Negara-negara dengan ekonomi yang berkembang (emerging markets/EM),
termasuk Indonesia, sedang menghadapi tantangan eksternal yang tidak
ringan, selain masalah domestik masing-masing.
Seperti sudah banyak disebutkan, kendala eksternal menyangkut dua area: menurunnya harga komoditas atau berakhirnya
boom
komoditas di sektor riil dan berakhirnya era likuiditas berlimpah di
sektor moneter-keuangan. Kendala-kendala itu dipertajam oleh pengelolaan
ekonomi-keuangan negara-negara besar dan maju yang kadang
membingungkan, tidak mendukung terciptanya kestabilan. Dalam pada itu,
hubungan saling ketergantungan menyangkut pula dampak balik perkembangan
negara berkembang kepada negara-negara maju, menghambat pemulihan dari
resesi yang belum tuntas dengan risiko kembali pada resesi akbar sehabis
krisis keuangan dunia.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Menyangkut yang pertama, masa jaya komoditas berakhir dengan anjloknya
permintaan mulai dari kedelai sampai batubara dan bijih besi terutama
disebabkan oleh turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi 7
persen atau lebih rendah. Harga migas juga menurun drastis karena
melemahnya permintaan berbarengan dengan meningkatnya produksi karena
Arab Saudi tak mau menurunkan produksinya dan perkembangan
oil shale di AS. Turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok terjadi bersamaan dengan kebijakan
rebalancing,
yaitu mengalihkan sumber pertumbuhan dari ekspor dan investasi ke
konsumsi dalam negeri. Semuanya berdampak menekan negara-negara
pengekspor komoditas dan sumber alam: Brasil, Cile, Rusia, serta
Australia dan Indonesia.
Laporan ekonomi triwulanan Bank Dunia terakhir menunjukkan, laju
pertumbuhan impor Tiongkok dari Indonesia yang meningkat setiap tahun
sekitar 30 persen dalam periode 2005-2011 (di luar krisis 2009) menjadi
negatif 7,8 persen pada periode 2012-2014.
Masalah kedua menyangkut akan direalisasikannya perubahan kebijakan
moneter inkonvensional dengan suku bunga mendekati nol di AS dengan
meningkatkan suku bunga fasilitas Fed (Fed Fund Rate). Sesuatu yang tak
mudah dibayangkan karena sudah tujuh tahun perekonomian hanya mengenai
suku bunga yang mendekati nol persen. Dunia keuangan mengenal
phenomenon double blows,
dampak dari suatu kebijakan terjadi dua kali. Akan dinaikkannya suku
bunga dihadapi para pelaku pasar dengan memperhitungkan kenaikan suku
bunga dalam operasinya meski kenaikannya belum terjadi (
discounted). Pada waktu terjadi kenaikan, ini diperhitungkan (lagi). Tambahan aksentuasi dampak ini sering disebut
financial amplifier. Karena itu, reaksi pasar sering ekstrem, terjadi
overshoot.
Kemungkinan peningkatan suku bunga ini sudah diumumkan sejak Juni 2013.
Ketua Dewan Gubernur Fed Ben Bernanke waktu itu membuat pernyataan
bahwa kalau perbaikan data pengangguran dan laju inflasi terus terjadi,
kebijakan suku bunga sangat rendah itu akan secara hati-hati
ditinggalkan,
tapering off atau
lifting off.
Pernyataan ini telah menumbuhkan gejolak pembalikan dana dari EM ke AS.
Negara-negara dengan ekonomi berkembang, termasuk Indonesia yang
sebelumnya menerima aliran modal dari melimpahnya likuiditas, resah
karena aliran balik modal ini (
taper tantrum).
Financial Times melaporkan, arus balik dana dari 19 negara EM ke AS dan
negara maju lain dalam 13 bulan terakhir mendekati 1 triliun dollar AS.
Jumlah ini lebih dari dua kali lipat arus balik dana saat krisis
keuangan dunia 2008/2009 sebesar 490 miliar dollar AS. Kekhawatiran yang
berkembang jelas, kalau kenaikan suku bunga benar terjadi, arus balik
akan meningkat lagi karena phenomenon double blows tadi. Implikasinya,
depresiasi mata uang terhadap dollar AS akan kian tajam. Susahnya,
harapan terjadinya peningkatan ekspor dari depresiasi mata uang negara
berkembang ternyata semakin lemah, antara lain karena besarnya kandungan
impor dari ekspor negara berkembang. Sebaliknya, dampak negatifnya,
seperti semakin mahalnya impor, lebih memberatkan negara berkembang.
Bagi yang utangnya besar dan dalam dollar AS, dampak negatif semakin
beratnya pengembalian utang jelas memberatkan. Utang Indonesia memang
relatif belum besar sekali, tetapi rupanya Indonesia ikut juga arus
makin meningkatnya utang yang mudah masuk ke tingkat riskan.
Selanjutnya, arus balik dana ini telah menyebabkan tergerusnya nilai
tukar kebanyakan negara yang kehilangan dana, terutama negara-negara
berkembang yang kehilangan dana karena arus balik, termasuk Indonesia.
Semua mata uang negara-negara tersebut terdepresiasi. Namun, besar
kecilnya dipengaruhi lagi oleh faktor domestik yang merupakan
discount masing-masing, sesuai kerentanannya.
Perekonomian suatu negara rentan terhadap gejolak jika
ketergantungannya pada ekspor sangat besar, terutama ekspor komoditas
yang harganya berfluktuasi. Demikian pula perekonomian yang defisit
neraca pembayarannya besar, utangnya besar (apalagi utang jangka pendek
dalam denominasi dollar AS). Juga negara yang sedang dililit
permasalahan sosial politik, karena korupsi, skandal, atau lainnya.
Momok ketidakpastian
”Senin Hitam” terjadi karena perubahan perekonomian Tiongkok, kombinasi
perkembangan ekonomi dan kebijakan penyesuaian yang dilaksanakan
pemerintah dan otoritas moneternya, People’s Bank of China (PBOC). Pasar
modal Tiongkok di Shenzen ataupun Shanghai mengalami perkembangan luar
bisa dengan jutaan investor perorangan baru dan kapitalisasinya
meningkat dua kali lipat dalam setahun. Semua serba fantastis. Namun,
waktu terjadi penurunan tajam harga saham bulan Juni, Tiongkok
melancarkan kebijakan penyelamatan, termasuk membeli saham sampai 200
miliar dollar AS serta melarang sementara IPO dan penjualan sejumlah
besar saham. Terakhir bahkan membungkam media yang memberitakan gejolak
pasar modal. Semua ini mengguncang Asia dan dunia dengan terjadinya
Senin Hitam dan setelahnya.
Harga saham baru menjadi positif kembali setelah penurunan sekitar satu
minggu, sedangkan di AS dan Eropa serta beberapa negara berkembang lain
sudah menjadi positif sehari atau dua hari setelah Senin Hitam.
Tiongkok sendiri dilaporkan kehilangan nilai aset finansial karena
penurunan harga saham mencapai 4 triliun dollar AS, empat kali lipat PDB
Indonesia. Anehnya, gejolak pasar modal di Tiongkok yang relatif belum
terbuka ini dengan cepat menjadi global. Lebih aneh lagi meski dilakukan
penanganan yang berani dan drastis, termasuk devaluasi yuan yang sangat
ditabukan sebelumnya, gejolak pasar modal di Tiongkok berjalan lebih
lama dari negara maju dan berkembang lain. Dan devaluasi yuan juga tidak
memberikan hasil yang diharapkan.
Tentu perlu dilakukan pengkajian lebih cermat. Akan tetapi, sementara
rasanya tak keliru mengatakan, kepercayaan pasar terhadap pengelolaan
pasar modal dan yuan menurun karena kurang konsistennya kebijakan
pemerintah dan PBOC. Kebijakan
rebalancing yang dijanjikan
untuk mendorong konsumsi domestik dan mengurangi ketergantungan pada
ekspor dan mendorong bekerjanya mekanisme pasar tampak tak sinkron
dengan kebijakan devaluasi dan berbagai intervensi langsung yang
dilakukan terhadap pasar modal dan perkembangan nilai tukar.
Dalam pada itu, kenaikan suku bunga fasilitas Fed yang jelas akan
berakibat aliran balik modal juga masih menggantung. Rupanya negara
berkembang harus menghadapi kebijakan Fed dan bank sentral negara maju
lain yang akhir-akhir ini mengalami penyakit susah membuat keputusan.
Debat yang rasanya tak berkesudahan tentang kapan dimulai kenaikan suku
bunga jelas menambah ketakpastian pasar yang terguncang dengan apa yang
berkembang di Tiongkok.
Masalah yang dihadapi Fed jelas pelik. Fed bertugas menjaga dan
mengusahakan kestabilan finansial seperti di Indonesia. Fed juga
bertanggung jawab mendorong ekonominya mencapai pertumbuhan yang
disasar. Hal ini dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam pasar
tenaga kerja dengan besar kecilnya tingkat pengangguran menjadi sasaran
kebijakan moneter. BI di masa lalu juga mempunyai tanggung jawab
pembangunan ini,
tetapi penugasan ini dikeluarkan pada waktu diberi status independen
tahun 1999.
Pencapaian keseimbangan dua sasaran tersebut dalam paradigma ekonomi
yang telah berubah rupanya semakin rumit. Mungkin hal ini yang
menyebabkan Fed seperti maju mundur sejak 2013 untuk menentukan kapan
akan mulai menaikkan suku bunga. Belum lagi yang menyangkut berapa besar
kenaikannya dan bagaimana pola yang akan dilaksanakan. Setelah seminar
dan perdebatan panjang di masyarakat, tampaknya para gubernur di bawah
pimpinan Janet Yellen cenderung meningkatkan suku bunga September atau
akhir tahun. Yang jelas rapat dewan gubernur dilakukan sepuluh kali
setiap tahun, tahun ini tinggal dua kali, 17 September ini dan Desember
nanti.
Perdebatan belum kunjung berhenti juga. Di Fed, beberapa waktu lalu,
Presiden Fed New York William Dudley mengatakan, dirinya tak yakin lagi
apakah kenaikan suku bunga sebaiknya dilakukan tahun ini. Tak kurang
mantan Menteri Keuangan Larry Summer dan ekonom peraih Nobel Ekonomi,
Joseph Stiglitz, keduanya guru besar kenamaan Universitas Harvard dan
Columbia, menulis kolom (di
New York Times dan
Los Angeles Times) menunjukkan argumen serupa. Akan tetapi, dalam pertemuan tahunan
central bankers
di Jackson Hole belum lama ini, Wakil Ketua Fed Stanley Fischer
mengatakan, peningkatan suku bunga bulan ini masih dalam pertimbangan,
menunggu data perkembangan pengangguran akhir minggu.
Siapa yang tidak bingung mengikuti semua perkembangan ini? Orang-orang
pintar saja bingung. Yang jelas, implikasinya adalah ketidakpastian
pasar yang merupakan momok paling tidak disukai pelaku pasar ini masih
berjalan. Perekonomian terkuat nomor satu dan dua di dunia sedang dalam
kondisi kurang bisa dijadikan pedoman negara-negara berkembang untuk
menentukan sikap. Ini jelas suatu kondisi yang kurang kondusif,
perekonomian dunia kurang solid untuk menghadapi kejutan yang bisa
terjadi.
Kiranya benar pernyataan Henry Snyder dalam kolom di
Financial Times
(28/8) bahwa masalahnya bukan pada ekonomi AS, melainkan pada kebijakan
moneternya. Saya ingin menambah, ini berlaku pula bagi ekonomi
Tiongkok. Sektor riilnya tidak merupakan masalah, laju pertumbuhan
PDB-nya jelas masih tertinggi di dunia, tetapi kebijakan dalam
pengelolaan moneter dan pasar modalnya telah menimbulkan pertanyaan
besar bagi pasar dan masyarakat. Dalam menghadapi tantangan tersebut,
kita semua berharap adanya sikap arif dari pemerintah dan dunia usaha
dalam mengambil kebijakan dan menentukan langkah agar memilih mitra
usaha, dagang, dan investasi tanpa tergiur keuntungan sesaat, tetapi
untuk kepentingan yang luas, kepentingan nasional berjangka panjang.
Semoga.
17
September 2015
oleh; J Soedradjad Djiwandono
www.kompas.com