Sabtu, 24 Oktober 2015

Menggugat “Madzhab Kekuasaan’ dalam ‘Fikih Kebhinekaan’ Versi ‘Islam Nusantara’

Pernyataan Jokowi, “Islam kita adalah ‘Islam Nusantara’, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah ‘Islam Nusantara’, Islam yang penuh toleransi,” menunjukkan ketidakmengertiannya tentang Islam

KATA Nusantara tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (Abad ke-12 hingga ke-16) untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit. Nusantara berasal dari dua kata bahasa Sanskerta, yaitu Nusa yang berarti “pulau” dan Antara yang berarti “luar”.

Jadi, pada awalnya kata Nusantara itu menunjuk pada “pulau lain” di luar Jawa dan merupakan daerah taklukan Majapahit. Ide penyatuan pulau-pulau di luar Jawa di bawah kekuasaan Majapahit inilah yang mendorong Majapahit melakukan ekspansi kekuasaan.

Dapat dikatakan di sini, bahwa kata Nusantara lahir dalam konteks ekspansi kekuasaan di bawah kekuasaan absolut sang Raja. Barulah pada masa kekinian, Nusantara diartikan sebagai keterhubungan antar pulau, bukan sebaliknya.

Sedangkan dalam Islam, kekuasaan bukan suatu hal yang absolut. Kekuasaan diatur dan di bawah ketentuan syariat Islam. Syariat Islam juga tidak mengenal batas-batas yuridiksi kedaulatan negara dalam konteks modern sekarang.

Jelasnya, Islam tidak mengenal teritorial. Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah.

‘Islam Nusantara’ sebagaimana sedang digalakkan oleh pemerintah menunjuk kepada suatu target besar, yakni menghadirkan pemerintahan yang lebih prima dibandingkan dengan sistem ajaran keagamaan Islam.
Dengan demikian, dimunculkanlah istilah baru “‘Fikih Kebhinekaan’” yang menjunjung tinggi kekuasaan negara. Ide ‘Islam Nusantara’ yang sedang digalakkan ini, bukan tidak mungkin akan melahirkan suatu ‘Madzhab Kekuasaan’ dalam rangka melanggengkan rezim yang berkuasa.

Jika Patih Gadjah Mada menyatakan dalam Sumpah Palapanya akan mengalahkan “pulau-pulau lain”, maka konsep ‘Islam Nusantara’ akan menegasikan ajaran Islam yang tidak sejalan dengan pemikiran kaum Liberalis. Kaum Liberalis inilah yang akan menjadikan ‘Islam Nusantara’ melalui ‘Fikih Kebhinekaan’ sebagai ‘Madzhab Kekuasaan’.

Ajaran Islam tentang ketatanegaran tidak lagi dilihat sebagai suatu kebutuhan. Madzhab Kekuasaan itulah yang menjadi pilar bagi penguasa di Nusantara. Menjadi sama persis dengan tujuan ekspansi Patih Gadjah Mada. Gagasan ‘Islam Nusantara’, sejatinya adalah didasarkan kepada kepentingan politis kaum liberalis yang memang terkenal “arogan dalam pemikiran”, menembus batas-batas toleransi intelektual.

Pernyataan Jokowi, “Islam kita adalah ‘Islam Nusantara’, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah ‘Islam Nusantara’, Islam yang penuh toleransi,” menunjukkan ketidakmengertiannya tentang Islam. Pernyataan itu seolah-olah ingin mengatakan bahwa Islam di luar Nusantara, tidak mengedepankan sopan santun, tata karma, dan tidak ada toleransi. Toleransi yang dimaksudkan dalam konsep ‘Islam Nusantara’ tidak lain mengacu kepada pemikiran HAM versi Barat yang memang mengusung kebebasan (liberty) secara absolut. Banyak pihak yang memang diuntungkan dengan konsep ‘Islam Nusantara’ ini. Di bawah ‘Islam Nusantara’, semua pemikiran dan aliran sesat memiliki hak yang sama, tanpa ada pelarangan.

Menjadi jelas, bahwa apa yang diperjuangkan dalam gagasan ‘Islam Nusantara’ sebenarnya adalah untuk menjadikan sistem ketatanegaraan Indonesia ke arah kekuasaan belaka. Penguasa akan sangat dikuatkan dengan konsep ‘Islam Nusantara’ melalui ‘Fikih Kebhinekaan’ itu. Ciri khas ‘Madzhab Kekuasaan’ adalah menjadikan hukum positif (Undang-undang) sebagai landasan kekuasaan.
Di luar undang-undang bukanlah hukum. Undang-undang yang dihasilkan dalam proses di legislatif juga harus mengacu kepada ‘Fikih Kebhinekaan’ vesi kaum Liberalis, yang menampung berbagai pemikiran-pemikiran sesat.

Keberlakuan syariat Islam yang benar sudah tidak lagi menjadi dasar pemikiran dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Rasio berada di depan dan menjadi “panglima” dalam pengambilan keputusan. Upaya perjuangan “NKRI bersyariah” akan semakin dihadapkan dengan ‘Fikih Kebhinekaan’ karya kaum Liberalis yang berkolaborasi dengan kaum Sekularis, Pluralis dan penganut aliran sesat.
Di sisi lain, rezim juga diuntungkan dengan penguatan kaum Sepilis dan Aliran Sesat ini. Tidak ada kata sepakat untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘Islam Nusantara’. Islam lebih mulia dibandingkan dengan Nusantara.

Nusantara adalah salah satu wilayah berlakunya hukum Islam. Sepantasnya, Nusantara yang harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai Islam, bukan sebaliknya. “Islam Yes”, “Nusantara Oke”, tetapi “‘Islam Nusantara’ No”.

26 Agustus 2015
oleh;  Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM
www.hidayatullah.com/ 

Kamis, 15 Oktober 2015

Kenali Saudara-Saudaramu Madzhab Hanafi

HINGGA zaman ini, madzhab-madzhab fiqih salaf yang masih lestari adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dari empat madzhab tersebut, yang paling tua usianya adalah madzhab Hanafi. Pengasas madzhab ini adalah Imam Abu Hanifah, yang menurut pendapat rajih termasuk tokoh tabi’in.

Meski dikenal dengan kelebihan dalam bidang fiqih, qiyas dan ra’yu namun sejumlah ulama menyebut bahwa Imam Abu Hanifah juga memumpuni dalam bidang hadits. Para ulama semisal Ibnu Hajar Al Haitami menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah termasuk jajaran huffadz hadits, dimana ia mengambil periwayatan dari 4 ribu perawi. Sebab itu Imam Adz Dzhahabi memasukkan Imam Abu Hanifah dalam Tadzkirah Al Huffadz, sebuah kitab yang terkumpul di dalamnya biografi para huffadz hadits. (lihat, Al Khairat Al Hisan, hal. 68)

Empat madzhab sepakat bahwa rujukan yang diambil adalah Al Qur`an, kemudian Al Hadits serta ijma dan qiyas. Namun madzhab Hanafi adalah memiliki rujukan lain selain itu, yakni pendapat para sahabat serta istihsan. (lihat, Tarikh Al Baghdad, 13/367 dan Manaqib Al Imam Al A’dzam Al Muwaffaq Al Makki, hal. 1/82,86)

Istihsan sendiri adalah sebutan lain dari ijtihad. Sebagai contoh, dalam menentukan kriteria “ma’ruf” dalam nafkah. Tidak ada nash menjelaskan jumlah ketentuan nafaqah, maka di sini para ulama menentukannya dengan cara ijthad atau istihsan. Hanafiyah juga memandang bahwa istihsan adalah bagian daripada qiyas.

Ada sejumlah pihak yang menyebutkan bahwa Madzhab Hanafi cenderung mengutamakan qiyas dari pada hadits. Hal ini ditanggapi oleh para ulama hadits madzhab ini dengan menulis sejumlah kitab-kitab yang berisi hadits-hadits hukum yang dijadikan hujjah madzhab ini. Al Hafidz Murtadha Az Zabidi, ulama hadits madzhab Hanafi menulis Al Jawahir Al Munifah fi Ushuli Adillati Madzhab Al Imam Abi Hanifah yang berisi hadits-hadits yang diriwayatkan langsung oleh Imam Abu Hanifah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengenai 447 permasalahan fiqih yang mayoritas derajatnya shahih dan hasan serta sebagian dhaif yang derajatnya terkuatkan. Sedangkan ulama hadits India Dzafar Ahmad Utsmani At Tahanawi menulis karya yang bernama I’la As Sunan setebal 16 jilid yang berisi hadits-hadits hukum yang dijadikan dalil madzhab Hanafi beserta syarahnya, juga jawaban terhadap kritik dari madzhab lain.

Disamping memiliki kitab-kiab khusus mengenai dalil madzhab, kitab-kitab takhrij hadits dalil-dalil Hadzhab Hanafy sendiri tidak sedikit, sebagaimana dicatat oleh Al Muhaddits Abdul Hayyi Al Kattani dalam Ar Risalah Al Mustatharrifah (hal. 188, 189). Sejumlah kitab yang mentakhrij hadits-hadits dalam kitab fiqih madzhab Hanafy antara lain Ath Thuruq wa Al Wasail fi Takhrij Ahadits Khulashah Ad Dalail oleh Abdul Qadir bin Muhammad Al Qursy yang merupakan takhrij dari hadits-hadits yang terdapat pada Khulashah Ad Dalalil fi Tanqihi Al Masail yang demikian juga Takhrij Ahadits Syarh Al Mukhtar yang merupakan karya dari Al Hafidz Qasim bin Quthlubugha Al Hanafy. Ada pula Al Iniyahah fi Takhrij Al Ahadits Al Hidayah oleh Muhyiddin Al Qursy Al Hanafy juga Al Kifayah fi Ma’rifati Al Ahadits Al Hidayah oleh Alauddin Ali bin Utsman Al Mardini, juga Nashb Ar Rayah li Al Hadits Al Hidayah oleh Al Hafidz Az Zaila’i.

Jumlah kitab-kitab takhrij hadits dalil-dalil madzhab Hanafy ini sendiri secara tidak langsung menunjukkan bahwa tidak sedikit kitab-kitab fiqihnya yang memuat dalil-dalilnya.

Para ulama Hadits, baik para muhadditsun dan huffadznya juga banyak yang memilih untuk menganut madzhab ini. Diantara mereka Al Hafidz Abu Bishr Ad Dulabi, Al Hafidz Abu Ja’far Ath Thahawi, Al Hafidz Ibnu Abi Al Awwam As Sa’di, Al Hafidz Abu Muhammad Al Haritsi, Al Hafidz Abdul Baqi, Al Hafidz Abu Bakr Ar Razi Al Jashas, Al Hafidz Abu Nashr Al Kalabadzi, Al Hafidz Abu Muhammad As Samarqandi, Al Hafidz Syamsuddin As Saruji, Al Hafidz Quthb Ad Din Al Halabi, Al Hafidz Alauddin Al Mardini, Al Hafidz Az Zaila’i, Al Hafidz Mughulthai, Al Hafidz Badruddin Al Aini, Al Hafidz Qasim bin Quthlubugha. Syaikh Anwar Zahid Al Kuatsari dan Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah menyebutkan 150 ulama hufadz dan muhadits madzhab Hanafi (lihat, Fiqh Alhul Iraq wa Haditsuhum, hal. 60-82).  Sedangkan Syeikh Dzafar Ahmad Utsmani menyebutkan biografi para huffadz dan muhadditsun penganut madzhab ini yang jumlahnya mencapai 229 ulama. (lihat, Abu Hanifah wa Ashabuhu Al Muhadditsun)

Tingkatan Ulama Hanafi

Seperti halnya madzhab lain, ulama madzhab Hanafi diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan, sesuai dengan tingkatan kemampuan dalam berijtihad. Tentu tingkatan paling tinggi adalah mujtahid mutlak, mujtahi tertinggi yang tidak hanya menghasilkan produk hukum fiqih dari dalilnya, namun ia juga yang memiliki kemampuan menetapkan metodologi dalam ijtihad. Tentunya Imam Abu Hanifahlah yang menempati peringkat ini.

Peringkat selanjutnya adalah mujtahid madzhab, ulama yang metodologinya mengikuti metodologi imam madzhab namun mereka mampu melakukan ijtihad sendiri dan tidak bertaklid kepada imamnya, dimana tidak sedikit mereka menyelisihi imam. Para ulama yang menduduki peringkatan ini dalam madzhab Hanafi adalah para muridnya, yakni Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan serta Imam Dzufar.

Tingkatan selanjutnya adalah mujtahid yang berijtihad hanya dalam masalah yang tidak didapati dari imam mengenai hukumnya. Para ulama yang berada di tingkatan ini adalah Al Hashshaf, Ath Thahawi, Al Karkhi, Al Halwa’i, Al Bazdawi. Mereka ini tidak memiliki kapasitas untuk menyelisihi imam baik dalam metodologi maupun hasilnya.

Selanjutnya adalah ulama tarjih yang memiliki kemampuan untuk menilai riwayat madzhab yang kuat, mana pendapat yang sesuai dengan qiyas. Ulama yang berada dalam derajat ini adalah Imam Al Quduri.
Selanjutnya adalah ulama muqallid yang memiliki kemampuan untuk melihat mana pendapat madzhab yang paling kuat. Baru kemudian ulama muqallid yang tidak memiliki kemampuan dalam hal ini. Klasifikasi ini sendiri disebutkan oleh Syeikh Umar bin Umar  Al Azhari di akhir kitab fiqih Hanafi, Al Jawahir An Nafisah.

Kitab Mu’tamad

Untuk kitab mutaqaddimin, hanya kitab yang memiliki sanad yang bersambung hingga Imam Abu Hanifah yang dipakai, yakni Al Jami’ Al Kabir dan As Shaghir, juga As Siyar Al Kabir dan As Saghir serta Az Ziyadat dan Al Mabsuth.

Adapun untuk kitab-kitab matan ringkasan yang mu’tamad seperti Al Mukhtashar Ath Thahawi, Al Mukhtashar Al Karkhi serta Al Mukhtashar  Al Quduri. Al Mukhtashar Al Quduri dinilai kitab matan yang paling banyak dipelajari.

Madzhab Hanafi sendiri hingga kini memiliki penganut yang cukup banyak. Di dunia Islam wilayah-wilayah yang banyak dihuni oleh penganut madzhab ini antara lain Kazakhstan, Turkmenistan, Kirgizstan, Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Azerbaijan, Turki, Mesir, Tajikistan, Maldives, Suriah, Jordan, Uzbekistan dan India.

1 April 2015
www.hidayatullah.com

Sabtu, 10 Oktober 2015

Mengapa Pelaku Pasar Menantikan Keputusan The Fed?

Pertanyaan ini sempat ditanyakan kepada saya beberapa bulan terakhir ini. Apalagi hampir setiap bulan selalu ada berita di mana-mana yang mengatakan Federal Reserve (The Fed) tidak jadi menaikkan suku bunga. Lah, lantas sebenarnya ada apa sampai-sampai kebijakan ini juga ditunggu oleh pelaku pasar di Indonesia bahkan hingga di seluruh dunia?

Agar kita memahami kondisi The Fed di Amerika Serikat ini, setidaknya kita perlu mengetahui bahwa beberapa tahun yang lalu, terjadilah sebuah peristiwa bersejarah mengenai krisis kredit perumahan di AS yang dikenal dengan "Krisis Subprime Mortgage" tepatnya pada tahun 2008.

Berbeda dengan negara kita tercinta Republik Indonesia, negara-negara di Amerika dan juga Eropa terjadi sebuah perlambatan ekonomi yang ditandai dengan minimnya pertumbuhan inflasi di negara-negara tersebut. Untuk mengatasi krisis, maka pemerintah Amerika melakukan sebuah kebijakan ‘uang murah’ yang dikenal dengan Quantitative Easing (QE).

Nah, QE ini adalah sebuah strategi membanjiri pasar dengan uang berbunga murah sampai dengan gratis. Jadi dalam bayangan sederhananya, negara memanggil bank-bank yang ada lalu bank tersebut diberikan sejumlah dana untuk disalurkan.

Apa tujuannya? Agar dengan bunga yang murah itulah para rakyatnya dapat menggunakan uang lebih konsumtif sehingga akan berdampak pada naiknya tingkat inflasi di negara tersebut.

Ya, inflasi itu kenaikan harga dan harga naik karena permintaan terhadap barang meningkat, teori ekonomi sederhana saja.

Masalah negara maju adalah masyarakatnya memang tidak terlalu gemar konsumsi, tidak seperti Indonesia yang masih berkembang. Alhasil, uang yang diberikan dengan bunga murah, bahkan gratis, ini justru malah digunakan untuk berinvestasi. Bursa AS telah pulih dan mendobrak rekor tertingginya kembali di tahun 2013.

Pulihnya bursa bukan diakibatkan karena perekonomian membaik, melainkan efek uang berbunga murah masuk ke pasar-pasar investasi di bursa. Nah, uang hasil ‘pinjaman’ oleh AS dari QE itu, yang seharusnya bertujuan meningkatkan inflasi AS, justru mengalir ke banyak negara lain, termasuk ke Indonesia, baik masuk ke bursa atau pasar modal maupun dalam bentuk lainnya.

Sadar karena jurus uang murahnya tidak memperbaiki kondisi perekonomian, maka si uang murah ini ditarik kembali, yang dikenal sebagai istilah ‘tapering’. Dan salah satu jurus dari negara dan bank sentralnya untuk mengendalikan uang beredar adalah dengan melakukan kebijakan menaikkan suku bunga.

Sebagai pengendali yang memberikan keputusan atas kebijakan moneter AS, The Fed sepanjang tahun 2015 ingin melakukan sebuah kebijakan ‘menarik uang murah’ dengan menaikkan suku bunga.

Di sinilah letak kekhawatiran para pelaku pasar di dunia, karena uang-uang murah menghuni pasar modal, yang bila dananya ditarik dalam satu momen akan terjadi penurunan.

Oleh karena itulah kebijakan The Fed menjadi sebuah penantian bagi pelaku pasar karena dikhawatirkan dampaknya akan membuat pasar finansial mengalami penurunan, termasuk di Indonesia.

Harga saham yang kebanjiran uang murah tentunya akan meroket dan berubah dari harga wajar menjadi harga yang tidak wajar ibarat membeli nasi goreng di gerobak dengan membeli nasi goreng di hotel, sama-sama nasi goreng tapi harganya berbeda.

Pada saat ini menjadi sebuah kekhawatiran akan jatuhnya saham-saham berharga tidak wajar kembali ke harga semula akibat ketidaksesuaian dengan kinerja perusahaan sebenarnya.

Meskipun The Fed akan mempertahankan ataupun menaikkan suku bunganya, seorang investor perlu melihat nilai perusahaan dibandingkan berfokus pada harga saham, hanya seorang pedagang yang sangat peduli dengan harga.

10 Oktober 2015 oleh; Ryan Filbert
www.kompas.com 

Perusahaan Jelek tapi Harga Sahamnya Melejit, Mengapa?

Bila sebuah saham perusahaan diperjualbelikan di bursa saham dan perusahaan itu mencetak keuntungan atas usaha yang meningkat, maka apakah sahamnya sama baiknya dengan kinerja perusahaannya?

Jawabannya adalah tidak selalu. Bila ada perusahaan berkinerja baik dan memuaskan namun harga sahamnya tidak sebaik kinerja perusahaannya maka dalam analisa saham sering dikenal dengan saham yang undervalued.

Mengapa undervalued? Karena harga sahamnya tidak sesuai, alias kemurahan dibandingkan kinerja perusahaan yang meningkat dan baik. Itulah yang dikenal sebagai value investing, membeli saham seperti Warren Buffett, investor kelas dunia.

Namun, kini pernyataan dan pertanyaannya ingin saya balik. Apabila ada saham sebuah perusahaan yang berkinerja sangat baik, dalam 4 bulan membuat semua pemegang sahamnya mendapat "durian runtuh", untung 100 persen, namun kontras dengan kinerja perusahaan yang justru menderita kerugian, hutang menumpuk, bahkan hingga gagal bayar, bagaimana dengan hal ini? Apakah ini terjadi dalam praktek sehari-hari di bursa?

Ternyata banyak saham yang tidak sejalan dengan kinerja perusahaannya! Walaupun perusahaannya rugi, kenapa bisa harga sahamnya melejit naik?

Itu adalah sebuah kejadian yang perlu perhatian khusus dari semua pelaku dan yang baru mau mengenal dunia saham. Kenaikan harga saham yang tidak disebabkan oleh peningkatan kinerja perusahaan bisa terjadi oleh karena banyak hal. Hal yang paling mudah menaikkan harga saham adalah gosip panas atau rumor.

Bisa ada sebuah cerita yang entah datangnya dari siapa, yang menghembuskan informasi fiktif dan biasanya memiliki kepentingan agar harga saham perusahaan tersebut mengalami kenaikan.

Saat informasi ditanggapi secara hangat oleh para pelaku pasar yang suka ikut-ikutan, banyak yang akhirnya membeli saham tersebut. Si pemberi rumor justru mengambil keuntungan.

Contohnya sebuah perusahaan berkinerja buruk dengan harga saham Rp 100, saya kumpulkan sahamnya, lalu saya informasikan atau membuat gosip bahwa perusahaan tersebut akan dibeli oleh perusahaan terkenal dari Amerika Serikat dengan harga fantastis karena melihat masa depan cemerlang.

Karena cerita tersebut dianggap menarik, banyak orang ikut membeli saham perusahaan. Alhasil, harga bergerak menjadi Rp 200, dan saya sudah menjualnya ketika saham bergerak ke angka tersebut.

Penulisan artikel ini sebenarnya karena saya tergelitik setelah salah seorang rekan berkata bahwa ada beberapa perusahaan yang saat ini sedang booming dan terus menerus memberikan injeksi dana ke usahanya meskipun merugi.

Ketika ditanya skema bisnis apa yang nantinya bisa menguntungkan perusahaan tersebut, apa kira-kira jawabannya?

Pemilik perusahaan tersebut memiliki dua exit plan strategy. Pertama adalah menunggu perusahaan itu dibeli oleh perusahaan lain yang lebih besar dan strategi lainnya adalah menerbitkan saham perusahaan itu untuk umum (IPO, initial public offering). Lah, kalau rugi nanti bagaimana nasib IPO-nya?

Artinya, selain kita perlu berhati-hati memilih saham yang sudah ada untuk berinvestasi, kita juga dihadapkan bahwa perusahaan yang sedang tren tidak selalu nantinya akan menarik untuk diinvestasikan.

Cermatlah memilih, tidak ada nomor seri yang sama (kecuali uang palsu), uang dan harta Anda tanggung jawab Anda, bukan yang menawarkan maupun menyarankan investasi kepada Anda.

3 Oktober 2015 oleh; Ryan Filbert
www.kompas.com

Jumat, 18 September 2015

Inflasi dan Kondisi Perekonomian Indonesia

Di tengah ingar-bingarnya berita kenaikan nilai tukar rupiah, keluarnya data mengenai inflasi terakhir mungkin tidak terlalu menarik perhatian. Namun, ada beberapa hal mengenai tingkat harga yang berpotensi memperburuk keadaan ekonomi Indonesia.

Berbeda dengan masalah pelemahan nilai tukar yang merupakan isu global dan terjadi di hampir semua mata uang, inflasi Indonesia saat ini tidaklah mengikuti pola global. Angka terakhir inflasi bulan Agustus masih bertengger pada angka 7,18 persen per tahun, tidak jauh berbeda dengan inflasi dalam beberapa tahun belakangan ini.

Hal ini agak mencemaskan karena tren harga dunia menunjukkan adanya penurunan. Harga-harga komoditas dan pangan terus mengalami penurunan sejak akhir tahun lalu. Inflasi di hampir semua negara tetangga tercatat sangat rendah.

Vietnam, misalnya, hanya mencatatkan inflasi tahunan 0,9 persen, jauh di bawah inflasi rata-rata mereka yang mencapai dua digit. Thailand mencatatkan penurunan harga hingga 1,5 persen. Inflasi di Filipina bahkan mencapai tingkat terendah dalam dua dekade dengan perubahan harga tahunan kurang dari 1 persen.

Kecenderungan untuk inflasi Indonesia yang tetap tinggi perlu mendapatkan perhatian. Penyumbang terbesar angka inflasi adalah kenaikan harga bahan pangan. Angka inflasi Agustus menunjukkan tingkat inflasi tahunan bahan makanan dan makanan jadi mencapai 9,26 persen dan 8,39 persen. Harga eceran beras rata-rata nasional saat ini masih sekitar 40 persen lebih tinggi dibandingkan harga internasional yang cenderung menurun.

Dengan penurunan harga di pasar internasional, perlu ditanyakan mengapa harga pangan di Indonesia malah mengalami kenaikan secara signifikan. Mengapa penurunan harga internasional tidak tecermin di harga-harga domestik?

Salah satu jawabannya, karena kelangkaan pasokan bahan makanan. Keengganan pemerintah melakukan impor berbagai bahan pertanian telah menyebabkan kenaikan harga yang sering tak terkontrol. Tata niaga bahan pertanian yang restriktif juga membuat tak adanya mekanisme penyaluran produk yang pada akhirnya membuat kenaikan harga terjadi terus-menerus.

Harga pangan dan daya beli

Kenaikan harga produk pertanian sering dianggap sebagai salah satu cara untuk mendukung program swasembada. Kenaikan harga pokok pembelian beras hingga Rp 8.000 per kilogram diharapkan akan lebih mendorong produksi beras di dalam negeri. Pembatasan impor bahan pangan yang mendorong kenaikan harga juga diharapkan memberi insentif bagi petani dalam produksi berbagai bahan pangan lainnya.

Namun, tentu saja kenaikan harga tidak akan memberikan manfaat pada perekonomian secara keseluruhan, bahkan tidak untuk petani. Sebagian besar dari petani Indonesia adalah petani yang juga menjadi konsumen bahan pangan. Lebih dari 60 persen rumah tangga pertanian hanya memiliki lahan kurang dari setengah hektar dan tergantung dari bahan pangan yang mereka tidak hasilkan. Secara neto, dampak kenaikan harga bahkan mengurangi daya beli mereka.

Selain itu, kenaikan harga bahan pangan juga akan memicu kenaikan upah yang diminta oleh para pekerja non-pertanian. Dengan hampir 70 persen pekerja Indonesia berada di luar pertanian, dampak kenaikan bahan pangan akan mendorong kenaikan upah dan harga produk-produk lain. Akhirnya, kenaikan harga produk pertanian tidak akan dinikmati para petani dan hanya menimbulkan dampak inflasi.

Kombinasi antara pelambatan ekonomi dan kenaikan harga merupakan situasi yang jauh lebih mengancam daripada sekadar pelemahan nilai tukar. Kondisi stagflasi (stagnasi dan inflasi) akan menyebabkan berbagai kebijakan ekonomi, termasuk untuk meningkatkan belanja pemerintah, tidak akan menjadi efektif. Kebijakan fiskal yang ekspansif hanya akan menyebabkan kenaikan permintaan. Tanpa adanya peningkatan pasokan, permintaan tersebut hanya akan meningkatkan tekanan inflasi.

Kenaikan harga yang terus-menerus juga akan berpengaruh pada nilai tukar dalam jangka panjang. Jika tingkat harga di Indonesia terus meningkat, sementara tingkat harga internasional cenderung menurun, nilai tukar rupiah juga akan mengalami pelemahan.

Kenaikan tingkat harga juga menyebabkan daya saing produk Indonesia tidak dapat meningkat walaupun nilai tukar sudah melemah secara signifikan. Ini sebagian menjelaskan mengapa meskipun sejak dua tahun belakangan ini rupiah telah melemah sekitar 20 persen, ekspor Indonesia belum menunjukkan perubahan yang berarti.

Untuk mencegah kondisi yang lebih buruk, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih pada tingkat harga dan inflasi. Tingkat harga di Indonesia perlu diselaraskan dengan tingkat harga internasional, terutama untuk bahan pangan. Pemerintah perlu mengubah paradigmanya: impor bahan pangan bukanlah merupakan suatu hal yang memalukan; ketidaktersediaan dan ketidakterjangkauanlah yang harus dihindari.

Swasembada bahan pangan harus dicapai bukan dengan mengorbankan konsumen dan rakyat, melainkan dengan mengurangi biaya produksi dan meningkatkan produktivitas. Cara-cara koersif dan pemaksaan dalam memengaruhi pasar tidaklah akan memberikan hasil yang baik dan akan memperburuk keadaan.

Kebijakan-kebijakan restriktif yang meningkatkan harga pangan juga hanya akan memicu inflasi dan menaruh perekonomian pada posisi yang lebih membahayakan.


Yose Rizal Damuri
www.kompas.com

Tiongkok, AS, dan Indonesia

Negara-negara dengan ekonomi yang berkembang (emerging markets/EM), termasuk Indonesia, sedang menghadapi tantangan eksternal yang tidak ringan, selain masalah domestik masing-masing. 

Seperti sudah banyak disebutkan, kendala eksternal menyangkut dua area: menurunnya harga komoditas atau berakhirnya boom komoditas di sektor riil dan berakhirnya era likuiditas berlimpah di sektor moneter-keuangan. Kendala-kendala itu dipertajam oleh pengelolaan ekonomi-keuangan negara-negara besar dan maju yang kadang membingungkan, tidak mendukung terciptanya kestabilan. Dalam pada itu, hubungan saling ketergantungan menyangkut pula dampak balik perkembangan negara berkembang kepada negara-negara maju, menghambat pemulihan dari resesi yang belum tuntas dengan risiko kembali pada resesi akbar sehabis krisis keuangan dunia.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Menyangkut yang pertama, masa jaya komoditas berakhir dengan anjloknya permintaan mulai dari kedelai sampai batubara dan bijih besi terutama disebabkan oleh turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi 7 persen atau lebih rendah. Harga migas juga menurun drastis karena melemahnya permintaan berbarengan dengan meningkatnya produksi karena Arab Saudi tak mau menurunkan produksinya dan perkembangan oil shale di AS. Turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok terjadi bersamaan dengan kebijakan rebalancing, yaitu mengalihkan sumber pertumbuhan dari ekspor dan investasi ke konsumsi dalam negeri. Semuanya berdampak menekan negara-negara pengekspor komoditas dan sumber alam: Brasil, Cile, Rusia, serta Australia dan Indonesia.

Laporan ekonomi triwulanan Bank Dunia terakhir menunjukkan, laju pertumbuhan impor Tiongkok dari Indonesia yang meningkat setiap tahun sekitar 30 persen dalam periode 2005-2011 (di luar krisis 2009) menjadi negatif 7,8 persen pada periode 2012-2014.

Masalah kedua menyangkut akan direalisasikannya perubahan kebijakan moneter inkonvensional dengan suku bunga mendekati nol di AS dengan meningkatkan suku bunga fasilitas Fed (Fed Fund Rate). Sesuatu yang tak mudah dibayangkan karena sudah tujuh tahun perekonomian hanya mengenai suku bunga yang mendekati nol persen. Dunia keuangan mengenal phenomenon double blows, dampak dari suatu kebijakan terjadi dua kali. Akan dinaikkannya suku bunga dihadapi para pelaku pasar dengan memperhitungkan kenaikan suku bunga dalam operasinya meski kenaikannya belum terjadi (discounted). Pada waktu terjadi kenaikan, ini diperhitungkan (lagi). Tambahan aksentuasi dampak ini sering disebut financial amplifier. Karena itu, reaksi pasar sering ekstrem, terjadi overshoot.

Kemungkinan peningkatan suku bunga ini sudah diumumkan sejak Juni 2013. Ketua Dewan Gubernur Fed Ben Bernanke waktu itu membuat pernyataan bahwa kalau perbaikan data pengangguran dan laju inflasi terus terjadi, kebijakan suku bunga sangat rendah itu akan secara hati-hati ditinggalkan, tapering off atau lifting off. Pernyataan ini telah menumbuhkan gejolak pembalikan dana dari EM ke AS. Negara-negara dengan ekonomi berkembang, termasuk Indonesia yang sebelumnya menerima aliran modal dari melimpahnya likuiditas, resah karena aliran balik modal ini (taper tantrum).

Financial Times melaporkan, arus balik dana dari 19 negara EM ke AS dan negara maju lain dalam 13 bulan terakhir mendekati 1 triliun dollar AS. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat arus balik dana saat krisis keuangan dunia 2008/2009 sebesar 490 miliar dollar AS. Kekhawatiran yang berkembang jelas, kalau kenaikan suku bunga benar terjadi, arus balik akan meningkat lagi karena phenomenon double blows tadi. Implikasinya, depresiasi mata uang terhadap dollar AS akan kian tajam. Susahnya, harapan terjadinya peningkatan ekspor dari depresiasi mata uang negara berkembang ternyata semakin lemah, antara lain karena besarnya kandungan impor dari ekspor negara berkembang. Sebaliknya, dampak negatifnya, seperti semakin mahalnya impor, lebih memberatkan negara berkembang. Bagi yang utangnya besar dan dalam dollar AS, dampak negatif semakin beratnya pengembalian utang jelas memberatkan. Utang Indonesia memang relatif belum besar sekali, tetapi rupanya Indonesia ikut juga arus makin meningkatnya utang yang mudah masuk ke tingkat riskan.

Selanjutnya, arus balik dana ini telah menyebabkan tergerusnya nilai tukar kebanyakan negara yang kehilangan dana, terutama negara-negara berkembang yang kehilangan dana karena arus balik, termasuk Indonesia. Semua mata uang negara-negara tersebut terdepresiasi. Namun, besar kecilnya dipengaruhi lagi oleh faktor domestik yang merupakan discount masing-masing, sesuai kerentanannya.

Perekonomian suatu negara rentan terhadap gejolak jika ketergantungannya pada ekspor sangat besar, terutama ekspor komoditas yang harganya berfluktuasi. Demikian pula perekonomian yang defisit neraca pembayarannya besar, utangnya besar (apalagi utang jangka pendek dalam denominasi dollar AS). Juga negara yang sedang dililit permasalahan sosial politik, karena korupsi, skandal, atau lainnya.
Momok ketidakpastian

”Senin Hitam” terjadi karena perubahan perekonomian Tiongkok, kombinasi perkembangan ekonomi dan kebijakan penyesuaian yang dilaksanakan pemerintah dan otoritas moneternya, People’s Bank of China (PBOC). Pasar modal Tiongkok di Shenzen ataupun Shanghai mengalami perkembangan luar bisa dengan jutaan investor perorangan baru dan kapitalisasinya meningkat dua kali lipat dalam setahun. Semua serba fantastis. Namun, waktu terjadi penurunan tajam harga saham bulan Juni, Tiongkok melancarkan kebijakan penyelamatan, termasuk membeli saham sampai 200 miliar dollar AS serta melarang sementara IPO dan penjualan sejumlah besar saham. Terakhir bahkan membungkam media yang memberitakan gejolak pasar modal. Semua ini mengguncang Asia dan dunia dengan terjadinya Senin Hitam dan setelahnya.

Harga saham baru menjadi positif kembali setelah penurunan sekitar satu minggu, sedangkan di AS dan Eropa serta beberapa negara berkembang lain sudah menjadi positif sehari atau dua hari setelah Senin Hitam. Tiongkok sendiri dilaporkan kehilangan nilai aset finansial karena penurunan harga saham mencapai 4 triliun dollar AS, empat kali lipat PDB Indonesia. Anehnya, gejolak pasar modal di Tiongkok yang relatif belum terbuka ini dengan cepat menjadi global. Lebih aneh lagi meski dilakukan penanganan yang berani dan drastis, termasuk devaluasi yuan yang sangat ditabukan sebelumnya, gejolak pasar modal di Tiongkok berjalan lebih lama dari negara maju dan berkembang lain. Dan devaluasi yuan juga tidak memberikan hasil yang diharapkan.

Tentu perlu dilakukan pengkajian lebih cermat. Akan tetapi, sementara rasanya tak keliru mengatakan, kepercayaan pasar terhadap pengelolaan pasar modal dan yuan menurun karena kurang konsistennya kebijakan pemerintah dan PBOC. Kebijakan rebalancing yang dijanjikan untuk mendorong konsumsi domestik dan mengurangi ketergantungan pada ekspor dan mendorong bekerjanya mekanisme pasar tampak tak sinkron dengan kebijakan devaluasi dan berbagai intervensi langsung yang dilakukan terhadap pasar modal dan perkembangan nilai tukar.

Dalam pada itu, kenaikan suku bunga fasilitas Fed yang jelas akan berakibat aliran balik modal juga masih menggantung. Rupanya negara berkembang harus menghadapi kebijakan Fed dan bank sentral negara maju lain yang akhir-akhir ini mengalami penyakit susah membuat keputusan. Debat yang rasanya tak berkesudahan tentang kapan dimulai kenaikan suku bunga jelas menambah ketakpastian pasar yang terguncang dengan apa yang berkembang di Tiongkok.

Masalah yang dihadapi Fed jelas pelik. Fed bertugas menjaga dan mengusahakan kestabilan finansial seperti di Indonesia. Fed juga bertanggung jawab mendorong ekonominya mencapai pertumbuhan yang disasar. Hal ini dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam pasar tenaga kerja dengan besar kecilnya tingkat pengangguran menjadi sasaran kebijakan moneter. BI di masa lalu juga mempunyai tanggung jawab pembangunan ini, tetapi penugasan ini dikeluarkan pada waktu diberi status independen tahun 1999.

Pencapaian keseimbangan dua sasaran tersebut dalam paradigma ekonomi yang telah berubah rupanya semakin rumit. Mungkin hal ini yang menyebabkan Fed seperti maju mundur sejak 2013 untuk menentukan kapan akan mulai menaikkan suku bunga. Belum lagi yang menyangkut berapa besar kenaikannya dan bagaimana pola yang akan dilaksanakan. Setelah seminar dan perdebatan panjang di masyarakat, tampaknya para gubernur di bawah pimpinan Janet Yellen cenderung meningkatkan suku bunga September atau akhir tahun. Yang jelas rapat dewan gubernur dilakukan sepuluh kali setiap tahun, tahun ini tinggal dua kali, 17 September ini dan Desember nanti.

Perdebatan belum kunjung berhenti juga. Di Fed, beberapa waktu lalu, Presiden Fed New York William Dudley mengatakan, dirinya tak yakin lagi apakah kenaikan suku bunga sebaiknya dilakukan tahun ini. Tak kurang mantan Menteri Keuangan Larry Summer dan ekonom peraih Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz, keduanya guru besar kenamaan Universitas Harvard dan Columbia, menulis kolom (di New York Times dan Los Angeles Times) menunjukkan argumen serupa. Akan tetapi, dalam pertemuan tahunan central bankers di Jackson Hole belum lama ini, Wakil Ketua Fed Stanley Fischer mengatakan, peningkatan suku bunga bulan ini masih dalam pertimbangan, menunggu data perkembangan pengangguran akhir minggu.

Siapa yang tidak bingung mengikuti semua perkembangan ini? Orang-orang pintar saja bingung. Yang jelas, implikasinya adalah ketidakpastian pasar yang merupakan momok paling tidak disukai pelaku pasar ini masih berjalan. Perekonomian terkuat nomor satu dan dua di dunia sedang dalam kondisi kurang bisa dijadikan pedoman negara-negara berkembang untuk menentukan sikap. Ini jelas suatu kondisi yang kurang kondusif, perekonomian dunia kurang solid untuk menghadapi kejutan yang bisa terjadi.

Kiranya benar pernyataan Henry Snyder dalam kolom di Financial Times (28/8) bahwa masalahnya bukan pada ekonomi AS, melainkan pada kebijakan moneternya. Saya ingin menambah, ini berlaku pula bagi ekonomi Tiongkok. Sektor riilnya tidak merupakan masalah, laju pertumbuhan PDB-nya jelas masih tertinggi di dunia, tetapi kebijakan dalam pengelolaan moneter dan pasar modalnya telah menimbulkan pertanyaan besar bagi pasar dan masyarakat. Dalam menghadapi tantangan tersebut, kita semua berharap adanya sikap arif dari pemerintah dan dunia usaha dalam mengambil kebijakan dan menentukan langkah agar memilih mitra usaha, dagang, dan investasi tanpa tergiur keuntungan sesaat, tetapi untuk kepentingan yang luas, kepentingan nasional berjangka panjang. Semoga.

17

www.kompas.com

Ketakpastian Ekonomi Global

Belum pernah sidang bank sentral AS yang akan memutuskan soal suku bunga memicu panas dingin pasar dan ekonomi global dalam skala seperti ini.

Kepastian naik tidaknya suku bunga itu sendiri akan kita ketahui pada akhir sidang Komite Pasar Terbuka Federal (FMOC) Fed, 16-17 September waktu setempat. Peluang suku bunga naik lebih besar dari sebelumnya, mengingat data lapangan kerja AS yang membaik kendati beberapa indikator ekonomi AS lain masih melemah.

Mayoritas ekonom dan ahli strategi keuangan dunia mendukung kenaikan. Sebaliknya, Bank Dunia dan IMF menentang karena pertimbangan dampak terhadap negara berkembang. Kenaikan suku bunga AS dikhawatirkan akan kian memacu arus modal keluar dari emerging markets karena investor yang berharap kenaikan suku bunga lebih agresif di AS kian mencampakkan negara berkembang.

Kenaikan suku bunga sendiri dilematis bagi AS mengingat data pemulihan ekonomi negara itu sendiri belum solid. Akibatnya, Fed juga terus maju mundur dengan keputusan menaikkan atau tidak suku bunga. Sejak Fed memberi sinyal mengakhiri kebijakan quantitative easing pada 2013, pasar terus menerka-nerka kapan dan seberapa besar Fed akan menaikkan suku bunga. Jika Fed jadi menaikkan bunga, ini kenaikan pertama sejak Juni 2006.

Meski lebih siap dibandingkan saat AS menaikkan suku bunga pada 2013, posisi Indonesia dengan 63 persen utang dalam denominasi dollar AS dan rasio utang terhadap PDB 28 persen termasuk rentan karena 90 persen perekonomian terpengaruh oleh dollar AS (dollar zone).

Selain tekanan di pasar modal, pasar uang, dan pasar surat utang, yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan membengkaknya beban utang, baik pemerintah maupun swasta, yang trennya terus meningkat beberapa tahun terakhir. Kerentanan lain Indonesia juga datang dari ketergantungan yang besar pada ekspor komoditas.

Bagi perekonomian dunia, kenaikan suku bunga AS ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kenaikan bunga AS menjadi semacam penegasan terhadap pulihnya ekonomi AS. Kenaikan bunga AS juga memberi kepastian kepada otoritas moneter dunia, mengingat kebijakan Fed menjadi acuan bank sentral banyak negara dalam menentukan arah kebijakan moneter dalam negerinya.

Namun, di sisi lain, kenaikan suku bunga AS juga berpotensi memunculkan tekanan yang kian besar terhadap pasar saham, pasar uang, dan pasar surat utang global meski sifatnya jangka pendek. Di sini pentingnya respons kebijakan untuk meredam transmisi dampak sekaligus kerentanan (vulnerability) jangka panjang ekonomi kita.

Kenaikan suku bunga kali ini juga tak berarti sepenuhnya mengakhiri ketidakpastian yang ada. Setelah kenaikan bunga kali ini, kita masih harus menebak-nebak arah selanjutnya suku bunga AS, masih akan naik atau tidak. Semua bergantung pada situasi perekonomian AS. Volatilitas pasar mungkin masih akan terjadi beberapa bulan ke depan, sebelum akhirnya mengalami stabilisasi dengan sebagian modal akan kembali ke negara berkembang.


www.kompas.com