmat. Hal ini
mengingat perbedaan atau polemik seputar AHWA akan menjadi rahmat jika
terkelola dengan baik.
AHWA dapat berfungsi menjadi
semacam mahkamah organisasi, sekaligus menjadi ahul ihtiyar untuk
memilih pengurus harian, mulai ketua dan wakil ketua tanfidziyah, katib
syuriyah, dan pengurus harian lainnya (Usman, 2015). Selanjutnya
dikemukakan bahwa bentuk AHWA ada pilihan dua alternatif. Pertama,
AHWA adalah wadah berkumpul orang-orang terpilih yang keanggotaannya
bersifat tetap di struktur NU. Sebagai badan informal namun dilegalkan
dalam AD/ART NU. Selain itu, dapat menjadi lembaga ad hoc untuk
keperluan muktamar.
Kedua, AHWA menjadi lembaga
syuriyah yang diberi kewenangan tambahan sebagai mahkamah organisasi.
AHWA memiliki hak veto untuk membatalkan struktur pengurus NU, maupun
badan otonom NU yang tidak sesuai khitah NU. AHWA diusulkan
terdiri atas ulama punya kehormatan (karomah) tinggi dengan legitimasi
moral yang sangat kuat atau kredibel. Syarat menjadi anggota AHWA adalah
pengikut ahlussunnah wal jamaah, tidak pernah melanggar khittah NU,
zuhud, alimun bi ulumid-dunya wal akhiroh, dan tidak pernah terlibat
kejahatan perdata atau pidana.
Dalam perkembangan,
bergulirnya wacana hingga pelaksanaan muktamar dapat terpetakan dua kubu
pro dan kontra. Kubu pro diindikasikan berada pada sekelompok PWNU dan
PCNU yang ingin menjadikan kembali Gus Mus sebagai Rais Aam dan Said
Aqil Siraj sebagai Ketua Tanfidziyah.Kelompok ini disinyalir
oleh yang berseberangan didukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) serta
didominasi panita pelaksana. Kubu kontra adalah mereka yang mendukung KH
Hasyim Muzadi sebagai Rais Aam dan Gus Sholah sebagai Ketua
Tanfidziyah.
Malik Madani yang mengklaim sebagai
pengagas AHWA mengemukakan, muktamar kali ini belum bisa menerapkan
langsung AHWA. AD/ART terutama Pasal 19 mesti diubah terlebih dahulu.
Pelaksanaan sistem AHWA paling cepat adalah pada muktamar berikutnya. Polemik
AHWA di satu sisi wajar dan membuktikan terbukanya iklim demokrasi dan
diskusi di tubuh NU. Namun, di sisi lain ini mengkhawatirkan timbulnya
petaka.
Pertama, petaka retaknya keutuhan roh
organisasi. Polemik ini berpotensi berkelanjutan pascamuktamar dan
menganggu soliditas NU. Kedua, petaka memudarnya pondasi
ahlussunnah wal jamaah. Kondisi penuh polemik apalagi konflik rentan
disusupi berbagai kepentingan, mulai politik hingga ideologi.
Ketiga, adalah petaka delegitimasi hasil muktamar. Hal ini berbahaya bagi kelangsungan NU ke depan.
Penyikapan Bijak
NU
sebagai ormas terbesar memiliki banyak anggota dan pengurus yang
menyebar ke berbagai parpol dan elemen lainnya yang heterogen. Polemik
AHWA penting disikapi bijak dan segera dicari titik temu antarpihak. Hal
ini demi menjaga marwah NU.
Semua elemen NU memiliki
tanggung jawab yang sama dalam menemukan resolusi seputar polemik AHWA
ini. Pertama, semua pihak penting menyadari rumah besarnya adalah NU dan
ideologi dasarnya adalah ahlussunnah wal jamaah. Apalagi, muktamar
berlangsung di kota kelahiran NU dan lokasi makam para pendiri NU. Ini
mestinya dapat menjadi motivasi tersendiri. Kepentingan politik dan
kekuasaan mestinya disingkirkan jauh di bawah kepentingan besar NU.
Kedua,
elite atau pemimpin NU sekarang penting memberikan teladan. Meskipun
terbagi menjadi kubu pro dan kontra, semestinya tidak vulgar diluapkan
di depan muktamirin. Iklim diskusi dan debat yang beretika penting
dijunjung. Semua mesti sadar, puluhan juta pasang mata selalu
mencermati gerak gerik mereka sepanjang muktamar ini. Ketiga, resolusi
penting dicapai melalui kesepakatan antarkubu. Pemimpin dan panitia
mesti adil dan mempertemukan kedua kubu.
Guna
memuluskan dan memperlancar pertemuan, penting dimediasi tokoh senior
atau kiai kharismatik yang bebas kepentingan dan diterima kedua kubu.
Iklim musyawarah mesti dikedepankan demi nama besar dan masa depan NU.
Keempat,
tokoh-tokoh yang maju atau dimajukan dalam bursa mesti dalam garda
terdepan menyelesaikan polemik. Mereka mesti berperan mengendalikan kubu
masing-masing. Pernyataan yang dilontarkan baik secara langsung maupun
melalui media, penting tetap berada pada kadar yang menyejukkan agar
tidak memperuncing polemik.
Bangsa Indonesia menaruh
harapan besar kepada NU guna meneguhkan peran Islam yang rahmatan lil
‘alamin. Selain NU, berlangsung muktamar ormas besar lainnya, yaitu
Muhammadiyah di Makassar.
Publik jangan sampai
membandingkan kedua hajatan tersebut. Kedua muktamar adalah momentum
besar milik bangsa yang harus sama-sama kuat dan dihargai masyarakat. NU
dan Muhammadiyah adalah aset bangsa dan umat, yang mesti dirawat demi
mengawal pemerintahan agar pro umat serta berperan besar bagi peradaban
global.
Penulis adalah Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration).
05 Agustus 2015 oleh:
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar