Pertanyaan ini sempat ditanyakan kepada saya beberapa bulan terakhir
ini. Apalagi hampir setiap bulan selalu ada berita di mana-mana yang
mengatakan Federal Reserve (The Fed) tidak jadi menaikkan suku bunga.
Lah, lantas sebenarnya ada apa sampai-sampai kebijakan ini juga ditunggu
oleh pelaku pasar di Indonesia bahkan hingga di seluruh dunia?
Agar
kita memahami kondisi The Fed di Amerika Serikat ini, setidaknya kita
perlu mengetahui bahwa beberapa tahun yang lalu, terjadilah sebuah
peristiwa bersejarah mengenai krisis kredit perumahan di AS yang dikenal
dengan "Krisis Subprime Mortgage" tepatnya pada tahun 2008.
Berbeda
dengan negara kita tercinta Republik Indonesia, negara-negara di
Amerika dan juga Eropa terjadi sebuah perlambatan ekonomi yang ditandai
dengan minimnya pertumbuhan inflasi di negara-negara tersebut. Untuk
mengatasi krisis, maka pemerintah Amerika melakukan sebuah kebijakan
‘uang murah’ yang dikenal dengan Quantitative Easing (QE).
Nah,
QE ini adalah sebuah strategi membanjiri pasar dengan uang berbunga
murah sampai dengan gratis. Jadi dalam bayangan sederhananya, negara
memanggil bank-bank yang ada lalu bank tersebut diberikan sejumlah dana
untuk disalurkan.
Apa tujuannya? Agar dengan bunga yang murah
itulah para rakyatnya dapat menggunakan uang lebih konsumtif sehingga
akan berdampak pada naiknya tingkat inflasi di negara tersebut.
Ya, inflasi itu kenaikan harga dan harga naik karena permintaan terhadap barang meningkat, teori ekonomi sederhana saja.
Masalah
negara maju adalah masyarakatnya memang tidak terlalu gemar konsumsi,
tidak seperti Indonesia yang masih berkembang. Alhasil, uang yang
diberikan dengan bunga murah, bahkan gratis, ini justru malah digunakan
untuk berinvestasi. Bursa AS telah pulih dan mendobrak rekor
tertingginya kembali di tahun 2013.
Pulihnya bursa bukan
diakibatkan karena perekonomian membaik, melainkan efek uang berbunga
murah masuk ke pasar-pasar investasi di bursa. Nah, uang hasil
‘pinjaman’ oleh AS dari QE itu, yang seharusnya bertujuan meningkatkan
inflasi AS, justru mengalir ke banyak negara lain, termasuk ke
Indonesia, baik masuk ke bursa atau pasar modal maupun dalam bentuk
lainnya.
Sadar karena jurus uang murahnya tidak memperbaiki
kondisi perekonomian, maka si uang murah ini ditarik kembali, yang
dikenal sebagai istilah ‘tapering’. Dan salah satu jurus dari
negara dan bank sentralnya untuk mengendalikan uang beredar adalah
dengan melakukan kebijakan menaikkan suku bunga.
Sebagai
pengendali yang memberikan keputusan atas kebijakan moneter AS, The Fed
sepanjang tahun 2015 ingin melakukan sebuah kebijakan ‘menarik uang
murah’ dengan menaikkan suku bunga.
Di sinilah letak
kekhawatiran para pelaku pasar di dunia, karena uang-uang murah menghuni
pasar modal, yang bila dananya ditarik dalam satu momen akan terjadi
penurunan.
Oleh karena itulah kebijakan The Fed menjadi sebuah
penantian bagi pelaku pasar karena dikhawatirkan dampaknya akan membuat
pasar finansial mengalami penurunan, termasuk di Indonesia.
Harga
saham yang kebanjiran uang murah tentunya akan meroket dan berubah dari
harga wajar menjadi harga yang tidak wajar ibarat membeli nasi goreng
di gerobak dengan membeli nasi goreng di hotel, sama-sama nasi goreng
tapi harganya berbeda.
Pada saat ini menjadi sebuah kekhawatiran
akan jatuhnya saham-saham berharga tidak wajar kembali ke harga semula
akibat ketidaksesuaian dengan kinerja perusahaan sebenarnya.
Meskipun
The Fed akan mempertahankan ataupun menaikkan suku bunganya, seorang
investor perlu melihat nilai perusahaan dibandingkan berfokus pada harga
saham, hanya seorang pedagang yang sangat peduli dengan harga.
10 Oktober 2015 oleh; Ryan Filbert
www.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar