Pernyataan Jokowi, “Islam kita adalah ‘Islam Nusantara’, Islam yang
penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah ‘Islam
Nusantara’, Islam yang penuh toleransi,” menunjukkan
ketidakmengertiannya tentang Islam
KATA Nusantara tercatat pertama kali dalam literatur
berbahasa Jawa Pertengahan (Abad ke-12 hingga ke-16) untuk
menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit. Nusantara berasal
dari dua kata bahasa Sanskerta, yaitu Nusa yang berarti “pulau” dan Antara yang berarti “luar”.
Jadi, pada awalnya kata Nusantara itu menunjuk pada “pulau lain” di
luar Jawa dan merupakan daerah taklukan Majapahit. Ide penyatuan
pulau-pulau di luar Jawa di bawah kekuasaan Majapahit inilah yang
mendorong Majapahit melakukan ekspansi kekuasaan.
Dapat dikatakan di sini, bahwa kata Nusantara lahir dalam konteks
ekspansi kekuasaan di bawah kekuasaan absolut sang Raja. Barulah pada
masa kekinian, Nusantara diartikan sebagai keterhubungan antar pulau,
bukan sebaliknya.
Sedangkan dalam Islam, kekuasaan bukan suatu hal yang absolut.
Kekuasaan diatur dan di bawah ketentuan syariat Islam. Syariat Islam
juga tidak mengenal batas-batas yuridiksi kedaulatan negara dalam
konteks modern sekarang.
Jelasnya, Islam tidak mengenal teritorial. Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah.
‘Islam Nusantara’ sebagaimana sedang digalakkan oleh pemerintah
menunjuk kepada suatu target besar, yakni menghadirkan pemerintahan yang
lebih prima dibandingkan dengan sistem ajaran keagamaan Islam.
Dengan demikian, dimunculkanlah istilah baru “‘Fikih Kebhinekaan’”
yang menjunjung tinggi kekuasaan negara. Ide ‘Islam Nusantara’ yang
sedang digalakkan ini, bukan tidak mungkin akan melahirkan suatu
‘Madzhab Kekuasaan’ dalam rangka melanggengkan rezim yang berkuasa.
Jika Patih Gadjah Mada menyatakan dalam Sumpah Palapanya akan
mengalahkan “pulau-pulau lain”, maka konsep ‘Islam Nusantara’ akan
menegasikan ajaran Islam yang tidak sejalan dengan pemikiran kaum
Liberalis. Kaum Liberalis inilah yang akan menjadikan ‘Islam Nusantara’
melalui ‘Fikih Kebhinekaan’ sebagai ‘Madzhab Kekuasaan’.
Ajaran Islam tentang ketatanegaran tidak lagi dilihat sebagai suatu
kebutuhan. Madzhab Kekuasaan itulah yang menjadi pilar bagi penguasa di
Nusantara. Menjadi sama persis dengan tujuan ekspansi Patih Gadjah Mada.
Gagasan ‘Islam Nusantara’, sejatinya adalah didasarkan kepada
kepentingan politis kaum liberalis yang memang terkenal “arogan dalam
pemikiran”, menembus batas-batas toleransi intelektual.
Pernyataan Jokowi, “Islam kita adalah ‘Islam Nusantara’, Islam yang
penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah ‘Islam
Nusantara’, Islam yang penuh toleransi,” menunjukkan
ketidakmengertiannya tentang Islam. Pernyataan itu seolah-olah ingin
mengatakan bahwa Islam di luar Nusantara, tidak mengedepankan sopan
santun, tata karma, dan tidak ada toleransi. Toleransi yang dimaksudkan
dalam konsep ‘Islam Nusantara’ tidak lain mengacu kepada pemikiran HAM
versi Barat yang memang mengusung kebebasan (liberty) secara absolut.
Banyak pihak yang memang diuntungkan dengan konsep ‘Islam Nusantara’
ini. Di bawah ‘Islam Nusantara’, semua pemikiran dan aliran sesat
memiliki hak yang sama, tanpa ada pelarangan.
Menjadi jelas, bahwa apa yang diperjuangkan dalam gagasan ‘Islam
Nusantara’ sebenarnya adalah untuk menjadikan sistem ketatanegaraan
Indonesia ke arah kekuasaan belaka. Penguasa akan sangat dikuatkan
dengan konsep ‘Islam Nusantara’ melalui ‘Fikih Kebhinekaan’ itu. Ciri
khas ‘Madzhab Kekuasaan’ adalah menjadikan hukum positif (Undang-undang)
sebagai landasan kekuasaan.
Di luar undang-undang bukanlah hukum. Undang-undang yang dihasilkan
dalam proses di legislatif juga harus mengacu kepada ‘Fikih Kebhinekaan’
vesi kaum Liberalis, yang menampung berbagai pemikiran-pemikiran sesat.
Keberlakuan syariat Islam yang benar sudah tidak lagi menjadi dasar
pemikiran dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Rasio berada
di depan dan menjadi “panglima” dalam pengambilan keputusan. Upaya
perjuangan “NKRI bersyariah” akan semakin dihadapkan dengan ‘Fikih
Kebhinekaan’ karya kaum Liberalis yang berkolaborasi dengan kaum
Sekularis, Pluralis dan penganut aliran sesat.
Di sisi lain, rezim juga diuntungkan dengan penguatan kaum Sepilis
dan Aliran Sesat ini. Tidak ada kata sepakat untuk menjadikan Indonesia
sebagai ‘Islam Nusantara’. Islam lebih mulia dibandingkan dengan
Nusantara.
Nusantara adalah salah satu wilayah berlakunya hukum Islam.
Sepantasnya, Nusantara yang harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai
Islam, bukan sebaliknya. “Islam Yes”, “Nusantara Oke”, tetapi “‘Islam
Nusantara’ No”.
26 Agustus 2015
oleh; Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM
www.hidayatullah.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar