NAHDLATUL Ulama (NU) dan Muhammadiyah sedari dulu mempunyai hubungan
sangat erat karena samasama ahlus sunnah, memedomani Alquran dan hadis,
dan bersikap moderat. Pendiri NU, KH Hasyim Asyíari, dan pendiri
Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, kebetulan juga nunggal guru pada KH
Sholeh Darat.’ Usai bermuktamar, idealnya kedua ormas itu mengambil
langkah-langkah yang dijiwai semangat kebersatuan sehingga makin
mengukuhkan kekuatan umat Islam Indonesia. Muktamar NU di Jombang
mengetengahkan tema Islam Nusantara.
Tema ini mengandung arti berorientasi pada masa lalu menyangkut
keberhasilan ulama, kiai, atau mubalig dalam dakwah sehingga Islam
dipeluk mayoritas bangsa kita. Muktamar Muhammadiyah di Makassar
mengemukakan tema Islam berkemajuan, yang mengandung implikasi
futuristik dan modern. Tema itu bukan sesuatu yang baru, mengingat
sedari awal KH Ahmad Dahlan mengemukakan cita- citanya membimbing umat
Islam supayamaju. D a l a m muktamar ke- 46 di Yogyakarta tahun 2010
diputuskan memasyarakatkan Islam yang berkemajuan supaya terwujud umat
Islam yang maju. Perspektif Islam Nusantara pada intinya menggambarkan
dakwah para ulama, kiai, atau mubalig pada masa lalu di wilayah
kepulauan yang kemudian disebut Indonesia.
Dakwah itu dilakukan dengan damai dan santun sehingga tidak
menimbulkan pertentangan ataupun penentangan. Para mubalig yang
menunjukkan keberhasilannya dalam dakwah itu terutama mereka yang
disebut Walisongo, yaitu Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Drajat, Sunan
Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Sunan
Gunung Jati. Faktor keberhasilan mereka antara lain pertama, dakwah
dilakukan secara arif dan bijaksana, damai dan santun serta berupaya
mengakomodasi budaya dan kearifan lokal yang kemudian diisi ajaran
Islam. Kedua, kebanyakan dari mereka beraliran sufi sehingga memudahkan
memasukkan ajaran Islam kepada penduduk yang semula Hindu yang berpegang
pada teologi panteisme. Ketiga; mereka berdakwah melalui berbagai
bidang kehidupan seperti perdagangan, pernikahan, pendidikan, politik,
sosial, dan seni budaya. Keempat, karena ajaran Islam mudah dipahami,
lentur, dan tak mengenal kasta. Namun dakwah para wali itu belum selesai
sehingga perlu diteruskan oleh mubalig generasi penerus. Pekerjaan
rumah yang harus mereka selesaikan adalah masih banyaknya umat yang
keislamannya baru sebatas pengakuan.
Mereka bukan saja belum sepenuhnya mengamalkan melainkan ada sebagian
yang menentang ajaran Islam. Di samping itu masih ada sinkretisme. Oleh
karena itu perlu reorientasi model dakwah guna menyempurnakannya. Kiai
Ahmad Dahlan hidup pada zaman penjajahan Belanda. Ia melihat bangsanya
terbelakang dan tertinggal dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial,
serta kejumudan berpikir di kalangan umat Islam. Maka sejak mendirikan
Muhammadiyah, ia sudah menyeru kepada umat Islam untuk memiliki
pemahaman Islam berkemajuan supaya tidak tertinggal dari bangsa lain
yang sudah maju. Model Terbaru Sebagai ulama, ia mempelajari pendapat
imam mujtahidin dan mujadid tetapi ia tidak terikat pada pendapat
sesorang dari mereka.
Untuk memajukan umatnya ia mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti
asuhan anak yatim. Waktu itu ia mendirikan lembaga Penolong
Kesengsaraan Oemoem (PKO. kini PKU), pengamalan secara modern Surah Al
Ma’un. Dia senantiasa mengajak umat Islam mengikuti kemajuan iptek,
bersikap terbuka terhadap budaya Barat yang tidak bertentangan dengan
Islam. Selain itu, kembali kepada kemurnian (purifikasi) ajaran Islam
sesuai dengan tuntunan Alquran dan hadis. Sehubungan kemajuan iptek,
pelaksanaan dakwah pun ditinjau dengan kacamata iptek.
Pernah muncul konsep dakwah jamaah, kemudian dakwah kultural. Model
dakwah kultural merupakan reorientasi dari dakwah yang semula lebih
mengarah purifikasi tapi mendapat resistensi dari sebagian masyarakat.
Model terbaru dakwah berdasarkan keputusan Muktamar Ke-47 Muhammadiyah
adalah dakwah komunitas. Dalam tinjauan ilmu komunikasi, mubalig
(komunikator) harus memperhatikan kondisi orang yang didakwahi
(komunikan), apakah dalam bentuk audiens (jamaah), publik, atau massa.
Komunikan itu pun bisa berupa kelompok tingkat atas, menengah atau
tingkat rendah dan pinggiran.
Bisa juga kelompok militer, polisi, pegawai, buruh, petani, pelayan,
musikus, dan sebagainya. Mubalig atau dai harus memperhatikan latar
belakang pengetahuan, pendidikan, pengalaman, dan kebudayaan dari
kelompok itu. Jadi, ia pun harus menyesuaikan materi, metode, dan media
dakwahnya demi efektivitas penyiaran Islam.
H Ibnu Djarir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar