Jumat, 18 September 2015

Inflasi dan Kondisi Perekonomian Indonesia

Di tengah ingar-bingarnya berita kenaikan nilai tukar rupiah, keluarnya data mengenai inflasi terakhir mungkin tidak terlalu menarik perhatian. Namun, ada beberapa hal mengenai tingkat harga yang berpotensi memperburuk keadaan ekonomi Indonesia.

Berbeda dengan masalah pelemahan nilai tukar yang merupakan isu global dan terjadi di hampir semua mata uang, inflasi Indonesia saat ini tidaklah mengikuti pola global. Angka terakhir inflasi bulan Agustus masih bertengger pada angka 7,18 persen per tahun, tidak jauh berbeda dengan inflasi dalam beberapa tahun belakangan ini.

Hal ini agak mencemaskan karena tren harga dunia menunjukkan adanya penurunan. Harga-harga komoditas dan pangan terus mengalami penurunan sejak akhir tahun lalu. Inflasi di hampir semua negara tetangga tercatat sangat rendah.

Vietnam, misalnya, hanya mencatatkan inflasi tahunan 0,9 persen, jauh di bawah inflasi rata-rata mereka yang mencapai dua digit. Thailand mencatatkan penurunan harga hingga 1,5 persen. Inflasi di Filipina bahkan mencapai tingkat terendah dalam dua dekade dengan perubahan harga tahunan kurang dari 1 persen.

Kecenderungan untuk inflasi Indonesia yang tetap tinggi perlu mendapatkan perhatian. Penyumbang terbesar angka inflasi adalah kenaikan harga bahan pangan. Angka inflasi Agustus menunjukkan tingkat inflasi tahunan bahan makanan dan makanan jadi mencapai 9,26 persen dan 8,39 persen. Harga eceran beras rata-rata nasional saat ini masih sekitar 40 persen lebih tinggi dibandingkan harga internasional yang cenderung menurun.

Dengan penurunan harga di pasar internasional, perlu ditanyakan mengapa harga pangan di Indonesia malah mengalami kenaikan secara signifikan. Mengapa penurunan harga internasional tidak tecermin di harga-harga domestik?

Salah satu jawabannya, karena kelangkaan pasokan bahan makanan. Keengganan pemerintah melakukan impor berbagai bahan pertanian telah menyebabkan kenaikan harga yang sering tak terkontrol. Tata niaga bahan pertanian yang restriktif juga membuat tak adanya mekanisme penyaluran produk yang pada akhirnya membuat kenaikan harga terjadi terus-menerus.

Harga pangan dan daya beli

Kenaikan harga produk pertanian sering dianggap sebagai salah satu cara untuk mendukung program swasembada. Kenaikan harga pokok pembelian beras hingga Rp 8.000 per kilogram diharapkan akan lebih mendorong produksi beras di dalam negeri. Pembatasan impor bahan pangan yang mendorong kenaikan harga juga diharapkan memberi insentif bagi petani dalam produksi berbagai bahan pangan lainnya.

Namun, tentu saja kenaikan harga tidak akan memberikan manfaat pada perekonomian secara keseluruhan, bahkan tidak untuk petani. Sebagian besar dari petani Indonesia adalah petani yang juga menjadi konsumen bahan pangan. Lebih dari 60 persen rumah tangga pertanian hanya memiliki lahan kurang dari setengah hektar dan tergantung dari bahan pangan yang mereka tidak hasilkan. Secara neto, dampak kenaikan harga bahkan mengurangi daya beli mereka.

Selain itu, kenaikan harga bahan pangan juga akan memicu kenaikan upah yang diminta oleh para pekerja non-pertanian. Dengan hampir 70 persen pekerja Indonesia berada di luar pertanian, dampak kenaikan bahan pangan akan mendorong kenaikan upah dan harga produk-produk lain. Akhirnya, kenaikan harga produk pertanian tidak akan dinikmati para petani dan hanya menimbulkan dampak inflasi.

Kombinasi antara pelambatan ekonomi dan kenaikan harga merupakan situasi yang jauh lebih mengancam daripada sekadar pelemahan nilai tukar. Kondisi stagflasi (stagnasi dan inflasi) akan menyebabkan berbagai kebijakan ekonomi, termasuk untuk meningkatkan belanja pemerintah, tidak akan menjadi efektif. Kebijakan fiskal yang ekspansif hanya akan menyebabkan kenaikan permintaan. Tanpa adanya peningkatan pasokan, permintaan tersebut hanya akan meningkatkan tekanan inflasi.

Kenaikan harga yang terus-menerus juga akan berpengaruh pada nilai tukar dalam jangka panjang. Jika tingkat harga di Indonesia terus meningkat, sementara tingkat harga internasional cenderung menurun, nilai tukar rupiah juga akan mengalami pelemahan.

Kenaikan tingkat harga juga menyebabkan daya saing produk Indonesia tidak dapat meningkat walaupun nilai tukar sudah melemah secara signifikan. Ini sebagian menjelaskan mengapa meskipun sejak dua tahun belakangan ini rupiah telah melemah sekitar 20 persen, ekspor Indonesia belum menunjukkan perubahan yang berarti.

Untuk mencegah kondisi yang lebih buruk, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih pada tingkat harga dan inflasi. Tingkat harga di Indonesia perlu diselaraskan dengan tingkat harga internasional, terutama untuk bahan pangan. Pemerintah perlu mengubah paradigmanya: impor bahan pangan bukanlah merupakan suatu hal yang memalukan; ketidaktersediaan dan ketidakterjangkauanlah yang harus dihindari.

Swasembada bahan pangan harus dicapai bukan dengan mengorbankan konsumen dan rakyat, melainkan dengan mengurangi biaya produksi dan meningkatkan produktivitas. Cara-cara koersif dan pemaksaan dalam memengaruhi pasar tidaklah akan memberikan hasil yang baik dan akan memperburuk keadaan.

Kebijakan-kebijakan restriktif yang meningkatkan harga pangan juga hanya akan memicu inflasi dan menaruh perekonomian pada posisi yang lebih membahayakan.


Yose Rizal Damuri
www.kompas.com

Tiongkok, AS, dan Indonesia

Negara-negara dengan ekonomi yang berkembang (emerging markets/EM), termasuk Indonesia, sedang menghadapi tantangan eksternal yang tidak ringan, selain masalah domestik masing-masing. 

Seperti sudah banyak disebutkan, kendala eksternal menyangkut dua area: menurunnya harga komoditas atau berakhirnya boom komoditas di sektor riil dan berakhirnya era likuiditas berlimpah di sektor moneter-keuangan. Kendala-kendala itu dipertajam oleh pengelolaan ekonomi-keuangan negara-negara besar dan maju yang kadang membingungkan, tidak mendukung terciptanya kestabilan. Dalam pada itu, hubungan saling ketergantungan menyangkut pula dampak balik perkembangan negara berkembang kepada negara-negara maju, menghambat pemulihan dari resesi yang belum tuntas dengan risiko kembali pada resesi akbar sehabis krisis keuangan dunia.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Menyangkut yang pertama, masa jaya komoditas berakhir dengan anjloknya permintaan mulai dari kedelai sampai batubara dan bijih besi terutama disebabkan oleh turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi 7 persen atau lebih rendah. Harga migas juga menurun drastis karena melemahnya permintaan berbarengan dengan meningkatnya produksi karena Arab Saudi tak mau menurunkan produksinya dan perkembangan oil shale di AS. Turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok terjadi bersamaan dengan kebijakan rebalancing, yaitu mengalihkan sumber pertumbuhan dari ekspor dan investasi ke konsumsi dalam negeri. Semuanya berdampak menekan negara-negara pengekspor komoditas dan sumber alam: Brasil, Cile, Rusia, serta Australia dan Indonesia.

Laporan ekonomi triwulanan Bank Dunia terakhir menunjukkan, laju pertumbuhan impor Tiongkok dari Indonesia yang meningkat setiap tahun sekitar 30 persen dalam periode 2005-2011 (di luar krisis 2009) menjadi negatif 7,8 persen pada periode 2012-2014.

Masalah kedua menyangkut akan direalisasikannya perubahan kebijakan moneter inkonvensional dengan suku bunga mendekati nol di AS dengan meningkatkan suku bunga fasilitas Fed (Fed Fund Rate). Sesuatu yang tak mudah dibayangkan karena sudah tujuh tahun perekonomian hanya mengenai suku bunga yang mendekati nol persen. Dunia keuangan mengenal phenomenon double blows, dampak dari suatu kebijakan terjadi dua kali. Akan dinaikkannya suku bunga dihadapi para pelaku pasar dengan memperhitungkan kenaikan suku bunga dalam operasinya meski kenaikannya belum terjadi (discounted). Pada waktu terjadi kenaikan, ini diperhitungkan (lagi). Tambahan aksentuasi dampak ini sering disebut financial amplifier. Karena itu, reaksi pasar sering ekstrem, terjadi overshoot.

Kemungkinan peningkatan suku bunga ini sudah diumumkan sejak Juni 2013. Ketua Dewan Gubernur Fed Ben Bernanke waktu itu membuat pernyataan bahwa kalau perbaikan data pengangguran dan laju inflasi terus terjadi, kebijakan suku bunga sangat rendah itu akan secara hati-hati ditinggalkan, tapering off atau lifting off. Pernyataan ini telah menumbuhkan gejolak pembalikan dana dari EM ke AS. Negara-negara dengan ekonomi berkembang, termasuk Indonesia yang sebelumnya menerima aliran modal dari melimpahnya likuiditas, resah karena aliran balik modal ini (taper tantrum).

Financial Times melaporkan, arus balik dana dari 19 negara EM ke AS dan negara maju lain dalam 13 bulan terakhir mendekati 1 triliun dollar AS. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat arus balik dana saat krisis keuangan dunia 2008/2009 sebesar 490 miliar dollar AS. Kekhawatiran yang berkembang jelas, kalau kenaikan suku bunga benar terjadi, arus balik akan meningkat lagi karena phenomenon double blows tadi. Implikasinya, depresiasi mata uang terhadap dollar AS akan kian tajam. Susahnya, harapan terjadinya peningkatan ekspor dari depresiasi mata uang negara berkembang ternyata semakin lemah, antara lain karena besarnya kandungan impor dari ekspor negara berkembang. Sebaliknya, dampak negatifnya, seperti semakin mahalnya impor, lebih memberatkan negara berkembang. Bagi yang utangnya besar dan dalam dollar AS, dampak negatif semakin beratnya pengembalian utang jelas memberatkan. Utang Indonesia memang relatif belum besar sekali, tetapi rupanya Indonesia ikut juga arus makin meningkatnya utang yang mudah masuk ke tingkat riskan.

Selanjutnya, arus balik dana ini telah menyebabkan tergerusnya nilai tukar kebanyakan negara yang kehilangan dana, terutama negara-negara berkembang yang kehilangan dana karena arus balik, termasuk Indonesia. Semua mata uang negara-negara tersebut terdepresiasi. Namun, besar kecilnya dipengaruhi lagi oleh faktor domestik yang merupakan discount masing-masing, sesuai kerentanannya.

Perekonomian suatu negara rentan terhadap gejolak jika ketergantungannya pada ekspor sangat besar, terutama ekspor komoditas yang harganya berfluktuasi. Demikian pula perekonomian yang defisit neraca pembayarannya besar, utangnya besar (apalagi utang jangka pendek dalam denominasi dollar AS). Juga negara yang sedang dililit permasalahan sosial politik, karena korupsi, skandal, atau lainnya.
Momok ketidakpastian

”Senin Hitam” terjadi karena perubahan perekonomian Tiongkok, kombinasi perkembangan ekonomi dan kebijakan penyesuaian yang dilaksanakan pemerintah dan otoritas moneternya, People’s Bank of China (PBOC). Pasar modal Tiongkok di Shenzen ataupun Shanghai mengalami perkembangan luar bisa dengan jutaan investor perorangan baru dan kapitalisasinya meningkat dua kali lipat dalam setahun. Semua serba fantastis. Namun, waktu terjadi penurunan tajam harga saham bulan Juni, Tiongkok melancarkan kebijakan penyelamatan, termasuk membeli saham sampai 200 miliar dollar AS serta melarang sementara IPO dan penjualan sejumlah besar saham. Terakhir bahkan membungkam media yang memberitakan gejolak pasar modal. Semua ini mengguncang Asia dan dunia dengan terjadinya Senin Hitam dan setelahnya.

Harga saham baru menjadi positif kembali setelah penurunan sekitar satu minggu, sedangkan di AS dan Eropa serta beberapa negara berkembang lain sudah menjadi positif sehari atau dua hari setelah Senin Hitam. Tiongkok sendiri dilaporkan kehilangan nilai aset finansial karena penurunan harga saham mencapai 4 triliun dollar AS, empat kali lipat PDB Indonesia. Anehnya, gejolak pasar modal di Tiongkok yang relatif belum terbuka ini dengan cepat menjadi global. Lebih aneh lagi meski dilakukan penanganan yang berani dan drastis, termasuk devaluasi yuan yang sangat ditabukan sebelumnya, gejolak pasar modal di Tiongkok berjalan lebih lama dari negara maju dan berkembang lain. Dan devaluasi yuan juga tidak memberikan hasil yang diharapkan.

Tentu perlu dilakukan pengkajian lebih cermat. Akan tetapi, sementara rasanya tak keliru mengatakan, kepercayaan pasar terhadap pengelolaan pasar modal dan yuan menurun karena kurang konsistennya kebijakan pemerintah dan PBOC. Kebijakan rebalancing yang dijanjikan untuk mendorong konsumsi domestik dan mengurangi ketergantungan pada ekspor dan mendorong bekerjanya mekanisme pasar tampak tak sinkron dengan kebijakan devaluasi dan berbagai intervensi langsung yang dilakukan terhadap pasar modal dan perkembangan nilai tukar.

Dalam pada itu, kenaikan suku bunga fasilitas Fed yang jelas akan berakibat aliran balik modal juga masih menggantung. Rupanya negara berkembang harus menghadapi kebijakan Fed dan bank sentral negara maju lain yang akhir-akhir ini mengalami penyakit susah membuat keputusan. Debat yang rasanya tak berkesudahan tentang kapan dimulai kenaikan suku bunga jelas menambah ketakpastian pasar yang terguncang dengan apa yang berkembang di Tiongkok.

Masalah yang dihadapi Fed jelas pelik. Fed bertugas menjaga dan mengusahakan kestabilan finansial seperti di Indonesia. Fed juga bertanggung jawab mendorong ekonominya mencapai pertumbuhan yang disasar. Hal ini dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam pasar tenaga kerja dengan besar kecilnya tingkat pengangguran menjadi sasaran kebijakan moneter. BI di masa lalu juga mempunyai tanggung jawab pembangunan ini, tetapi penugasan ini dikeluarkan pada waktu diberi status independen tahun 1999.

Pencapaian keseimbangan dua sasaran tersebut dalam paradigma ekonomi yang telah berubah rupanya semakin rumit. Mungkin hal ini yang menyebabkan Fed seperti maju mundur sejak 2013 untuk menentukan kapan akan mulai menaikkan suku bunga. Belum lagi yang menyangkut berapa besar kenaikannya dan bagaimana pola yang akan dilaksanakan. Setelah seminar dan perdebatan panjang di masyarakat, tampaknya para gubernur di bawah pimpinan Janet Yellen cenderung meningkatkan suku bunga September atau akhir tahun. Yang jelas rapat dewan gubernur dilakukan sepuluh kali setiap tahun, tahun ini tinggal dua kali, 17 September ini dan Desember nanti.

Perdebatan belum kunjung berhenti juga. Di Fed, beberapa waktu lalu, Presiden Fed New York William Dudley mengatakan, dirinya tak yakin lagi apakah kenaikan suku bunga sebaiknya dilakukan tahun ini. Tak kurang mantan Menteri Keuangan Larry Summer dan ekonom peraih Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz, keduanya guru besar kenamaan Universitas Harvard dan Columbia, menulis kolom (di New York Times dan Los Angeles Times) menunjukkan argumen serupa. Akan tetapi, dalam pertemuan tahunan central bankers di Jackson Hole belum lama ini, Wakil Ketua Fed Stanley Fischer mengatakan, peningkatan suku bunga bulan ini masih dalam pertimbangan, menunggu data perkembangan pengangguran akhir minggu.

Siapa yang tidak bingung mengikuti semua perkembangan ini? Orang-orang pintar saja bingung. Yang jelas, implikasinya adalah ketidakpastian pasar yang merupakan momok paling tidak disukai pelaku pasar ini masih berjalan. Perekonomian terkuat nomor satu dan dua di dunia sedang dalam kondisi kurang bisa dijadikan pedoman negara-negara berkembang untuk menentukan sikap. Ini jelas suatu kondisi yang kurang kondusif, perekonomian dunia kurang solid untuk menghadapi kejutan yang bisa terjadi.

Kiranya benar pernyataan Henry Snyder dalam kolom di Financial Times (28/8) bahwa masalahnya bukan pada ekonomi AS, melainkan pada kebijakan moneternya. Saya ingin menambah, ini berlaku pula bagi ekonomi Tiongkok. Sektor riilnya tidak merupakan masalah, laju pertumbuhan PDB-nya jelas masih tertinggi di dunia, tetapi kebijakan dalam pengelolaan moneter dan pasar modalnya telah menimbulkan pertanyaan besar bagi pasar dan masyarakat. Dalam menghadapi tantangan tersebut, kita semua berharap adanya sikap arif dari pemerintah dan dunia usaha dalam mengambil kebijakan dan menentukan langkah agar memilih mitra usaha, dagang, dan investasi tanpa tergiur keuntungan sesaat, tetapi untuk kepentingan yang luas, kepentingan nasional berjangka panjang. Semoga.

17

www.kompas.com

Ketakpastian Ekonomi Global

Belum pernah sidang bank sentral AS yang akan memutuskan soal suku bunga memicu panas dingin pasar dan ekonomi global dalam skala seperti ini.

Kepastian naik tidaknya suku bunga itu sendiri akan kita ketahui pada akhir sidang Komite Pasar Terbuka Federal (FMOC) Fed, 16-17 September waktu setempat. Peluang suku bunga naik lebih besar dari sebelumnya, mengingat data lapangan kerja AS yang membaik kendati beberapa indikator ekonomi AS lain masih melemah.

Mayoritas ekonom dan ahli strategi keuangan dunia mendukung kenaikan. Sebaliknya, Bank Dunia dan IMF menentang karena pertimbangan dampak terhadap negara berkembang. Kenaikan suku bunga AS dikhawatirkan akan kian memacu arus modal keluar dari emerging markets karena investor yang berharap kenaikan suku bunga lebih agresif di AS kian mencampakkan negara berkembang.

Kenaikan suku bunga sendiri dilematis bagi AS mengingat data pemulihan ekonomi negara itu sendiri belum solid. Akibatnya, Fed juga terus maju mundur dengan keputusan menaikkan atau tidak suku bunga. Sejak Fed memberi sinyal mengakhiri kebijakan quantitative easing pada 2013, pasar terus menerka-nerka kapan dan seberapa besar Fed akan menaikkan suku bunga. Jika Fed jadi menaikkan bunga, ini kenaikan pertama sejak Juni 2006.

Meski lebih siap dibandingkan saat AS menaikkan suku bunga pada 2013, posisi Indonesia dengan 63 persen utang dalam denominasi dollar AS dan rasio utang terhadap PDB 28 persen termasuk rentan karena 90 persen perekonomian terpengaruh oleh dollar AS (dollar zone).

Selain tekanan di pasar modal, pasar uang, dan pasar surat utang, yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan membengkaknya beban utang, baik pemerintah maupun swasta, yang trennya terus meningkat beberapa tahun terakhir. Kerentanan lain Indonesia juga datang dari ketergantungan yang besar pada ekspor komoditas.

Bagi perekonomian dunia, kenaikan suku bunga AS ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kenaikan bunga AS menjadi semacam penegasan terhadap pulihnya ekonomi AS. Kenaikan bunga AS juga memberi kepastian kepada otoritas moneter dunia, mengingat kebijakan Fed menjadi acuan bank sentral banyak negara dalam menentukan arah kebijakan moneter dalam negerinya.

Namun, di sisi lain, kenaikan suku bunga AS juga berpotensi memunculkan tekanan yang kian besar terhadap pasar saham, pasar uang, dan pasar surat utang global meski sifatnya jangka pendek. Di sini pentingnya respons kebijakan untuk meredam transmisi dampak sekaligus kerentanan (vulnerability) jangka panjang ekonomi kita.

Kenaikan suku bunga kali ini juga tak berarti sepenuhnya mengakhiri ketidakpastian yang ada. Setelah kenaikan bunga kali ini, kita masih harus menebak-nebak arah selanjutnya suku bunga AS, masih akan naik atau tidak. Semua bergantung pada situasi perekonomian AS. Volatilitas pasar mungkin masih akan terjadi beberapa bulan ke depan, sebelum akhirnya mengalami stabilisasi dengan sebagian modal akan kembali ke negara berkembang.


www.kompas.com

Rabu, 16 September 2015

Rekonsiliasi dan Partisipasi Korban

Setelah ditunggu selama setengah tahun, akhirnya Presiden Joko Widodo mulai merealisasikan janji dan programnya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di masa lalu. Hal ini ditunjukkan dengan telah dibentuknya sebuah tim gabungan lintas kementerian dan lembaga yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno. 

Sebagaimana disampaikan di media, tim gabungan ini bertugas merumuskan kebijakan untuk menyelesaikan enam kasus pelanggaran berat HAM, yaitu kasus peristiwa 1965-1966; kasus penembakan misterius 1982-1985; kasus Talangsari di Lampung (1989); kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kasus kerusuhan Mei 1998; serta peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

 Perkembangan ini tentu disambut dengan penuh harap oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang telah menanti puluhan tahun.

Harapan para korban yang dipupuskan oleh 10 tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kini mulai tumbuh kembali. Harapan ini didasarkan pada dokumen Nawacita yang secara eksplisit menyebutkan perlunya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara menyeluruh dan berkeadilan.

Selain itu, Jokowi yang tidak memiliki kaitan langsung dengan rezim otoritarian Orde Baru diharapkan memiliki pendekatan yang berbeda dalam penanganan pelanggaran berat HAM masa lalu.

Terkait pembentukan tim gabungan, Jokowi telah memberikan konfirmasinya sebagaimana dikutip oleh media ini , "Sudah ada pertemuan, tetapi, kan, perlu tindak lanjut. Ditunggu saja, saya pastikan akan kita selesaikan, tetapi satu per satu," (Kompas, 29/5).

Namun demikian, ada satu hal yang menjadi keprihatinan dan menimbulkan kekhawatiran para korban, yaitu ketika Menkopolhukam dan Jaksa Agung mengatakan bahwa cara penyelesaian yang hendak diambil pemerintah adalah dengan jalan nonyudisial, yaitu dengan cara rekonsiliasi.

Alasan yang disampaikan Jaksa Agung HM Prasetyo, cara yudisial sudah tidak bisa dilakukan karena saksi dan bukti yang sudah tidak ada karena peristiwanya telah terjadi pada waktu yang lama.

Mendengarkan suara korban

Terkait rencana dan posisi yang diambil tim gabungan ini, penulis merasa perlu memberikan beberapa poin masukan agar tujuan penyelesaian kasus secara menyeluruh dan berkeadilan benar-benar bisa tercapai. Yang pertama, tim gabungan harus secara substantif mendengarkan suara dan harapan korban, setidaknya dari enam kasus yang hendak ditangani. Mendengarkan suara korban sangat penting untuk memastikan agar langkah penyelesaian yang hendak diambil tidak hanya sesuai dengan kaidah HAM, tetapi juga menjawab kebutuhan mendesak para korban dan keluarga korban.

Perlu dicatat di sini bahwa beberapa inisiatif penyelesaian yang pernah diambil pemerintah sebelumnya seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pemulihan gagal karena tidak adanya ketulusan pemerintah untuk mendengar dan menampung suara dan kepentingan korban.

Yang kedua, penyelesaian menyeluruh dan berkeadilan sebagaimana menjadi komitmen Jokowi tidak bisa dilakukan dengan pendekatan parsial. Pernyataan Jaksa Agung dan Menkopolhukam bahwa enam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut akan diselesaikan dengan cara rekonsiliasi  tidak hanya parsial, tetapi juga belum merefleksikan suara korban.

Penyelesaian kasus secara rekonsiliasi adalah simplifikasi atas mekanisme nonyudisial yang sebenarnya mencakup unsur-unsur pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban.

Dalam diskursus transitional justice, penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM secara menyeluruh dan komprehensif mensyaratkan digunakannya mekanisme nonyudisial dan yudisial secara paralel dan saling melengkapi terutama karena pelanggaran berat HAM bersifat kompleks. (Hayner, 2011) Tidak bisa dimungkiri bahwa konteks politik, pola, besaran (magnitude), cakupan (scope), bentuk kejahatan dan pelaku-pelaku yang terlibat dalam enam kasus yang hendak diselesaikan sangatlah beragam sebagaimana terlihat dari laporan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) yang berjudul "Menemukan Kembali Indonesia". Pendekatan tunggal (nonyudisial) yang linear dipastikan tidak akan bisa membawa hasil yang diharapkan.

 Selain itu, terminologi "rekonsiliasi" telah mengalami inflasi definisi, karena diterjemahkan para korban sebagai usaha pemaksaan perdamaian antara korban dengan pelaku bila dilakukan tanpa proses pengungkapan kebenaran, pemulihan, apalagi keadilan. Rekonsiliasi telah dimaknai para korban sebagai sebuah perwujudan impunitas.

Dari proses mempelajari konstruksi kasus dan interaksi bersama para korban selama lebih dari satu dekade terakhir, penulis berkeyakinan bahwa penyelesaian enam kasus yang dimaksud harus didasarkan kepada pertimbangan yang sangat cermat melalui kajian mendalam masing- masing kasus yang semua berkasnya ada di kejaksaan agung. Hasil kajian ini lalu disandingkan dengan harapan para korban dan keluarga korban.

Dari sana bisa dirumuskan hal-hal yang mendesak yang bisa dilakukan (feasible) dan pada saat yang sama diinginkan oleh korban dan keluarga korban (desirable) dengan tetap mengacu kepada kaidah hukum HAM internasional. Misalnya, untuk kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998, pemerintah harus segera mengambil langkah untuk memberi jawaban akhir (closure) mengenai nasib dan keberadaan para korban.

Pentingnya pengakuan dan permintaan maaf 

Bila informasi yang berkembang benar, maka rencana Jokowi untuk menyampaikan pengakuan dan permintaan maaf resmi (official public apology) bisa menjadi langkah pembuka dimulainya proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat ini.

Walaupun bukan hal baru, langkah ini bisa menjadi ukuran keseriusan Jokowi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.

Perlu diingat lagi, pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyampaikan permintaan maaf atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM tahun 1965 (Kompas, 15/3).

Beberapa tahun lalu, Wali Kota Palu Rusdi Mastura juga menyampaikan permintaan maaf serupa. Bahkan langkah wali kota Palu kemudian menindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Wali Kota Nomor 25 Tahun 2013 yang berisi langkah-langkah pemulihan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di wilayah Palu, Sulawesi Tengah.

 Tidak bisa dimungkiri, pelanggaran berat HAM dengan skala, cakupan serta rentang waktu dan wilayah yang sedemikian lama dan luas tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tetapi, setiap kerja besar selalu saja ada langkah awalnya.

Jokowi sangat beruntung karena sudah bisa mengambil pilihan ketika masih berada di awal kekuasaan; beretorika dan membuang waktu untuk pencitraan, atau hadir, bekerja dan berani menyudahi beban sejarah masa lalu yang terus membelenggu.  
Mugiyanto
www.kompas.com

Penyelesaian Beban Sejarah

Akhirnya, saya baca, pemerintah serius menuntaskan berbagai pelanggaran hak asasi manusia berat lama dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Komisi tersebut terdiri dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kejaksaan Agung; Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia; Badan Intelijen Negara; dan Komnas HAM.

”Tim gabungan ini dibentuk sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia berat pada masa lalu. Ini agar tak lagi ada beban sejarah yang menjadi tanggungan generasi selanjutnya,” demikian pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo pada Selasa, 21 April (Kompas, 22/4).

Sesuai data Komnas HAM, ada tujuh berkas pelanggaran HAM berat masa lalu yang akan ditangani Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Kasus peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Talangsari di Lampung (1989), penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, serta peristiwa Wasior dan Wamena (2003).

Kalau memang pemerintah, sesuai pernyataan Jaksa Agung,akan membentuk KKR dalam waktu singkat, saya menyambut dengan gembira. Saya membayangkan para korban yang rata- rata sudah uzur sepertimendapatharapan kembali. Di antaranya, saya ingat, Pak Bedjo Untung dari YPKP (peristiwa 1965-1966), ibu Sumarsih, Hera Tetty, Karsiah, ibu Hoo Kim Ngo (Trisakti, Semanggi I dan II), Azwar Kaili (Talangsari, Lampung, 1989), Paian Siahaan dan ibu Tuti Koto (penghilangan orang secara paksa 1997-1998), dan banyak lagi.

Sehubungan dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu itu, saya akan memberikan pokok-pokok pikiran sebagai berikut.

Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu harus berdasarkan etika. Dasar etika ini mengacu pada wawasan persatuan bangsa seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD RI 1945 yang secara khusus terkait dengan tujuan kemerdekaan Indonesia dan tanggung jawab negara melindungi dan melayani masyarakat bangsa Indonesia. Juga solidaritas kebangsaan yang telah menjadi spirit utamakemerdekaan Indonesia. Solidaritas ini terbentuk bukan karena kesamaan ikatan etnik, agama, ideologi-politik, ataupun ikatan lain, melainkan karena ikatan kebersamaan untuk mencapai keadaban kemanusiaan.

Kemudian, politik yang mengacu pada era reformasi. Dasar politik ini membuka peluang bagi negara dan pemerintah untuk melakukan koreksi berbagai kesalahan dan kelalaian masa lampau. Namun, saya mencatat, peluang ini belum dimanfaatkan secara tuntas dan efektif oleh para pemimpin politik selama ini. Sejumlah pernyataan kebijakan (policy statements) yang berimplikasi pada pembuatan peraturan perundang-undangan telah dilakukan, tetapi belum seluruhnya terlaksana secara tuntas dan ditegakkan dengan efektif.

Lalu, hukum. Bidang hukum ini merupakan instrumen sah untuk menegaskan bahwa tindakan-tindakan negara tidak sewenang-wenang dan keadilan dapat ditegakkan. Peraturan perundang-undangan pada masa-masa awal reformasi, dan sudah tentu konstitusi UUD RI Tahun 1945, memberikan landasan hukum yang cukup memadai untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dalam hal ini, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyebutkan ”bahwa tak ada orang-orang yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia akan menikmati impunitas atau bebas dari hukum” menjadi dasar hukum penyelesaian pelanggaran hukum.

Juga Tap MPR No V/2000 yang memberi mandat penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara ”pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat”.

Masukan lembaga

Perlu diperhatikan, saran-saran resmi dari berbagai lembaga, antara lain: (a) Putusan MK atas persepsi Jaksa Agung dalam penerapan UU No 26 Tahun 2000 Pasal 43 Ayat (1) berkenaan penolakan melakukan penyidikan terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM berat. Juga (b) Surat Ketua MA No KMA/403/VI/2003 tertanggal 12 Juni 2003 perihal permohonan rehabilitasi kasus HAM masa lalu yang selanjutnya disarankan oleh DPR RI agar ditindaklanjuti oleh Presiden RI melalui Surat DPR KS.02/2947/DPR-RI/2003.

Kemudian, (c) Putusan MK No 001-017/PUU-I/2003 tertanggal 24 Februari 2004 yang menyatakan Pasal 60 Huruf g UU No 12 Tahun 2003 tentang pemilihananggota DPR, DPD, DPRD inkonstitusional karena diskriminatif terhadap para pemohon korban 1965, yang terhambat pelaksanaannya karena belum dicabutnya Keppres No 28 Tahun 1975. Selain itu, (d) usulan DPR RI kepada Presiden RI pada 28 September 2009 perihal pembentukan pengadilan HAM ad hoc bagi kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998, pencarian korban 13 orang hilang, pemberian rehabilitasi dan kompensasi bagi keluarga korban, serta perlunya ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa.

Dengan demikian, satu aspek penting dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah pemulihan hak-hak dasar korban melalui kompensasi dan rehabilitasi. Pemulihan itu menjadi tanggung jawab negara untuk mengurus dan menyelesaikannya. Di sini, pemulihan hak-hak dasar korbandilakukan melalui, pertama, kompensasi (ganti rugi). Dalam proses pemberian kompensasi ini tidak mudah karena keterbatasan keuangan negara, tuntutan para korban, kesulitan mengidentifikasi korban, dan lain-lain. Saya pikir, kompensasi itu harus tetap diusahakan antara lain melalui mekanisme hukum dengan menunjuk UU No 26 Tahun 2000.

Kedua, dilakukan pemulihan (rehabilitasi) hak-hak perdata korban. Ketiga, memberikan tunjangan sosial kepada para korban, dan lain-lain.

Pokok pikiran saya yang terakhir adalah berupa pengampunan (amnesti) para pelaku. Sehubungan dengan itu, saya berpendapat, pengampunan terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi bagian penting dari penyelesaian masalah tersebut. Dalam perspektif tanggung jawab negara, asumsi utama yang menjadi rujukan adalah negara mengambil alih semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh mereka yang dianggap sebagai pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Dengan dasar perspektif ini, ada tiga pendekatan (model) pengampunan (amnesti). Pertama, Kepala Negara sebagai representasi kepercayaan masyarakat memberi pengampunan secara umum terutama kepada mereka yang didakwa (diduga) telah melakukan pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang saat ini telah meninggal dunia.

Kedua, pengampunan berupa amnesti oleh Kepala Negara diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah dinyatakan bersalah oleh proses peradilan yang jujur dan bertanggung jawab. Ketiga, pengampunan secara sosial-budaya yang dilakukan anggota dan/atau kelompok masyarakat dengan difasilitasi oleh negara. Pendekatan ini merupakan rekonsiliasi sosial yangmemberi tanda (makna) penghentian konflik sosial masa lalu.

Pelanggaran HAM berat masa lalu harus dituntaskan penyelesaiannya secara adil dan bertanggung jawab. Bukan demi melupakan masa lalu, melainkanmengambil pelajaran dari pengalaman buruk masa lalu (Presiden SBY menyebutnya A burden of history) untuk dijadikan kekuatan menggalang kemajuan dan keadabanbangsa Indonesia di masa mendatang.
oleh; Albert Hasibuan
www.kompas.com

Cermin Sejarah dan Pemimpin Bangsa



Senin (10/8) pagi, Anhar Gonggong menerima kami dengan senyuman di ruang tamu rumahnya di bilangan Pondok Gede, Bekasi. Rambutnya tetap agak gondrong (belakangan Anhar bercerita, sejak menjadi mahasiswa, rambutnya sudah dibiarkan panjang).

Tubuhnya tipis menjulang, seolah bersaing dengan deretan rak-rak buku di dinding yang nyaris menyentuh langit-langit rumah. Di ruang tamu itu kami berbincang tentang sejarah, Indonesia, dan kepemimpinan. Tokoh dan pemimpin besar menggerakkan dan mengarahkan sejarah. Di Indonesia, para pemimpin dengan kekuatan bersama menciptakan kemerdekaan dan melahirkan negara bangsa.

Sebagai sejarawan politik, Anhar pun terpesona dengan para tokoh. Anhar pernah menulis buku tentang HOS Tjokroaminoto, tokoh nasionalis dan pemimpin Sarekat Islam. Anhar juga menulis tentang MGR Soegijapranata SJ, pemimpin gereja Katolik pertama di Indonesia dari kalangan pribumi. Ketika masa pemerintahan darurat di Yogyakarta, Soegijapranata, yang kisahnya telah diangkat sebagai film, mencatat berbagai peristiwa dan mengkritik aksi militer Belanda.

Anhar pun mendalami sosok kontroversial dan misterius Kahar Muzakkar yang identik dengan DI/TII pada 1950-an di Sulawesi Selatan. Disertasinya untuk meraih gelar doktor sejarah juga tentang Kahar. Bagi Anhar, sekalipun berbeda ideologi, cara pandang dan pendapat pemimpin sejati memiliki sejumlah karakter serupa.

Kepada siapa sebetulnya kita berutang budi atas lahirnya Republik Indonesia?

Pertama, kita paling berutang budi kepada generasi pergerakan nasional, mulai dari Soetomo (dokter dan salah satu tokoh pendiri organisasi pemuda Budi Utomo pada 20 Mei 1908) sampai Soekarno (proklamator). Orang-orang pergerakan itu adalah orang-orang terdidik yang tercerahkan. Andaikata cuma terdidik, dia bisa saja hanya bekerja dengan Pemerintah Belanda dan hidup enak. Soetomo seorang dokter, Soekarno itu insinyur, Hatta dengan gelar doktorandus ekonomi dari negeri Belanda, dan HOS Tjokroaminoto lulusan sekolah pamong praja, tentu berkesempatan untuk bekerja dengan Belanda. HOS Tjokroaminoto, misalnya, jika dia bekerja sebagai ambtenaar (pegawai negeri) sewajarnya saja, pada saatnya dia pasti akan mendapatkan posisi tertentu yang tinggi di mata pribumi. Namun, para pemimpin itu, Soekarno, Hatta, dan HOS Tjokroaminoto dan lain-lain, merevolusi dirinya terlebih dahulu, mereka tidak menikmati kehidupan kolonial. Dengan kecerdasannya, mereka melihat masyarakat menderita dan ingin mengubah itu. Itulah generasi yang melakukan revolusi mental.

Bagaimana dengan para pemimpin sekarang?

Dalam konteks sekarang, muncul juga pemimpin-pemimpin yang cerdas, tetapi banyak pula yang hati dan mentalnya beku. Orang-orang dengan gelar profesor dan doktor masuk penjara karena menjadi ”garong republik”.

Kepada siapa lagi kita ”berutang” demi kemerdekaan?

Kedua, republik ini dipertahankan dan dibangun oleh anak-anak muda. Ketika dokter Soetomo mendirikan Budi Utomo (organisasi pemuda), dia dan pendiri lainnya itu umurnya 18 hingga 20-an tahun. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada usia 26 tahun dan menulis artikel berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang sangat penting pada usia 25 tahun. Artikel itu yang diolah Soekarno menjadi Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme, sebuah konsep politik). Hatta juga sudah menulis ketika muda. Rata-rata ketika merdeka dan yang tampil sebagai Angkatan 1945 itu para pemuda, termasuk tentara pelajar dengan usia 15-16 tahun.

Bagaimana generasi penggerak itu terbentuk?

Pendidikan. Para tokoh pergerakan adalah orang-orang terdidik. Karena itu, posisi pendidikan penting. Tanpa pendidikan belum tentu kita merdeka. Ada kondisi tertentu pada saat itu, yakni pendidikan, digunakan untuk refleksi. Yang salah sekarang, pendidikan kita tidak mendorong untuk berefleksi. Kita menjadi sarjana, ya, sarjana. Kita segera cari pekerjaan bagi kepentingan diri, hidup enak, punya rumah besar, dan mobil. Orang lain, urusan amat. Dalam konteks sekarang, saya juga melihat terjadinya anarkis pendidikan. Ada kasus orang yang hanya kuliah enam bulan, setiap akhir pekan bisa jadi doktor, banyaknya jasa pembuatan skripsi hingga doktor, dan ijazah palsu. Kita butuh pendidikan yang mencerahkan otak dan mental. Hanya itu yang akan menyelamatkan Indonesia.

Lebih banyak pejabat

Anhar rela berseberangan pendapat dengan orangtuanya demi pendidikan. Setelah lulus SMA, Anhar diminta keluarga membantu usaha perdagangan kopra. Namun, Anhar menolak. Dia ingin melanjutkan pendidikan ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Berbekal sedikit uang, Anhar nekat pergi ke Yogyakarta sendiri. Keluarga Anhar marah besar sebelum akhirnya mereda tiga bulan kemudian.

Belajar dari para tokoh sejarah, menurut Anda, apa definisi pemimpin?

Saya mendefinisikan pemimpin itu sangat sederhana, yakni orang yang mampu melampaui diri. Indonesia sekarang tidak memiliki pemimpin, tetapi lebih banyak pejabat. Di partai, misalnya, yang ada adalah pejabat partai, bukan pemimpin. Sebagai contoh dari masa lalu, Haji Agus Salim (pemimpin Sarekat Islam). Dia hidup menderita. Pada waktu berjuang, dia gelar tikar di rumah kontrakan. Pagi hari dia bangun dan gulung lagi tikar itu. Begitu terus sampai Indonesia merdeka. Setelah kemerdekaan dan dia menjadi menteri, hidupnya pun tidak berlebihan (Agus Salim menjadi menteri luar negeri pada masa Kabinet Sjahrir II, Kabinet Amir Sjarifuddin, dan Kabinet Hatta periode 1946-1949). Mohammad Natsir, ketika jadi perdana menteri, jasnya masih ditisik.

Bayangkan pejabat sekarang, dapat mobil dan fasilitas. Itu saja masih korupsi. Pejabat tidak mampu melampaui diri dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Hal lain yang menonjol adalah banyaknya pencitraan diri. Sebuah negeri hanya akan bangkit kalau dia dikelola oleh pemimpin.

Karakter lain dari para pemimpin seputar zaman kemerdekaan adalah perkawanan dan kebesaran jiwa mereka. Mereka bisa berbeda ideologi, tetapi perkawanan secara pribadi sangat erat. IJ Kasimo (tokoh Partai Katolik) berkawan erat dengan Natsir (tokoh partai Islam, Masyumi). Bahkan, DN Aidit (tokoh Partai Komunis Indonesia) dan Natsir yang antikomunis bisa ”berkelahi” di Konstituante (lembaga yang bertugas menyusun UUD). Tetapi, begitu selesai rapat, Aidit datang mengambil kopi dan memberikannya kepada Natsir. Tidak salah untuk berbeda pendapat. Sekarang, antar-pengurus partai pun bisa gontok-gontokkan dan terpecah belah.

Jika memang kepemimpinan itu kini meluntur, apa sebabnya?

Sederhana saja, kita segera ingin menikmati kemerdekaan sehingga begitu merdeka segala fasilitas diambil dan lupa bahwa ada yang lebih besar dari sekadar SAYA.

Ancaman terbesar terhadap Republik Indonesia?

Korupsi. Keruntuhan kerajaan Ottoman salah satu faktornya adalah korupsi para elite kerajaan. Jika melihat ke belakang, kejatuhan Soeharto juga tak lepas dari isu korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga memunculkan istilah kroni-kroni Soeharto.

(Di dalam buku Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di harian Indonesia Raya 2 lewat tulisan berjudul ”Kebudayaan Korupsi Pasti Membawa Kehancuran” pada 5 Januari 1970, Mochtar Lubis juga mengingatkan bahaya korupsi. Di samping kekuatan dan unsur sejarah lain, korupsi memegang peran dalam keruntuhan kerajaan-kerajaan. Romawi tak hanya runtuh karena kekuatan baru dari utara dan timur Eropa, tetapi juga dari dalam negeri sendiri akibat meluasnya korupsi dan demoralisasi kalangan Caesar dan senator Romawi. Demikian pula rezim tsar Rusia dan rezim Louis XIV di Perancis).

Selain itu, juga harus dipahami dalam proses meng-Indonesia itu, kita berbeda-beda. Papua baru mengenal Indonesia pada 1946 ketika Sam Ratulangi (tokoh intelektual dan pergerakan) dibuang ke Papua (Serui). Sumatera dan Jawa, misalnya, lebih dulu meng-Indonesia. Dengan adanya proses yang berbeda ini, dibutuhkan kebijaksanaan dalam para pemimpin di Indonesia. Pancasila yang dirumuskan bagi seluruh rakyat Indonesia itu dapat menjadi pegangan. Ketika bicara keadilan sosial, misalnya, harus tuntas hingga kalimat ”bagi seluruh rakyat Indonesia”, bukan hanya adil bagi sebagian orang.

Pada pengujung perbincangan itu, Anhar dengan semangat bercerita tentang agendanya pada peringatan kemerdekaan. Pagi buta, dia berencana meluncur ke sebuah SMA swasta di bilangan Kepala Gading, Jakarta Utara. Anhar didaulat menjadi pembina upacara dan menyampaikan pidato. Dia begitu antusias. Setiap kali berhadapan dan berbicara dengan anak muda, saat menjadi guru ataupun dosen, Anhar selalu teringat bahwa dia tengah berdialog dengan masa depan dan berharap di antara mereka kelak lahir pemimpin sejati.


Indira Permanasari
www.kompas.com

Cinta Buku

Saya lebih suka membaca buku daripada main gadget. Gadget membuat daya otak menurun,” kata Feby. Sepekan ini, Feby sibuk dengan promosi film terbarunya, Kapan Kawin?. Namun, ia masih sempat menghadiri sebuah acara peluncuran buku.

Buku paling disukai Feby adalah novel meski ia juga suka membaca buku lain. Saat ini, ia sedang gemar membaca buku-buku traveling.

Saat bepergian pun, kalau sedang ada waktu kosong, ia akan menggunakannya untuk membaca. Yang jelas, tidak ada hari bagi Feby tanpa buku bacaan di tasnya.

Karena kurang suka dengan gadget, tidak mengherankan jika Feby bisa sangat terlambat membaca pesan singkat (SMS) atau WhatsApp. Ia tidak setiap kali membuka-buka gadget. ”Kadang-kadang sampai tiga hari saya baru buka pesan,” ujarnya.

Perempuan yang sudah bercerai dengan Bruce Nicholas ini juga suka menulis. Namun, ia enggan membuat buku biografi tentang kisah hidupnya sendiri.

”Lebih menarik menulis kisah fiksi karena imajinasinya bisa dikembangkan ke mana-mana. Kalau kisah hidup, mah, mending masuk buku diary saja. Mungkin karena kisah hidup saya kurang menarik,” tutur Feby.
www.kompas.com

Menghubungkan Masa lalu, Kini dan Nanti

Mengenang, menggali, dan menghidupkan kembali budaya kreativitas masa lalu adalah kebiasaan baik dan penghormatan pada usaha manusia. Apakah itu leluhur suku tertentu ataupun bangsa tertentu dengan segala perbedaan dan kesamaannya adalah cermin usaha manusia untuk merayakan kehidupan. Merupakan upaya untuk menghargai apa yang sudah dilakukan para perintis demi mencapai kualitas kehidupan yang manusiawi dan selaras dengan alam.

Sejatinya merayakan kekayaan peninggalan budaya dan peradaban manusia atau hasil kreativitas adalah sikap yang harus dihargai oleh siapa pun. Tanpa memilah-milah sedemikian rupa untuk mengunggulkan satu dan merendahkan lainnya. Apalagi jika mengingat bagaimana kita membutuhkan kehidupan dalam kebersamaan demi kesatuan umat manusia yang terancam terpecah belah dan saling menghancurkan. Entah karena perbedaan ideologi, keyakinan, kebudayaan, ataupun sekadar kebiasaan. Namun, bisa membawa petaka memilukan: perseteruan, perang, dan kehancuran kehidupan yang seperti bisa kita saksikan terjadi di berbagai tempat dan pelosok bumi saat ini. Bagaimana manusia bisa menjadi kejam dan tega, tidak hanya terhadap sesama, tetapi juga pada makhluk lain dan planet bumi yang menjadi rumahnya.

Kenyataan

Indonesia tentu tidak terkecuali dalam hal ini. Perpecahan kalangan elite politik dan usaha mereka untuk melindungi diri dari ancaman hukum dan memelintirnya karena mungkin terlibat kasus korupsi adalah sebuah kenyataan yang harus diwaspadai. Bagaimana manipulasi wacana politik yang awalnya terdengar mulia dan diwarnai janji tanggung jawab untuk kesejahteraan bangsa bisa berubah. Dalam kenyataannya menjadi sekadar cara untuk mencari dukungan demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Begitu pula dengan laku berbisnis yang tak bertanggung jawab yang telah mengakibatkan hancurnya lingkungan hidup. Mengakibatkan nyaris punahnya hutan tropis kedua terbesar di dunia karena keserakahan pengusaha dan praktik korupsi aparat pemerintah. Menghilangkan lahan hidup masyarakat adat yang juga berarti meluluhlantakkan budayanya. Juga telah menyumbang permasalahan lain, seperti polusi udara, air, dan tanah. Selain itu, juga menambah emisi karbon yang akan memperparah pemanasan global dan perubahan cuaca. Akhirnya akan menyengsarakan bukan saja orang Indonesia, melainkan juga seluruh penghuni planet ini. Karena dalam kenyataannya kita hidup dalam keterkaitan antara satu dan lainnya. Ya, sudah saatnya ide ”kedaulatan nasional” kini diperlebar lagi pemaknaannya.

Begitulah, betapa luas dan rumitnya permasalahan kehidupan hari ini. Dipicu oleh sistem keuangan dan industri yang pada awalnya bertujuan untuk menyejahterakan kehidupan lewat modernisasi yang lahir dari masa ”pencerahan”. Manusia kini dihadapkan pada kenyataan bahwa usahanya untuk kebaikan tidak selalu berhasil dan malah justru membawa bahaya atau bahkan petaka. Demikian manusia tak luput dari kesalahan dan harus menanggung akibatnya.

Krisis demi krisis keuangan global maupun regional telah membuat kehidupan menjadi tanpa kepastian. Harga barang kebutuhan terus merambat naik, sementara ekonomi perlahan mengalami stagnasi atau bahkan penurunan. Jurang antara si kaya yang minoritas dan si miskin yang mayoritas menjadi makin lebar dan menganga. Mengakibatkan masalah ketidakadilan sosial yang sangat serius dan mengancam hancurnya kerekatan. Korban banyak berjatuhan dan mengakibatkan arus pengungsian yang amat besar ke berbagai tujuan. Menimbulkan masalah sosial politik yang rumit dan berpotensi memicu persoalan yang lebih gawat seperti ambil contoh apa yang terjadi di Myanmar, di mana umat Islam dan Buddha seakan menjadi bermusuhan.

Peringatan

Semua masalah ini adalah peringatan lebih dari cukup yang harus segera kita tanggapi. Amat sulit memang membayangkan bagaimana mencari solusi dari masalah yang sedemikian rumit ini. Dibutuhkan eksplorasi kreatif yang tak hanya dibatasi oleh kegiatan seni biasa, tetapi yang bersifat trans-disiplin. Dalam hal ini pun tidak dibatasi oleh praktik yang sudah dikenal selama ini. Perlu dibuat terobosan lebih jauh di mana pada dasarnya semua elemen dalam masyarakat bisa diajak berdialog dan bekerja sama.

Cara dan metode ”kuno” yang bersifat konfrontatif—biasanya dilakukan pada penguasa atau mereka yang di posisi kuat—mungkin dalam konteks hari ini sudah tidak efektif lagi. Karena memang sering kali hanya menjadi kegiatan sebatas wacana kalaupun bukan pemicu kekerasan dan perpecahan! Inilah tantangan garda depan yang utamanya harus dihadapi dalam kebersamaan oleh seniman, ilmuwan, dan rohaniwan. Memadukan dengan cara kreatif bidang dan keahlian berbeda dalam kesetaraan. Menghormati perbedaan tetapi sekaligus mampu melihat persamaan yang akan menjadi penghubungnya. Dengan demikian, segala potensi dan kemungkinan bisa diberdayakan tanpa dihambat oleh tembok pemisah berupa keangkuhan kekhususan bidang masing-masing.

Kembali ke kebudayaan kreatif masa lalu sebagai sebuah contoh model di mana elemen-elemen tersebut di atas bersatu-padu dalam usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Bisa dilihat dari peninggalan-peninggalan masa lalu yang tergambarkan di candi-candi kuno, baik yang dibuat dari batu maupun terakota atau tembikar yang juga dikenal dengan nama gerabah. Misalnya, rumah peribadatan kuno gerabah yang paling tua di Nusantara sampai sejauh yang sudah ditemukan adalah candi Batu Jaya di Jawa Barat (dibangun pada abad ke-4 hingga ke-5 Masehi). Ini bisa dijadikan contoh bagaimana ilmuwan, rohaniwan, teknokrat, dan seniman bekerja sama mewujudkan wadah yang menjadi tempat mengolah kehidupan, baik pada tataran spiritual, mental, maupun intelektual secara terintegrasi.

Sekalipun tempat ini diciptakan dengan teknologi awal yang sederhana, tak mengurangi nilai dan sistem budaya yang mengintegrasikan segala potensi manusia untuk bisa menjadikan kehidupan lebih beradab dan bermartabat. Hal ini bisa dijadikan bahan renungan di dalam konteks budaya dan peradaban modern yang kini menjadi melenceng dari apa yang diharapkan oleh para pembaru di zaman pencerahan. Yang justru malah menimbulkan petaka bagi umat manusia dan merisikokan kehidupan.

Dalam lingkup dan konteks hari ini kita bisa mulai dengan hal sederhana, semisal memulai kembali menghayati cara berkreasi gerabah (tembikar) atau terakota ini. Yang bersifat ramah lingkungan dan murah sehingga bisa dimanfaatkan dan dilakukan siapa saja. Tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku, bangsa, maupun warna kulit. Dengan cara kerja yang bersifat komunal, orang bisa kembali mempelajari dan menghayati kehidupan yang alami dalam kebersamaan dan keterkaitan. Selain memahami sejarah/sejarah budaya, teknologi, aspek sosial politik, aspek ekonomi, dan antropologi budaya secara umumnya, juga tentunya menyadari kenyataan bahwa alam kini cenderung hanya dipandang sebagai obyek belaka.

Demikian perhelatan seni Biennale Terakota di Desa Kasongan, Bantul, DI Yogyakarta, yang digagas oleh Noor Ibrahim dan Iwan Wijono telah membuka cakrawala kreativitas yang lebih luas. Masa lalu dan kuno yang sering dianggap kurang penting karena tidak tampak secanggih yang kini bisa dibongkar dan didayagunakan lalu dihubungkan dengan masa kini. Dengan demikian, fantasi dan imajinasi manusia bisa diaktifkan untuk secara leluasa memasuki masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Yang akan memacu lebih jauh kreativitas tanpa meninggalkan akar budaya serta penghargaan atas keberlimpahan dan keramahan alam.

Presiden Pastikan Penuntasan Kasus Masa Lalu



"Sudah ada pertemuan, tetapi, kan, perlu tindak lanjut. Ditunggu saja, saya pastikan akan kita selesaikan, tetapi satu per satu," ujar Presiden kepada wartawan di sela-sela kunjungan kerja di Sulawesi Utara, Kamis (28/5).

Mengenai bentuk penyelesaiannya seperti apa, Presiden Jokowi menyatakan hal itu masih dalam proses. "Ini sedang proses, enggak bisa menyelesaikan sendiri. Itu harus berbicara baik dengan keluarga, Komnas HAM, Kemenkumham, maupun Menko Polhukam. Semuanya harus duduk bersama. Nanti kalau sudah final, baru ke saya," kata Presiden.

Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membuka ruang bagi korban dan keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat masa lalu untuk memberikan masukan penyelesaian perkaranya. Kendati demikian, langkah non-yudisial tetap menjadi pegangan untuk menuntaskan kasus yang sudah menggantung selama bertahun-tahun.

"Kami menyadari ada keberatan dari korban dan keluarga korban. Tetapi, kami telah memberikan penjelasan kepada mereka. Sebab, langkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu ini harus melibatkan banyak pihak sehingga perlu ada jalan tengah," kata komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah, di Jakarta, kemarin.

Stigmatisasi 

Ia menambahkan, rekonsiliasi bukan sesuatu yang mudah diterima oleh keluarga korban dan korban dari perkara ini. Oleh karena itu, sesuai masukan mereka, upaya rehabilitasi juga akan dilakukan. Pasalnya, selama ini para korban dan keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kerap menerima stigmatisasi dari masyarakat.

Hal itu dialami salah seorang korban Peristiwa 1965-1966, Tumiso. Ia mengungkapkan, tidak hanya dirinya, keturunannya pun mengalami kesulitan ketika ingin melanjutkan hidup.

"Ada cap bahwa kami ikut dalam peristiwa tersebut. Selanjutnya, anak-anak kami cari kerja saja susah, terutama saat ingin berkarier sebagai pegawai negeri," kata Tumiso.

Jaksa Agung HM Prasetyo menjelaskan, dengan langkah non-yudisial yang akan diambil, bukan berarti pemerintah ingin lari dari masalah. Sebab, pengungkapan kebenaran tetap akan dilakukan dan hasilnya akan diberitahukan kepada para korban dan keluarga korban. Ia menjamin kejadian serupa tak akan terjadi lagi di kemudian hari.

Saat ini, tim gabungan yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno belum membahas detail enam kasus yang akan diselesaikan dengan langkah non-yudisial ini. Enam kasus itu adalah kasus peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; Talangsari di Lampung (1989); penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; serta peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

"Belum dilihat kasus per kasus. Nanti akan ditelaah lagi seperti apa. Tetapi, sekali lagi, rekonsiliasi ini tawaran solusi yang memungkinkan," kata Prasetyo.

Ia menambahkan, dari beberapa jaksa agung, hasil penyelidikan selalu bolak-balik dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM. "Kenapa bolak-balik? Karena memang belum lengkap. Jika belum lengkap, kejaksaan juga tak bisa meningkatkan ke penyidikan. Komnas HAM memahami hal tersebut. Untuk itu, agar tak ada beban sejarah lagi, diambil langkah seperti ini," ujar Prasetyo.


www.kompas.com

Membaca sebagai Jendela untuk Melihat Dunia

Perhatian kita lebih terarah pada isu-isu aktual yang lain. Sebut saja, misalnya, kini publik sedang penasaran, apakah Presiden Joko Widodo benar-benar akan me-reshuffle Kabinet Kerja yang dibentuk pada 27 Oktober 2014. Menteri mana saja yang akan diganti. Sementara itu, soal buku menjadi perbincangan nomor sekian.

Perbincangan publik soal buku sebenarnya terjadi. Setidaknya dari percakapan di Twitter, salah satu media sosial yang paling aktif memperlihatkan perhatian publik. Namun, selama sehari pada 17 Mei lalu, jumlah cuitan terkait buku masih minim. Dari yang tidak banyak itu, sebagian besar diunggah oleh akun-akun penerbit, bukan khalayak ramai.

Apakah kita cenderung menyepelekan buku? Mungkin tidak sepenuhnya demikian. Soalnya, memang belum ada usaha serius bersama untuk mempromosikan hari penting ini. Apalagi, Hari Buku Nasional cukup muda, baru dicanangkan pada 2010.

Kondisi sepi ini justru menggambarkan keadaan kita senyata-nyatanya. Kita memang belum terlalu serius memuliakan buku. Ini tantangan yang mesti kita jawab dengan aksi nyata.

Penetapan

Sekadar mengingatkan, Hari Buku Nasional ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar pada 2010. Tanggal 17 Mei mengacu pada tanggal pendirian resmi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 1980. Kebijakan itu diambil demi lebih memopulerkan buku kepada masyarakat, meningkatkan daya baca, sekaligus mencerdaskan bangsa lewat buku.

Penetapan ini berangkat dari fakta memprihatinkan terkait minat baca di Indonesia yang masih rendah. Pada 2012, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca.

Perpusnas melansir data serupa terkait jumlah buku yang dibaca masyarakat Indonesia yang sangat rendah dibandingkan negara lain. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN, selain Indonesia, yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun.

Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku per tahun. Saat bersamaan, warga Jepang membaca 10-15 buku setahun.

Masih menurut Perpusnas, Indonesia hanya memiliki terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Ini jumlah kecil dibandingkan penduduk kita yang sekitar 250 juta orang. Artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang. Meski masih perkiraan, angka ini tentu memprihatinkan.

Buku adalah jendela ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan, kita bisa mempelajari berbagai hal serta mengembangkan diri. Buku yang menuntun kita menjelajah berbagai kemungkinan dalam kehidupan ini memandu untuk mengatasi bermacam persoalan, mendorong penemuan, dan membangun peradaban manusia yang lebih maju.

Bangsa yang maju adalah bangsa yang membaca buku. Sebaliknya, kian rendah daya baca masyarakat, kian sulit bangsa itu maju. Ingat saja pernyataan terkenal penyair kelahiran Amerika Serikat yang kemudian hijrah ke Inggris, TS Eliot (1888-1965), "Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca." Dengan demikian, jika ingin Indonesia yang lebih maju, kita perlu meningkatkan daya baca buku.
Rumusan ini mudah diucapkan, tetapi perlu kerja keras untuk diwujudkan. Penyebabnya, meski sudah 70 tahun merdeka, angka melek huruf kita masih rendah. Program Pembangunan PBB (UNDP) merilis, angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sebagai perbandingan, angka melek huruf di negeri jiran kita, Malaysia, mencapai 86,4 persen. Hal ini terkait dengan pendidikan kita yang masih belum maju. Sebagai gambaran, berdasarkan data UNESCO, Indonesia berada di urutan ke-69 dari total 127 negara dalam indeks pembangunan pendidikan UNESCO.

Tantangan kian berat karena masyarakat kita sekarang mulai mengenal teknologi informasi yang semakin canggih dan menawarkan hiburan yang memikat, khususnya televisi dan internet. Sebagian masyarakat lebih tergoda menonton televisi atau berselancar di dunia maya ketimbang membaca buku. Memang ada temuan teranyar, yaitu buku digital, tetapi jumlahnya masih terbatas. Itu pun rata-rata hanya bisa diakses di perkotaan.

Meningkatkan daya baca

Bagaimana cara meningkatkan daya baca masyarakat Indonesia? Ada beberapa program yang layak kita jalankan.

Pertama, kita perlu memperbaiki kualitas dan pemerataan pendidikan agar bisa mendorong tingkat melek huruf yang lebih tinggi. Infrastruktur (fasilitas) dan suprastruktur (sumber daya manusia) perlu dikembangkan hingga menjangkau pelosok Tanah Air. Jangan sampai ada masyarakat di pedalaman Nusantara yang masih sulit belajar gara-gara tidak ada sekolah, kekurangan guru, atau minim fasilitas lain. Negara bertanggung jawab memenuhi fasilitas pendidikan bagi warganya.

Kedua, kita bangun lebih banyak perpustakaan di semua daerah sebagai tempat yang nyaman untuk membaca, jumlah koleksi buku yang banyak, dan menawarkan kegiatan yang menarik. Ketiga, dibutuhkan program-program berkelanjutan untuk lebih memperkenalkan buku dan mendorong minat baca buku ke sekolah dan masyarakat umum. Jangan terpaku pada seremoni, tetapi fokus pada terobosan yang lebih membumi dan memikat kaum muda untuk membaca.

Keempat, dari sisi penerbit, kita dorong agar semakin banyak buku diterbitkan, terutama buku-buku yang berkualitas dari berbagai bidang. Kian banyak tawaran buku menarik, kian banyak alternatif bacaan bagi masyarakat.

Kelima, kita dukung kekuatan masyarakat madani untuk bersama-sama pemerintah dan semua pihak membangun peradaban membaca buku. Bentuknya bisa berupa pendirian taman bacaan hingga ke pelosok Nusantara, program pendorong membaca, atau langkah-langkah lain yang mungkin diambil untuk memprovokasi kaum muda agar mencintai buku.

Para aktivis media sosial, seperti Twitter atau Facebook, juga perlu dirangkul untuk lebih sering mengunggah rangsangan membaca buku. Kita ingatkan bahwa bangsa Indonesia lahir berkat perjuangan para pemimpin setelah melihat realitas kehidupan masyarakat terjajah serta terinspirasi dari gagasan kemerdekaan bangsa yang dibaca dari buku-buku.

Dalam hal ini, buku dianggap sebagai "jimat" yang membuat Mohammad Hatta kuat menjalani tekanan pemerintah kolonial Hinda Belanda saat itu. Bung Hatta pernah berkata, "Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena, dengan buku, aku bebas."

Saat diasingkan di Boven Digoel, pedalaman Papua, tahun 1934, Bung Hatta bahkan menulis buku Alam Pikiran Yunani. Saat menikah, buku itu pula yang menjadi mas kawin Hatta untuk istrinya, Rachmi Rahim.
Salah satu proklamator Republik Indonesia itu telah memberi teladan mencintai buku. Bagaimana dengan kita, bangsa Indonesia, yang menikmati kemerdekaan yang ia perjuangkan?

Kenangan Membaca, Kenangan Berpikir

Tanda-tandanya sudah tampak kini. Dengan apa yang dikenal luas sekarang dengan sebutan Twitter, orang tak perlu berpikir keras sebelum mengutarakan sesuatu. Cukup secara spontan dan segera: nyeletuk. Yang berkuasa adalah ucapan yang paling banyak, bukan truth, kasunyatan, kesejatian, yang memang sering tak terucap. Tak ada suaranya, seperti angin. Kita hanya melihat kehadirannya lewat daun yang bergerak. Mengutip sajak Darmanto Jatman di masa lalu: ”...seperti lidah, di mulut tak terasa/seperti jantung, di dada tak teraba.”

Dunia kini melulu dikuasai keberisikan, bukan keheningan berpikir. Praktisnya: ngomong dulu berpikir kemudian. Tanda tangan dulu, berpikir belakangan. Kerja, kerja, kerja. Lha, berpikirnya mana. Jadi ingat, kata-kata para editor koran di masa lalu. Kepada reporter, mereka mengingatkan: ketika kalian pulang ke kantor, tulisan harus sudah jadi.

Maksudnya bukan kami disuruh menyerahkan kertas berisi tulisan yang telah beres begitu sampai kantor, di zaman mesin ketik itu. Melainkan, proses eksplorasi dan pencarian berita adalah proses gagasan. Saat naik bus kota atau mengendarai Vespa pulang ke kantor usai tugas lapangan, hasil wawancara, pengamatan, dan lain-lain telah kami olah dan sintesiskan dalam pikiran kami. Struktur tulisan telah terbentuk di otak. Dengan kata lain, sebelum mengetik, tulisan telah selesai. Kami cepat dan akurat, dalam zaman teknologi yang lelet, lambat, tidak sebergegas sekarang.

Itu pula ironinya. Di zaman dengan teknologi informasi yang memungkinkan orang melakukan segala sesuatu serba cepat—bercinta pun dengan tergopoh-gopoh—berita justru tidak selesai. Bukan saja tidak selesai sebelum ditulis, bahkan belum selesai setelah terpublikasikan. Persis berbagai keputusan yang memiliki implikasi serius terhadap kehidupan publik. Banyak keputusan minus pemikiran. Dalam dunia politik, tak ada lagi pergulatan ideologi. Yang ada perebutan kekuasaan. Kajian politik menyangkut ideologi dan pemikiran digantikan talk show berisi gosip politik. Untung dulu tak jadi susah-susah kuliah ilmu politik.

Terus terang, dengan surutnya kebiasaan membaca buku, saya melulu melihat hal-hal yang bakal hilang, belum menemukan apa yang bakal menjadi gantinya. Proses membaca buku berbeda dengan proses membaca di layar laptop atau berbagai perangkat digital canggih sekarang. Membaca melalui layar komputer, istilahnya hiperteks, berbeda prosesnya di otak dibanding dengan membaca buku, dalam hal ini disebut pembacaan secara linear.

Pada pembacaan hiperteks, orang meloncat ke sana-kemari, tidak fokus ke satu hal. Belum lagi kalau kita bicara cara kerja saraf-saraf sensorik tubuh. Dalam pembacaan dengan teknologi digital, sistem sensor dan kognitif kita berubah karena stimulus yang bersifat repetitif, intensif, interaktif, dan adiktif (membuat kecanduan). Lihat sendiri: kalau pasangan Anda kecanduan peranti digital, susah dia diajak ngomong. Sadarkan dia, bukan buru-buru cari ganti.

Menggalakkan kebiasaan membaca (buku) kini menemukan signifikansi baru. Dia bukan hanya upaya memberantas iliterasi, tetapi juga menyelamatkan otak. Kenangan Desember lumayan, jadi ingat diri penyanyi Arie Kusmiran. Kalau membaca dan berpikir tinggal kenangan, kita kehilangan diri.

www.kompas.com

Popularitas Perpustakaan Semakin Pudar Dilibas Digital

Selama beberapa tahun terakhir, minat masyarakat untuk mengunjungi perpustakaan terus turun. Hal itu setidaknya tampak dari merosotnya jumlah kunjungan masyarakat ke Perpustakaan Nasional selama lima tahun terakhir.

Perpustakaan terbesar dan memiliki koleksi paling lengkap di Indonesia itu rata-rata hanya dikunjungi 403.000 orang per tahun. Kondisi ini jauh di bawah negara Singapura. Di negara tetangga yang jumlah penduduk jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Indonesia itu, Perpustakaan Nasional-nya dikunjungi lebih dari 1 juta orang per tahun.

Rendahnya kunjungan masyarakat ke perpustakaan juga terlihat di perpustakaan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dalam lima tahun terakhir, pengguna jasa perpustakaan daerah sekitar 400.000 orang. Sementara penikmat perpustakaan keliling yang dikelola Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DKI Jakarta hanya sekitar 200.000 orang per tahun. Padahal, Pemprov DKI Jakarta tiap tahun terus menambah jumlah koleksi buku- buku di perpustakaan tersebut.

Selaras dengan hasil jajak pendapat ini, kultur membaca dan berkunjung ke perpustakaan memang masih minim. Meski mayoritas publik jajak pendapat ini mengaku pernah mengunjungi perpustakaan di daerahnya, intensitasnya sangat jarang. Sebagian terbesar responden mengaku kunjungan ke perpustakaan dilakukan hanya pada saat masih sekolah dan ketika mengerjakan tugas dari sekolah.

Jika dicermati, pengakuan itu paralel dengan tingkat pendidikan publik. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden, semakin besar pula intensitas kunjungan ke perpustakaan.

Selain berkompetisi dengan teknologi digital yang bisa diakses melalui gawai, rendahnya minat berkunjung ke perpustakaan antara lain juga dipengaruhi oleh belum memadainya akses masyarakat ke perpustakaan. Setidaknya hal ini tergambar dari pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas.

Lebih dari separuh responden yang berhasil dirangkum pendapatnya menilai saat ini perpustakaan di daerah tempat tinggal mereka belum bisa diakses secara bebas oleh masyarakat umum. Sebagian pengelola perpustakaan masih mensyaratkan keanggotaan jika masyarakat ingin mengakses atau meminjam buku di perpustakaan.

Minat baca rendah

Selain itu, minat baca masyarakat masih dianggap rendah. Setiap tiga dari empat responden menilai minat baca, terutama kalangan remaja, masih rendah. Rendahnya minat baca di negeri ini juga tecermin dari kebiasaan membaca buku masyarakatnya.

Meski angka melek huruf Indonesia telah mencapai 93 persen, kebiasaan membaca buku di antara warga masyarakat masih rendah dibandingkan dengan penduduk di beberapa negara Asia lainnya. Rata-rata lama membaca buku warga Indonesia hanya enam jam per minggu. Sementara di India rata-rata lama membaca warganya sepuluh jam per minggu, Thailand sembilan jam, dan Tiongkok delapan jam per minggu.

Tak hanya itu, Survei Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) tahun 2012 menyebutkan, kebiasaan membaca masyarakat Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan warga negara Asia lain.

Hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia memiliki minat baca serius. Rata-rata membaca buku penduduknya pun kurang dari 1 judul buku per tahun, sementara penduduk Jepang setiap tahun membaca 10-15 judul buku. Sementara orang Amerika sebanyak 20-30 judul buku per tahun.

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan minat baca masyarakat adalah dengan mencanangkan bulan gemar membaca yang diselenggarakan pada bulan September. Tanggal 14 September pun ditetapkan sebagai hari kunjungan perpustakaan.

Namun, upaya ini cenderung terkesan sebagai gerakan seremonial semata. Hari Kunjungan Perpustakaan diperingati oleh perpustakaan di seluruh Indonesia dengan menggelar berbagai kegiatan seperti pameran, perlombaan yang bertujuan mempromosikan berbagai koleksi, produk, dan layanan yang dimiliki, serta kegiatan yang menumbuhkan minat baca.

Publik melihat dari kacamata yang lain. Harus ada upaya yang lebih nyata dari pemerintah untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Sebagian terbesar responden dalam jajak pendapat ini, misalnya, mendorong pemerintah untuk mewajibkan masyarakat, khususnya pelajar, untuk mengunjungi perpustakaan. Setidaknya upaya ini dapat menggugah kembali kesadaran masyarakat akan pentingnya perpustakaan sebagai salah satu sumber informasi, sarana belajar, dan sarana rekreasi ilmiah.

Fungsi perpustakaan

Perpustakaan menjadi sarana dan prasarana penting untuk mendorong minat baca masyarakat. Secara umum, perpustakaan memiliki empat fungsi, yakni pertama sumber informasi yang menyimpan karya cetak, seperti buku, majalah, dan sejenisnya serta karya rekaman, seperti kaset, piringan hitam, dan sejenisnya. Perpustakaan juga menjadi sarana pendidikan dan pembelajaran nonformal dan informal. Artinya, perpustakaan menjadi tempat belajar ideal di luar sekolah. Selain itu, perpustakaan juga bisa menjadi sarana rekreasi. Perpustakaan sebagai tempat untuk menikmati rekreasi kultural dengan cara membaca. Fungsi penting lain dari perpustakaan adalah sebagai penunjang kegiatan penelitian.

Pentingnya fungsi perpustakaan itu secara tak langsung disadari oleh publik. Jajak pendapat ini merekam harapan publik akan pentingnya perpustakaan di lingkungan mereka. Sedikitnya empat dari setiap lima responden yang berhasil diwawacarai mengaku perlu dibuatkan perpustakaan bagi warga di sekitar tempat tinggal mereka. Selain bisa menumbuhkan minat baca masyarakat, perpustakaan juga diharapkan dapat memperkaya pengetahuan warga.

Untuk mendorong antusiasme masyarakat berkunjung ke perpustakaan, idealnya perpustakaan perlu dikelola secara partisipatif oleh masyarakat. Jika memungkinkan, adanya fasilitas kehadiran pustakawan bisa menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menarik dikunjungi karena koleksinya dikelola oleh profesional.

Atau dengan kata lain, ada keselarasan antara kehadiran perpustakaan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Jika hal itu dapat diupayakan, direalisasikan, dan dikelola dengan baik di tingkat komunitas, perpustakaan dapat diberdayakan sebagai salah satu tempat untuk mencerdaskan masyarakat.

www.kompas.com

Menjaga Pancasila Tetap Terbuka

Rabu malam tanggal 12 September 1984 menjadi malam tergelap di Tanjung Priok, Jakarta. Suara tembakan tak henti-hentinya memecah kesunyian malam. Benar-benar menjadi malam mencekam ketika korban-korban berjatuhan bergelimpangan di bawah berondongan senjata api aparat keamanan. Tablig akbar yang memang rutin berubah menjadi tragedi berdarah. Itulah peristiwa Priok, sebuah kisah tragis tentang pembungkaman, pembantaian, dan pelanggaran hak asasi manusia. Peristiwa Priok 1984 merupakan puncak "perlawanan" rakyat terhadap penguasa otoriter, salah satunya penolakan terhadap penerapan asas tunggal Pancasila, yang dianggap meminggirkan umat Islam.

Di tangan penguasa otoriter, sesuatu yang baik pun bisa mengerikan. Pancasila yang sejak merdeka 1945 menjadi dasar negara dan falsafah bangsa berubah menjadi doktrin kaku yang dipaksakan. Tidak becermin pada penguasa Orde Lama yang menjadikan Pancasila kaku dan indoktrinasi, penguasa Orde Baru malah membuat keputusan politik lebih mengerikan lagi dengan menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal tahun 1985. Pancasila dijadikan sebagai instrumen politik bagi penguasa untuk memperkuat kekuasaan dan mempertahankan status quo. Sepanjang kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun, Pancasila mengalami proses mistifikasi.

Wacana asas tunggal Pancasila berembus setelah Presiden Soeharto berpidato di depan DPR pada 16 Agustus 1982. Soeharto menyatakan bahwa semua partai politik (parpol) atau organisasi kemasyarakatan (ormas) harus berasaskan Pancasila. Hal itu kemudian dilegalkan dalam Ketetapan MPR Nomor II Tahun 1983. Pemerintah kemudian membuat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 yang menyatakan, semua partai politik dan Golkar harus berasaskan Pancasila. UU tersebut diterbitkan pada 19 Februari 1985. Lalu, peraturan untuk ormas dikeluarkanlah UU No 8/1985 pada Juni 1985. Kontan asas tunggal Pancasila menimbulkan gejolak.

Mengganti asas, terutama bagi parpol atau ormas yang berlandaskan Islam, merupakan pilihan yang sangat pahit. Meskipun demikian, tidak berarti tanpa perlawanan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan wadah partai-partai Islam sempat goyah karena Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) memilih keluar. Organisasi seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), misalnya, juga lebih memilih bergerak "di bawah tanah". Kooptasi penguasa Orde Baru terhadap parpol dan ormas memang luar biasa. Implikasi krisis politik tahun 1965 membuat penguasa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto sangat khawatir. Soeharto tidak ingin kekuasaannya terancam atau didongkel. Maka, setelah Pemilu 1971 Soeharto berhasil membangun sistem politik yang tertutup dan di bawah kontrol ketat dirinya. Sistem multipartai yang memang sering membuat politik tidak stabil di zaman demokrasi parlementer tidak lagi ditemukan.

Pada 1973, partai politik benar-benar dikerdilkan dan dikucilkan. Penguasa Orde Baru melakukan restrukturisasi partai politik. Hanya ada tiga kekuatan sosial politik yang terdiri atas dua parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan satu Golongan Karya (Golkar). Partai-partai Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Pergerakan Tarbiyah Indonesia (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dikerangkeng dalam PPP. Partai-partai berideologi nasionalis dan Kristen/Katolik disangkarkan di dalam PDI, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Ketika dua parpol diawasi ketat, Soeharto justru membangun Golkar sebagai "mesin politik" Orde Baru. Padahal, parpol semestinya menjadi jembatan antara pihak yang memerintah (the rulers) dan mereka yang diperintah (the ruled) (Budiardjo, 1994).

Namun, di era Orde Baru dua parpol tersebut bukan saja tidak mampu menjalankan fungsinya secara benar, melainkan juga benar-benar tak berkutik. Demokrasi seperti antara "ada dan tiada". Instrumen-instrumen demokrasi seperti pemilu atau lembaga legislatif memang ada, tetapi tak lebih dari prosedural, jika tidak ingin disebut sebagai demokrasi tipu-tipu. Dan, ketika asas tunggal Pancasila diterapkan, bukan demokrasi makin melemah, melainkan di sisi lain justru terjadi ketegangan dan kekerasan karena beberapa pihak melakukan perlawanan, baik terang-terangan seperti dalam kasus Priok maupun diam-diam bergerak "di bawah tanah".

Di bawah cengkeraman kekuasaan Soeharto, semua pihak yang menentang dianggap subversif dan inkonstitusional. Bahkan, pers pun dibuat tak berkutik. Meskipun dalam tekanan dan ancaman pemberedelan, pers seperti berupaya menggunakan kekuatan tersisa: mengkritisi secara proporsional penerapan asas tunggal Pancasila. Dalam headline di halaman utama edisi 28 September 1983, Kompas terlihat "menggugat" dan memberi warning dengan memberi judul "Penerapan Asas Tunggal Tidak Mengarah pada Proses Monolitik". Tiga narasumber kompeten dikutip, yaitu Ketua DPP Golkar R Sukardi, Ketua Umum DPP PDI Soe-nawar Soekowati, dan Wakil Ketua Umum DPP PPP H Nuddin Lubis, yang semuanya juga pimpinan DPR. Seperti lazimnya perilaku di era Orde Baru, nyaris tiada yang bersuara keras. Mereka menyatakan, penerapan asas tunggal Pancasila tidak akan mengarah pada tumbuhnya proses monolitik. Tidak akan terjerumus pada sistem partai tunggal karena terbuka kesempatan luas untuk memperjuangkan program masing-masing dengan penekanan berbeda.

Di bawah rezim Soeharto yang kuat, dengan memilih angle tersebut, Kompas mengingatkan bahwa asas tunggal Pancasila agar tidak dijadikan alat menuju kekuasaan tunggal (monolitik). Pilihan sudut pandang ini tentu saja bukan tanpa kecemasan mengingat dalam nuansa mistifikasi Pancasila, ideologi itu dianggap tabu. Tak hanya itu, posisi Kompas juga sangat berisiko mengingat lima tahun sebelumnya (1978) pernah diberedel dan tidak terbit beberapa hari.

Namun, dalam situasi tersebut secara sadar Kompas tetap menjadi pemberi informasi edukatif, kontrol sosial yang konstruktif, dan penyaluran aspirasi rakyat dalam komunikasi dan partisipasi publik. Bagaimanapun juga, menurut Roth (2001), pers telah memainkan peran penting dalam memberikan pengawasan internal pemerintah, kebebasan pers yang semakin baik menjadi prasyarat dan indikator utama demokrasi, pembangunan yang efektif dan berkelanjutan, serta tata kelola pemerintahan yang baik. Barangkali pers-khususnya Kompas di usia 50 tahun ini-jangan berhenti menjaga Pancasila sebagai ideologi yang hidup, terbuka, dan dinamis!

www.kompas.com

Demokrasi Butuh Sikap Adil dan Beradab



"Tanpa sikap adil dan beradab, demokrasi akan sia-sia, hancur, dan runtuh," kata Presiden dalam acara pelantikan Pengurus DPP periode 2015-2020 dan Milad Ke-17 Partai Bulan Bintang (PBB) di Jakarta, Senin (10/8) malam.

Muktamar IV PBB pada 26 Mei 2015 memutuskan Yusril Ihza Mahendra sebagai ketua umum partai itu dalam lima tahun ke depan. Adapun MS Kaban menjadi Ketua Majelis Syura, Jurhum Lantong sebagai Sekretaris Jenderal, dan Aris Muhammad sebagai Bendahara Umum.

Dalam kesempatan tersebut, Presiden berharap, PBB dapat terus berperan dalam menjaga demokrasi di Indonesia. "PBB lahir pada era Reformasi, hingga kini masih menjaga identitas dan jati diri sebagai partai yang berjiwa besar, siap menang dan siap kalah," ujar Presiden.

Yusril mengatakan, PBB telah melewati lintasan sejarah demokrasi Indonesia. Pada Pemilu 1999 dan 2004, PBB mengirim wakilnya ke DPR. Namun, pada Pemilu 2009 dan 2014, PBB tidak lolos ambang batas parlemen sehingga tidak mengirim wakilnya ke DPR. "Itu semua kami terima sebagai sejarah perjalanan partai," ujarnya.

Dalam konteks politik Indonesia, lanjut Yusril, Islam dan kebangsaan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dua hal itu menjadi landasan gerakan politik PBB.

Dalam sambutannya, Yusril juga mengapresiasi kehadiran Presiden. "Ini bentuk perhatian Presiden pada partai politik. Kehadiran Presiden ini juga menunjukkan PBB tetap eksis dan akan terus memberikan sumbangan bagi kemajuan bangsa," ujar Yusril.

Sementara itu, MS Kaban berharap PBB menjadi partai politik yang selalu jadi pemecah masalah, bukan pembuat masalah.

Kaban juga menekankan, pengurus partai harus selalu taat satu komando dari ketua umum dan meminta fungsionaris tingkat pusat dan daerah untuk hati-hati dalam membuat pernyataan. "Semoga PBB bisa tumbuh dan hidup kembali," kata Kaban.
Mandat

Menurut Kaban, terpilihnya Yusril sebagai Ketua Umum PBB merupakan wujud pengembalian mandat partai kepada pemegang yang sesungguhnya.

"Jadi, kita serahkan kembali kepada pemegang mandat. Sekarang waktunya negara butuh pemikiran hukum dari Yusril," ucapnya.

Kaban menjelaskan, sejarah berdirinya PBB tidak lepas dari mandat yang diserahkan oleh gabungan organisasi kemasyarakatan kepada Yusril untuk mendukung berdirinya partai tersebut pada 17 Juli 1998. Ormas tersebut antara lain Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Indonesia, Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Gerakan Pemuda Islam (GPI). Sejumlah ormas tersebut tergabung dalam Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI) yang didirikan pada 12 Mei 1998.

BKUI merupakan lanjutan dari Forum Ukhuwah Islamiyah yang didirikan pada 1 Agustus 1989 oleh para pemimpin Partai Masyumi, seperti Mohammad Natsir, HM Rasjidi, Masjkur, dan Rusli Abdul Wahid.


www.kompas.com

PDI, Partai "Kawin Paksa"

Berita utama harian "Kompas" edisi 12 Januari 1973 mengangkat tentang penggabungan Partai Demokrasi Indonesia. Penggabungan itu merupakan keinginan pemerintahan Presiden Soeharto. Rezim Orde Baru yang baru tumbuh saat itu mengutamakan stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.

Sejak awal berkuasa tahun 1966, Presiden Soeharto memang sudah mengarahkan ekonomi sebagai andalan. Dengan berdalil memerangi kemiskinan dan kemelaratan, Soeharto menggelorakan semboyan: Pembangunan yes, Politik no!

Pembangunan ekonomi menuntut adanya stabilitas politik. Itu sebabnya, pers dan aktivitas mahasiswa dikendalikan. Sementara partai politik yang pada pemilihan umum tahun 1971 masih ada sembilan parpol ingin disederhanakan. Sembilan parpol dinilai terlalu banyak dan sangat berpeluang menimbulkan kegaduhan politik.

Pada 7 Januari 1970, Presiden Soeharto memanggil pemimpin sembilan partai politik. Kesembilan partai politik itu adalah Partai Nasional Indonesia, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, Murba, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah.

Saat itu, Presiden Soeharto melontarkan gagasan dilakukan fusi parpol. Tujuannya, menghasilkan sebuah masyarakat yang lebih tenteram, damai, dan terbebas dari konflik sehingga pembangunan ekonomi yang direncanakan dapat terlaksana optimal.

Semula sempat berkembang gagasan partai-partai politik itu dikelompokkan dalam lima atau empat kelompok, yakni dua kelompok Muslim, satu kelompok nasionalis, satu kelompok Kristen, dan satu kelompok karya. Namun, ide itu tidak disetujui pemerintahan Orde Baru.

Presiden Soeharto menginginkan kesembilan parpol digabungkan dalam dua kelompok, yakni material spiritual dan spiritual material. Kelompok material spiritual meliputi Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Murba. Sementara kelompok spiritual material meliputi Nahdlatul Ulama (NU), Parmusi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah, melahirkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

"Saya termasuk orang yang sulit menangis. Namun, air mata saya tidak bisa dibendung saat saya harus mengetuk palu tiga kali pertanda membubarkan Partai Katolik untuk bergabung dengan PDI. Kami semua yang hadir dalam ruang sidang itu menangis," kata Ben Mang Reng Say dalam sebuah pertemuan pada tahun 1992 di Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang mengisahkan tentang fusi PDI. Saat fusi itu Ben Mang Reng Say menjabat Ketua Umum Partai Katolik.

Partai politik "kawin paksa" mungkin itu yang layak disandangkan kepada PDI. Pernikahan setengah hati itu pula membuat perjalanan PDI selalu penuh gejolak. Intrik antarfaksi berlangsung tanpa henti. Intrik itu kian subur sebab selalu mendapat sokongan dari pengusaha Orde Baru.

Puncaknya adalah terjadi penyerangan terhadap kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 oleh ratusan orang berkaus merah di Jalan Diponegoro, Jakarta. Peristiwa Sabtu kelabu tersebut menelan banyak korban jiwa. Maraknya intrik itu membuat dukungan masyarakat terhadap PDI pun tidak meluas. Saat pertama kali ikut pemilu, yakni tahun 1977, PDI hanya meraih 29 kursi DPR, sementara Pemilu 1982 berkurang menjadi 24 kursi.

Namun, pada pemilu tahun 1987 terjadi kenaikan cukup tajam, yakni meraih 40 kursi. PDI pun berhasil melakukan transformasi diri sebagai partai anak muda sehingga pada Pemilu 1992 mampu meraih dukungan besar, yakni 56 kursi.

Kekecewaan masyarakat semakin parah setelah menyaksikan peristiwa 27 Juli 1996. Maka, pada Pemilu 1997, suara PDI pun anjlok tajam dan hanya bisa meraih 11 kursi. Lalu, pada pemilu berikutnya, yakni 1999, atau pertama setelah reformasi, PDI hanya meraih 2 kursi DPR. Sebaliknya, PDI Perjuangan menjadi pemenang pemilu dengan meraih 154 kursi DPR.

Reformasi terus berjalan dan PDI pun akhirnya mati. Yang terus hidup hanyalah semangat menegakkan demokrasi yang ditularkan melalui PDI-P. Namun, PDI-P pun perlu membebaskan diri dari ketergantungan pada pihak tertentu agar bisa berkembang lebih optimal.


oleh; Jannes Eudes Wawa
www.kompas.com

Perombakan Diantisipasi



"Kalau memang untuk kepentingan rakyat dan negara, kami serahkan (perombakan kabinet) ini sepenuhnya kepada Presiden. Harapan kami tentu mudah-mudahan tidak ada menteri kami yang di-reshuffle. Namun, kalaupun harus, kami siap," kata Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Patrice Rio Capella, Senin (4/5), saat dihubungi dari Jakarta.

Sebelumnya, saat dihubungi baru-baru ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengisyaratkan bahwa pemerintah akan merombak kabinet dalam waktu dekat. "Dua atau tiga bulan lagi atau setidaknya setelah Lebaran. Biar mereka bekerja tenang dan optimal," kata Kalla (Kompas, 4/5).

Meski siap menghadapi perombakan, Rio mengatakan, perombakan sebaiknya tidak sampai mengubah komposisi di kabinet saat ini. Menurut Rio, menteri dari partai politik yang dirombak sebaiknya juga diganti dengan calon menteri dari partai politik yang memenuhi syarat kemampuan.

"Tidak hanya untuk Nasdem, tetapi juga berlaku untuk partai lain. Yang dari partai politik diganti saja dengan calon dari partai politik yang berkompeten. Kalau dari kalangan profesional, silakan diganti dengan yang lebih baik," kata Rio.

Seperti diketahui, ada tiga kader Nasdem yang menjadi menteri di Kabinet Kerja. Mereka adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno; serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ahmad Basarah menambahkan, perombakan kabinet tidak bisa dihindari. Sebab, saat ini ada banyak menteri di Kabinet Kerja yang kurang cakap menjalankan perannya.

Tentang adanya kemungkinan empat menteri dari PDI-P yang ikut dirombak, Basarah mengatakan, itu hak Jokowi. Namun, Jokowi tetap harus mempertimbangkan etika politik. Dengan kata lain, pergantian menteri jangan sampai menimbulkan kegaduhan politik baru di masa depan. Salah satu caranya, Jokowi mendiskusikan terlebih dulu dengan ketua umum parpol sebelum mengganti menteri yang merupakan kader parpol itu.

"Kecuali kalau menterinya bukan berasal dari parpol, itu sepenuhnya hak Presiden," katanya. Ia menambahkan, pergantian menteri harus diproyeksikan untuk memperbaiki kinerja kabinet, bukan sekadar melayani kepentingan elite parpol.

Siapkan pengganti

Rio mengatakan, Nasdem siap mengusulkan kader-kader lain dari Nasdem untuk mengganti posisi menteri yang diganti. "Itu sepenuhnya hak Presiden, mau mengganti dengan calon dari mana. Namun, Nasdem tidak akan kekurangan kader untuk menempati posisi menteri kalau diminta oleh Presiden," kata Rio.

Sejauh ini, ujarnya, belum ada komunikasi antara Nasdem dan Jokowi tentang menteri-menteri mana yang akan dirombak. "Menteri-menteri biasanya berkoordinasi dengan partai pengusungnya juga. Namun, sejauh ini belum ada omongan dari menteri kami," kata Rio.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan versi Muktamar Surabaya Aunur Rofiq mengatakan hal serupa. Di Kabinet Kerja, kader PPP yang menjadi menteri adalah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. "PPP saat ini punya kader-kader yang merupakan teknokrat. Kalau ada amanah dari Presiden, insya Allah, kader-kader kami siap. Tetapi, semua kembali pada keputusan Presiden," kata Aunur.

Yang terpenting, ujar Aunur, Presiden harus memilih pengganti yang sesuai kompetensi dan bidang kementerian yang diampu. "Latar belakang (menteri) dari mana pun, terserah Presiden. Semoga ia bisa memilih orang yang tepat, sesuai prestasi. Dari partai, kalangan, atau koalisi mana pun tidak masalah," katanya.

Di sisi lain, Nasdem, PPP, dan PDI-P juga tak bermasalah kalau Jokowi ingin memasukkan politisi dari Koalisi Merah Putih ke dalam Kabinet Kerja hasil perombakan. "Keputusan mengenai hal itu kami serahkan pada keputusan politik Presiden Jokowi," kata Basarah. (AGE)


www.kompas.com