SUNGAI, selain sebagai urat nadi perekonomian juga menjadi sumber
kehidupan petani dan petambak karena memasok air untuk irigasi pertanian
dan sirkulasi air tawar dan air payau. Sungai juga menjadi sumber
energi pembangkit listrik.
Sungai yang bersih menjadi objek pariwisata. Sayang, saat ini sungai
sedang sakit, bahkan beberapa di antaranya kritis. Kondisi ini
menimbulkan dampak ikutan dalam bentuk banjir dan kekeringan.
Sungai tak lagi mampu menampung air larian yang makin besar di musim
hujan. Makin besarnya air larian menyebabkan cadangan air tanah menyusut
sehingga menimbulkan kekeringan sebagaimana kita alami sekarang. Data
tentang kerusakan daerah aliran sungai (DAS) juga terus meningkat.
Tahun 1984 tercatat 22 DAS rusak, tahun 1992 meningkat 39 DAS dan
tahun 1998 menjadi 59 DAS, dan saat ini lebih dari 70% DAS dalam kondisi
kritis. Persoalan kedua adalah pencemaran. Sungai ibarat supermarket,
segala macam benda bisa kita temui. Di Jawa Tengah, tercatat 136 sungai
dalam kondisi tercemar.
Karena berbagai hal itulah, sungai dalam kondisi kritis, sumbangannya
untuk kehidupan kita makin merosot. Legenda Joko Tingkir tinggal
kenangan. Kini Bengawan Solo tampil sebagai sungai yang menakutkan. Di
sepanjang DAS, warga dihantui ketakutan datangnya banjir manakala musim
hujan.
Imbalan Uang
Banjir besar terjadi tahun 1966 dan 2008. Akhir 2008, banjir di DAS
Bengawan Solo menimbulkan kerugian sangat besar, yaitu di Kabupaten
Sragen Rp 232,728 miliar, Kota Solo Rp 36,5 miliar, Blora Rp 9 miliar,
sedangkan di Jatim yang meliputi Bojonegoro, Lamongan, Tuban, dan Gresik
mencapai Rp 589, 18 miliar.
Faktor penyebab kerusakan dan pencemaran sungai tak lepas dari sikap
penonjolan ego daerah. Indikasi dari sikap itu adalah sewaktu banjir
selalu diikuti saling lempar tanggung jawab. Banjir Jakarta menyalahkan
Depok dan Bogor.
Demikian pula Wonogiri yang menjadi hulu Bengawan Solo jadi tumpuan
kesalahan atas banjir sungai terpanjang di Jawa itu. Banjir dan
pencemaran di Sungai Babon yang berhulu di Ungaran, tengahnya di
Semarang, dan hilirnya di wilayah Demak juga selalu menjadi sumber
polemik.
Demak selalu teriak karena pencemaran yang diakibatkan buangan limbah
dari Semarang. Kota Semarang pun mengeluhkan alih fungsi lahan di
Ungaran memicu terjadi banjir di wilayah bagian timur. Sesungguhnya
konsep one river, one plan, dan one management telah diadopsi
kelompok-kelompok masyarakat.
Di Sungai Cidanau, Serang, Banten, para pemangku kepentingan duduk
bersama guna menyepakati pola pengelolaan sungai berdasarkan prinsip
imbal jasa lingkungan. Mereka yang berjasa di hulu dengan menanam dan
memelihara tanaman penghijauan dengan jumlah/luasan tertentu,
mendapatkan imbalan dalam bentuk uang dari pengguna di tengah dan hulu,
yakni perusahaan air minum dan industri.
Pasalnya industri itu menikmati air Sungai Cidanau dalam kuantitas
dan kualitas memadai. Kali Code di Yogyakarta juga dikelola baik oleh
komunitas sungai yang terdiri atas masyarakat, LSM, akademisi, dan dunia
usaha berdasarkan prinsip mundur, munggah, dan madhep.
Mundur artinya memundurkan rumah guna memberi ruang bagi sempadan
sungai. Munggah artinya membangun rumah vertikal karena keterbatasan
lahan dan supaya tak menjarah sempadan sungai. Madhep artinya
menghadapkan rumah ke sungai untuk mendorong penghuni merawat sungai
sehingga selalu tampak temata.
Inisiatif serupa sebenarnya telah dirintis pemkab/pemkot yang
dilewati Sungai Batanghari, Jambi, yang mengelola dengan prinsip
bio-region sejak awal 2002. Kota dan kabupaten yang dikitari di Teluk
Balikpapan juga menyusun rencana strategis untuk mengelola dengan pola
eco-region. Hasil nyata telah ditunjukkan oleh komunitas sungai yang
tumbuh dari bawah.
Kongres Sungai Indonesia (KSI) pada 26-30 Agustus 2015 di
Banjarnegara, kongres kali pertama tentang sungai, kita harapkan bisa
mempertajam persoalan akut sungai. Tentunya juga membedah akar
penyebabnya dan mengambil pelajaran dari beberapa langkah yang dilakukan
pemangku kepentingan. Selanjutnya, merumuskan rencana tindak
mengembalikan fungsi sungai sebagai sumber kehidupan dan peradaban.
Sudharto PHadi
http://berita.suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar