Sabtu, 24 Oktober 2015

Menggugat “Madzhab Kekuasaan’ dalam ‘Fikih Kebhinekaan’ Versi ‘Islam Nusantara’

Pernyataan Jokowi, “Islam kita adalah ‘Islam Nusantara’, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah ‘Islam Nusantara’, Islam yang penuh toleransi,” menunjukkan ketidakmengertiannya tentang Islam

KATA Nusantara tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (Abad ke-12 hingga ke-16) untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit. Nusantara berasal dari dua kata bahasa Sanskerta, yaitu Nusa yang berarti “pulau” dan Antara yang berarti “luar”.

Jadi, pada awalnya kata Nusantara itu menunjuk pada “pulau lain” di luar Jawa dan merupakan daerah taklukan Majapahit. Ide penyatuan pulau-pulau di luar Jawa di bawah kekuasaan Majapahit inilah yang mendorong Majapahit melakukan ekspansi kekuasaan.

Dapat dikatakan di sini, bahwa kata Nusantara lahir dalam konteks ekspansi kekuasaan di bawah kekuasaan absolut sang Raja. Barulah pada masa kekinian, Nusantara diartikan sebagai keterhubungan antar pulau, bukan sebaliknya.

Sedangkan dalam Islam, kekuasaan bukan suatu hal yang absolut. Kekuasaan diatur dan di bawah ketentuan syariat Islam. Syariat Islam juga tidak mengenal batas-batas yuridiksi kedaulatan negara dalam konteks modern sekarang.

Jelasnya, Islam tidak mengenal teritorial. Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah.

‘Islam Nusantara’ sebagaimana sedang digalakkan oleh pemerintah menunjuk kepada suatu target besar, yakni menghadirkan pemerintahan yang lebih prima dibandingkan dengan sistem ajaran keagamaan Islam.
Dengan demikian, dimunculkanlah istilah baru “‘Fikih Kebhinekaan’” yang menjunjung tinggi kekuasaan negara. Ide ‘Islam Nusantara’ yang sedang digalakkan ini, bukan tidak mungkin akan melahirkan suatu ‘Madzhab Kekuasaan’ dalam rangka melanggengkan rezim yang berkuasa.

Jika Patih Gadjah Mada menyatakan dalam Sumpah Palapanya akan mengalahkan “pulau-pulau lain”, maka konsep ‘Islam Nusantara’ akan menegasikan ajaran Islam yang tidak sejalan dengan pemikiran kaum Liberalis. Kaum Liberalis inilah yang akan menjadikan ‘Islam Nusantara’ melalui ‘Fikih Kebhinekaan’ sebagai ‘Madzhab Kekuasaan’.

Ajaran Islam tentang ketatanegaran tidak lagi dilihat sebagai suatu kebutuhan. Madzhab Kekuasaan itulah yang menjadi pilar bagi penguasa di Nusantara. Menjadi sama persis dengan tujuan ekspansi Patih Gadjah Mada. Gagasan ‘Islam Nusantara’, sejatinya adalah didasarkan kepada kepentingan politis kaum liberalis yang memang terkenal “arogan dalam pemikiran”, menembus batas-batas toleransi intelektual.

Pernyataan Jokowi, “Islam kita adalah ‘Islam Nusantara’, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah ‘Islam Nusantara’, Islam yang penuh toleransi,” menunjukkan ketidakmengertiannya tentang Islam. Pernyataan itu seolah-olah ingin mengatakan bahwa Islam di luar Nusantara, tidak mengedepankan sopan santun, tata karma, dan tidak ada toleransi. Toleransi yang dimaksudkan dalam konsep ‘Islam Nusantara’ tidak lain mengacu kepada pemikiran HAM versi Barat yang memang mengusung kebebasan (liberty) secara absolut. Banyak pihak yang memang diuntungkan dengan konsep ‘Islam Nusantara’ ini. Di bawah ‘Islam Nusantara’, semua pemikiran dan aliran sesat memiliki hak yang sama, tanpa ada pelarangan.

Menjadi jelas, bahwa apa yang diperjuangkan dalam gagasan ‘Islam Nusantara’ sebenarnya adalah untuk menjadikan sistem ketatanegaraan Indonesia ke arah kekuasaan belaka. Penguasa akan sangat dikuatkan dengan konsep ‘Islam Nusantara’ melalui ‘Fikih Kebhinekaan’ itu. Ciri khas ‘Madzhab Kekuasaan’ adalah menjadikan hukum positif (Undang-undang) sebagai landasan kekuasaan.
Di luar undang-undang bukanlah hukum. Undang-undang yang dihasilkan dalam proses di legislatif juga harus mengacu kepada ‘Fikih Kebhinekaan’ vesi kaum Liberalis, yang menampung berbagai pemikiran-pemikiran sesat.

Keberlakuan syariat Islam yang benar sudah tidak lagi menjadi dasar pemikiran dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Rasio berada di depan dan menjadi “panglima” dalam pengambilan keputusan. Upaya perjuangan “NKRI bersyariah” akan semakin dihadapkan dengan ‘Fikih Kebhinekaan’ karya kaum Liberalis yang berkolaborasi dengan kaum Sekularis, Pluralis dan penganut aliran sesat.
Di sisi lain, rezim juga diuntungkan dengan penguatan kaum Sepilis dan Aliran Sesat ini. Tidak ada kata sepakat untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘Islam Nusantara’. Islam lebih mulia dibandingkan dengan Nusantara.

Nusantara adalah salah satu wilayah berlakunya hukum Islam. Sepantasnya, Nusantara yang harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai Islam, bukan sebaliknya. “Islam Yes”, “Nusantara Oke”, tetapi “‘Islam Nusantara’ No”.

26 Agustus 2015
oleh;  Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM
www.hidayatullah.com/ 

Kamis, 15 Oktober 2015

Kenali Saudara-Saudaramu Madzhab Hanafi

HINGGA zaman ini, madzhab-madzhab fiqih salaf yang masih lestari adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dari empat madzhab tersebut, yang paling tua usianya adalah madzhab Hanafi. Pengasas madzhab ini adalah Imam Abu Hanifah, yang menurut pendapat rajih termasuk tokoh tabi’in.

Meski dikenal dengan kelebihan dalam bidang fiqih, qiyas dan ra’yu namun sejumlah ulama menyebut bahwa Imam Abu Hanifah juga memumpuni dalam bidang hadits. Para ulama semisal Ibnu Hajar Al Haitami menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah termasuk jajaran huffadz hadits, dimana ia mengambil periwayatan dari 4 ribu perawi. Sebab itu Imam Adz Dzhahabi memasukkan Imam Abu Hanifah dalam Tadzkirah Al Huffadz, sebuah kitab yang terkumpul di dalamnya biografi para huffadz hadits. (lihat, Al Khairat Al Hisan, hal. 68)

Empat madzhab sepakat bahwa rujukan yang diambil adalah Al Qur`an, kemudian Al Hadits serta ijma dan qiyas. Namun madzhab Hanafi adalah memiliki rujukan lain selain itu, yakni pendapat para sahabat serta istihsan. (lihat, Tarikh Al Baghdad, 13/367 dan Manaqib Al Imam Al A’dzam Al Muwaffaq Al Makki, hal. 1/82,86)

Istihsan sendiri adalah sebutan lain dari ijtihad. Sebagai contoh, dalam menentukan kriteria “ma’ruf” dalam nafkah. Tidak ada nash menjelaskan jumlah ketentuan nafaqah, maka di sini para ulama menentukannya dengan cara ijthad atau istihsan. Hanafiyah juga memandang bahwa istihsan adalah bagian daripada qiyas.

Ada sejumlah pihak yang menyebutkan bahwa Madzhab Hanafi cenderung mengutamakan qiyas dari pada hadits. Hal ini ditanggapi oleh para ulama hadits madzhab ini dengan menulis sejumlah kitab-kitab yang berisi hadits-hadits hukum yang dijadikan hujjah madzhab ini. Al Hafidz Murtadha Az Zabidi, ulama hadits madzhab Hanafi menulis Al Jawahir Al Munifah fi Ushuli Adillati Madzhab Al Imam Abi Hanifah yang berisi hadits-hadits yang diriwayatkan langsung oleh Imam Abu Hanifah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengenai 447 permasalahan fiqih yang mayoritas derajatnya shahih dan hasan serta sebagian dhaif yang derajatnya terkuatkan. Sedangkan ulama hadits India Dzafar Ahmad Utsmani At Tahanawi menulis karya yang bernama I’la As Sunan setebal 16 jilid yang berisi hadits-hadits hukum yang dijadikan dalil madzhab Hanafi beserta syarahnya, juga jawaban terhadap kritik dari madzhab lain.

Disamping memiliki kitab-kiab khusus mengenai dalil madzhab, kitab-kitab takhrij hadits dalil-dalil Hadzhab Hanafy sendiri tidak sedikit, sebagaimana dicatat oleh Al Muhaddits Abdul Hayyi Al Kattani dalam Ar Risalah Al Mustatharrifah (hal. 188, 189). Sejumlah kitab yang mentakhrij hadits-hadits dalam kitab fiqih madzhab Hanafy antara lain Ath Thuruq wa Al Wasail fi Takhrij Ahadits Khulashah Ad Dalail oleh Abdul Qadir bin Muhammad Al Qursy yang merupakan takhrij dari hadits-hadits yang terdapat pada Khulashah Ad Dalalil fi Tanqihi Al Masail yang demikian juga Takhrij Ahadits Syarh Al Mukhtar yang merupakan karya dari Al Hafidz Qasim bin Quthlubugha Al Hanafy. Ada pula Al Iniyahah fi Takhrij Al Ahadits Al Hidayah oleh Muhyiddin Al Qursy Al Hanafy juga Al Kifayah fi Ma’rifati Al Ahadits Al Hidayah oleh Alauddin Ali bin Utsman Al Mardini, juga Nashb Ar Rayah li Al Hadits Al Hidayah oleh Al Hafidz Az Zaila’i.

Jumlah kitab-kitab takhrij hadits dalil-dalil madzhab Hanafy ini sendiri secara tidak langsung menunjukkan bahwa tidak sedikit kitab-kitab fiqihnya yang memuat dalil-dalilnya.

Para ulama Hadits, baik para muhadditsun dan huffadznya juga banyak yang memilih untuk menganut madzhab ini. Diantara mereka Al Hafidz Abu Bishr Ad Dulabi, Al Hafidz Abu Ja’far Ath Thahawi, Al Hafidz Ibnu Abi Al Awwam As Sa’di, Al Hafidz Abu Muhammad Al Haritsi, Al Hafidz Abdul Baqi, Al Hafidz Abu Bakr Ar Razi Al Jashas, Al Hafidz Abu Nashr Al Kalabadzi, Al Hafidz Abu Muhammad As Samarqandi, Al Hafidz Syamsuddin As Saruji, Al Hafidz Quthb Ad Din Al Halabi, Al Hafidz Alauddin Al Mardini, Al Hafidz Az Zaila’i, Al Hafidz Mughulthai, Al Hafidz Badruddin Al Aini, Al Hafidz Qasim bin Quthlubugha. Syaikh Anwar Zahid Al Kuatsari dan Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah menyebutkan 150 ulama hufadz dan muhadits madzhab Hanafi (lihat, Fiqh Alhul Iraq wa Haditsuhum, hal. 60-82).  Sedangkan Syeikh Dzafar Ahmad Utsmani menyebutkan biografi para huffadz dan muhadditsun penganut madzhab ini yang jumlahnya mencapai 229 ulama. (lihat, Abu Hanifah wa Ashabuhu Al Muhadditsun)

Tingkatan Ulama Hanafi

Seperti halnya madzhab lain, ulama madzhab Hanafi diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan, sesuai dengan tingkatan kemampuan dalam berijtihad. Tentu tingkatan paling tinggi adalah mujtahid mutlak, mujtahi tertinggi yang tidak hanya menghasilkan produk hukum fiqih dari dalilnya, namun ia juga yang memiliki kemampuan menetapkan metodologi dalam ijtihad. Tentunya Imam Abu Hanifahlah yang menempati peringkat ini.

Peringkat selanjutnya adalah mujtahid madzhab, ulama yang metodologinya mengikuti metodologi imam madzhab namun mereka mampu melakukan ijtihad sendiri dan tidak bertaklid kepada imamnya, dimana tidak sedikit mereka menyelisihi imam. Para ulama yang menduduki peringkatan ini dalam madzhab Hanafi adalah para muridnya, yakni Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan serta Imam Dzufar.

Tingkatan selanjutnya adalah mujtahid yang berijtihad hanya dalam masalah yang tidak didapati dari imam mengenai hukumnya. Para ulama yang berada di tingkatan ini adalah Al Hashshaf, Ath Thahawi, Al Karkhi, Al Halwa’i, Al Bazdawi. Mereka ini tidak memiliki kapasitas untuk menyelisihi imam baik dalam metodologi maupun hasilnya.

Selanjutnya adalah ulama tarjih yang memiliki kemampuan untuk menilai riwayat madzhab yang kuat, mana pendapat yang sesuai dengan qiyas. Ulama yang berada dalam derajat ini adalah Imam Al Quduri.
Selanjutnya adalah ulama muqallid yang memiliki kemampuan untuk melihat mana pendapat madzhab yang paling kuat. Baru kemudian ulama muqallid yang tidak memiliki kemampuan dalam hal ini. Klasifikasi ini sendiri disebutkan oleh Syeikh Umar bin Umar  Al Azhari di akhir kitab fiqih Hanafi, Al Jawahir An Nafisah.

Kitab Mu’tamad

Untuk kitab mutaqaddimin, hanya kitab yang memiliki sanad yang bersambung hingga Imam Abu Hanifah yang dipakai, yakni Al Jami’ Al Kabir dan As Shaghir, juga As Siyar Al Kabir dan As Saghir serta Az Ziyadat dan Al Mabsuth.

Adapun untuk kitab-kitab matan ringkasan yang mu’tamad seperti Al Mukhtashar Ath Thahawi, Al Mukhtashar Al Karkhi serta Al Mukhtashar  Al Quduri. Al Mukhtashar Al Quduri dinilai kitab matan yang paling banyak dipelajari.

Madzhab Hanafi sendiri hingga kini memiliki penganut yang cukup banyak. Di dunia Islam wilayah-wilayah yang banyak dihuni oleh penganut madzhab ini antara lain Kazakhstan, Turkmenistan, Kirgizstan, Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Azerbaijan, Turki, Mesir, Tajikistan, Maldives, Suriah, Jordan, Uzbekistan dan India.

1 April 2015
www.hidayatullah.com

Sabtu, 10 Oktober 2015

Mengapa Pelaku Pasar Menantikan Keputusan The Fed?

Pertanyaan ini sempat ditanyakan kepada saya beberapa bulan terakhir ini. Apalagi hampir setiap bulan selalu ada berita di mana-mana yang mengatakan Federal Reserve (The Fed) tidak jadi menaikkan suku bunga. Lah, lantas sebenarnya ada apa sampai-sampai kebijakan ini juga ditunggu oleh pelaku pasar di Indonesia bahkan hingga di seluruh dunia?

Agar kita memahami kondisi The Fed di Amerika Serikat ini, setidaknya kita perlu mengetahui bahwa beberapa tahun yang lalu, terjadilah sebuah peristiwa bersejarah mengenai krisis kredit perumahan di AS yang dikenal dengan "Krisis Subprime Mortgage" tepatnya pada tahun 2008.

Berbeda dengan negara kita tercinta Republik Indonesia, negara-negara di Amerika dan juga Eropa terjadi sebuah perlambatan ekonomi yang ditandai dengan minimnya pertumbuhan inflasi di negara-negara tersebut. Untuk mengatasi krisis, maka pemerintah Amerika melakukan sebuah kebijakan ‘uang murah’ yang dikenal dengan Quantitative Easing (QE).

Nah, QE ini adalah sebuah strategi membanjiri pasar dengan uang berbunga murah sampai dengan gratis. Jadi dalam bayangan sederhananya, negara memanggil bank-bank yang ada lalu bank tersebut diberikan sejumlah dana untuk disalurkan.

Apa tujuannya? Agar dengan bunga yang murah itulah para rakyatnya dapat menggunakan uang lebih konsumtif sehingga akan berdampak pada naiknya tingkat inflasi di negara tersebut.

Ya, inflasi itu kenaikan harga dan harga naik karena permintaan terhadap barang meningkat, teori ekonomi sederhana saja.

Masalah negara maju adalah masyarakatnya memang tidak terlalu gemar konsumsi, tidak seperti Indonesia yang masih berkembang. Alhasil, uang yang diberikan dengan bunga murah, bahkan gratis, ini justru malah digunakan untuk berinvestasi. Bursa AS telah pulih dan mendobrak rekor tertingginya kembali di tahun 2013.

Pulihnya bursa bukan diakibatkan karena perekonomian membaik, melainkan efek uang berbunga murah masuk ke pasar-pasar investasi di bursa. Nah, uang hasil ‘pinjaman’ oleh AS dari QE itu, yang seharusnya bertujuan meningkatkan inflasi AS, justru mengalir ke banyak negara lain, termasuk ke Indonesia, baik masuk ke bursa atau pasar modal maupun dalam bentuk lainnya.

Sadar karena jurus uang murahnya tidak memperbaiki kondisi perekonomian, maka si uang murah ini ditarik kembali, yang dikenal sebagai istilah ‘tapering’. Dan salah satu jurus dari negara dan bank sentralnya untuk mengendalikan uang beredar adalah dengan melakukan kebijakan menaikkan suku bunga.

Sebagai pengendali yang memberikan keputusan atas kebijakan moneter AS, The Fed sepanjang tahun 2015 ingin melakukan sebuah kebijakan ‘menarik uang murah’ dengan menaikkan suku bunga.

Di sinilah letak kekhawatiran para pelaku pasar di dunia, karena uang-uang murah menghuni pasar modal, yang bila dananya ditarik dalam satu momen akan terjadi penurunan.

Oleh karena itulah kebijakan The Fed menjadi sebuah penantian bagi pelaku pasar karena dikhawatirkan dampaknya akan membuat pasar finansial mengalami penurunan, termasuk di Indonesia.

Harga saham yang kebanjiran uang murah tentunya akan meroket dan berubah dari harga wajar menjadi harga yang tidak wajar ibarat membeli nasi goreng di gerobak dengan membeli nasi goreng di hotel, sama-sama nasi goreng tapi harganya berbeda.

Pada saat ini menjadi sebuah kekhawatiran akan jatuhnya saham-saham berharga tidak wajar kembali ke harga semula akibat ketidaksesuaian dengan kinerja perusahaan sebenarnya.

Meskipun The Fed akan mempertahankan ataupun menaikkan suku bunganya, seorang investor perlu melihat nilai perusahaan dibandingkan berfokus pada harga saham, hanya seorang pedagang yang sangat peduli dengan harga.

10 Oktober 2015 oleh; Ryan Filbert
www.kompas.com 

Perusahaan Jelek tapi Harga Sahamnya Melejit, Mengapa?

Bila sebuah saham perusahaan diperjualbelikan di bursa saham dan perusahaan itu mencetak keuntungan atas usaha yang meningkat, maka apakah sahamnya sama baiknya dengan kinerja perusahaannya?

Jawabannya adalah tidak selalu. Bila ada perusahaan berkinerja baik dan memuaskan namun harga sahamnya tidak sebaik kinerja perusahaannya maka dalam analisa saham sering dikenal dengan saham yang undervalued.

Mengapa undervalued? Karena harga sahamnya tidak sesuai, alias kemurahan dibandingkan kinerja perusahaan yang meningkat dan baik. Itulah yang dikenal sebagai value investing, membeli saham seperti Warren Buffett, investor kelas dunia.

Namun, kini pernyataan dan pertanyaannya ingin saya balik. Apabila ada saham sebuah perusahaan yang berkinerja sangat baik, dalam 4 bulan membuat semua pemegang sahamnya mendapat "durian runtuh", untung 100 persen, namun kontras dengan kinerja perusahaan yang justru menderita kerugian, hutang menumpuk, bahkan hingga gagal bayar, bagaimana dengan hal ini? Apakah ini terjadi dalam praktek sehari-hari di bursa?

Ternyata banyak saham yang tidak sejalan dengan kinerja perusahaannya! Walaupun perusahaannya rugi, kenapa bisa harga sahamnya melejit naik?

Itu adalah sebuah kejadian yang perlu perhatian khusus dari semua pelaku dan yang baru mau mengenal dunia saham. Kenaikan harga saham yang tidak disebabkan oleh peningkatan kinerja perusahaan bisa terjadi oleh karena banyak hal. Hal yang paling mudah menaikkan harga saham adalah gosip panas atau rumor.

Bisa ada sebuah cerita yang entah datangnya dari siapa, yang menghembuskan informasi fiktif dan biasanya memiliki kepentingan agar harga saham perusahaan tersebut mengalami kenaikan.

Saat informasi ditanggapi secara hangat oleh para pelaku pasar yang suka ikut-ikutan, banyak yang akhirnya membeli saham tersebut. Si pemberi rumor justru mengambil keuntungan.

Contohnya sebuah perusahaan berkinerja buruk dengan harga saham Rp 100, saya kumpulkan sahamnya, lalu saya informasikan atau membuat gosip bahwa perusahaan tersebut akan dibeli oleh perusahaan terkenal dari Amerika Serikat dengan harga fantastis karena melihat masa depan cemerlang.

Karena cerita tersebut dianggap menarik, banyak orang ikut membeli saham perusahaan. Alhasil, harga bergerak menjadi Rp 200, dan saya sudah menjualnya ketika saham bergerak ke angka tersebut.

Penulisan artikel ini sebenarnya karena saya tergelitik setelah salah seorang rekan berkata bahwa ada beberapa perusahaan yang saat ini sedang booming dan terus menerus memberikan injeksi dana ke usahanya meskipun merugi.

Ketika ditanya skema bisnis apa yang nantinya bisa menguntungkan perusahaan tersebut, apa kira-kira jawabannya?

Pemilik perusahaan tersebut memiliki dua exit plan strategy. Pertama adalah menunggu perusahaan itu dibeli oleh perusahaan lain yang lebih besar dan strategi lainnya adalah menerbitkan saham perusahaan itu untuk umum (IPO, initial public offering). Lah, kalau rugi nanti bagaimana nasib IPO-nya?

Artinya, selain kita perlu berhati-hati memilih saham yang sudah ada untuk berinvestasi, kita juga dihadapkan bahwa perusahaan yang sedang tren tidak selalu nantinya akan menarik untuk diinvestasikan.

Cermatlah memilih, tidak ada nomor seri yang sama (kecuali uang palsu), uang dan harta Anda tanggung jawab Anda, bukan yang menawarkan maupun menyarankan investasi kepada Anda.

3 Oktober 2015 oleh; Ryan Filbert
www.kompas.com

Jumat, 18 September 2015

Inflasi dan Kondisi Perekonomian Indonesia

Di tengah ingar-bingarnya berita kenaikan nilai tukar rupiah, keluarnya data mengenai inflasi terakhir mungkin tidak terlalu menarik perhatian. Namun, ada beberapa hal mengenai tingkat harga yang berpotensi memperburuk keadaan ekonomi Indonesia.

Berbeda dengan masalah pelemahan nilai tukar yang merupakan isu global dan terjadi di hampir semua mata uang, inflasi Indonesia saat ini tidaklah mengikuti pola global. Angka terakhir inflasi bulan Agustus masih bertengger pada angka 7,18 persen per tahun, tidak jauh berbeda dengan inflasi dalam beberapa tahun belakangan ini.

Hal ini agak mencemaskan karena tren harga dunia menunjukkan adanya penurunan. Harga-harga komoditas dan pangan terus mengalami penurunan sejak akhir tahun lalu. Inflasi di hampir semua negara tetangga tercatat sangat rendah.

Vietnam, misalnya, hanya mencatatkan inflasi tahunan 0,9 persen, jauh di bawah inflasi rata-rata mereka yang mencapai dua digit. Thailand mencatatkan penurunan harga hingga 1,5 persen. Inflasi di Filipina bahkan mencapai tingkat terendah dalam dua dekade dengan perubahan harga tahunan kurang dari 1 persen.

Kecenderungan untuk inflasi Indonesia yang tetap tinggi perlu mendapatkan perhatian. Penyumbang terbesar angka inflasi adalah kenaikan harga bahan pangan. Angka inflasi Agustus menunjukkan tingkat inflasi tahunan bahan makanan dan makanan jadi mencapai 9,26 persen dan 8,39 persen. Harga eceran beras rata-rata nasional saat ini masih sekitar 40 persen lebih tinggi dibandingkan harga internasional yang cenderung menurun.

Dengan penurunan harga di pasar internasional, perlu ditanyakan mengapa harga pangan di Indonesia malah mengalami kenaikan secara signifikan. Mengapa penurunan harga internasional tidak tecermin di harga-harga domestik?

Salah satu jawabannya, karena kelangkaan pasokan bahan makanan. Keengganan pemerintah melakukan impor berbagai bahan pertanian telah menyebabkan kenaikan harga yang sering tak terkontrol. Tata niaga bahan pertanian yang restriktif juga membuat tak adanya mekanisme penyaluran produk yang pada akhirnya membuat kenaikan harga terjadi terus-menerus.

Harga pangan dan daya beli

Kenaikan harga produk pertanian sering dianggap sebagai salah satu cara untuk mendukung program swasembada. Kenaikan harga pokok pembelian beras hingga Rp 8.000 per kilogram diharapkan akan lebih mendorong produksi beras di dalam negeri. Pembatasan impor bahan pangan yang mendorong kenaikan harga juga diharapkan memberi insentif bagi petani dalam produksi berbagai bahan pangan lainnya.

Namun, tentu saja kenaikan harga tidak akan memberikan manfaat pada perekonomian secara keseluruhan, bahkan tidak untuk petani. Sebagian besar dari petani Indonesia adalah petani yang juga menjadi konsumen bahan pangan. Lebih dari 60 persen rumah tangga pertanian hanya memiliki lahan kurang dari setengah hektar dan tergantung dari bahan pangan yang mereka tidak hasilkan. Secara neto, dampak kenaikan harga bahkan mengurangi daya beli mereka.

Selain itu, kenaikan harga bahan pangan juga akan memicu kenaikan upah yang diminta oleh para pekerja non-pertanian. Dengan hampir 70 persen pekerja Indonesia berada di luar pertanian, dampak kenaikan bahan pangan akan mendorong kenaikan upah dan harga produk-produk lain. Akhirnya, kenaikan harga produk pertanian tidak akan dinikmati para petani dan hanya menimbulkan dampak inflasi.

Kombinasi antara pelambatan ekonomi dan kenaikan harga merupakan situasi yang jauh lebih mengancam daripada sekadar pelemahan nilai tukar. Kondisi stagflasi (stagnasi dan inflasi) akan menyebabkan berbagai kebijakan ekonomi, termasuk untuk meningkatkan belanja pemerintah, tidak akan menjadi efektif. Kebijakan fiskal yang ekspansif hanya akan menyebabkan kenaikan permintaan. Tanpa adanya peningkatan pasokan, permintaan tersebut hanya akan meningkatkan tekanan inflasi.

Kenaikan harga yang terus-menerus juga akan berpengaruh pada nilai tukar dalam jangka panjang. Jika tingkat harga di Indonesia terus meningkat, sementara tingkat harga internasional cenderung menurun, nilai tukar rupiah juga akan mengalami pelemahan.

Kenaikan tingkat harga juga menyebabkan daya saing produk Indonesia tidak dapat meningkat walaupun nilai tukar sudah melemah secara signifikan. Ini sebagian menjelaskan mengapa meskipun sejak dua tahun belakangan ini rupiah telah melemah sekitar 20 persen, ekspor Indonesia belum menunjukkan perubahan yang berarti.

Untuk mencegah kondisi yang lebih buruk, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih pada tingkat harga dan inflasi. Tingkat harga di Indonesia perlu diselaraskan dengan tingkat harga internasional, terutama untuk bahan pangan. Pemerintah perlu mengubah paradigmanya: impor bahan pangan bukanlah merupakan suatu hal yang memalukan; ketidaktersediaan dan ketidakterjangkauanlah yang harus dihindari.

Swasembada bahan pangan harus dicapai bukan dengan mengorbankan konsumen dan rakyat, melainkan dengan mengurangi biaya produksi dan meningkatkan produktivitas. Cara-cara koersif dan pemaksaan dalam memengaruhi pasar tidaklah akan memberikan hasil yang baik dan akan memperburuk keadaan.

Kebijakan-kebijakan restriktif yang meningkatkan harga pangan juga hanya akan memicu inflasi dan menaruh perekonomian pada posisi yang lebih membahayakan.


Yose Rizal Damuri
www.kompas.com

Tiongkok, AS, dan Indonesia

Negara-negara dengan ekonomi yang berkembang (emerging markets/EM), termasuk Indonesia, sedang menghadapi tantangan eksternal yang tidak ringan, selain masalah domestik masing-masing. 

Seperti sudah banyak disebutkan, kendala eksternal menyangkut dua area: menurunnya harga komoditas atau berakhirnya boom komoditas di sektor riil dan berakhirnya era likuiditas berlimpah di sektor moneter-keuangan. Kendala-kendala itu dipertajam oleh pengelolaan ekonomi-keuangan negara-negara besar dan maju yang kadang membingungkan, tidak mendukung terciptanya kestabilan. Dalam pada itu, hubungan saling ketergantungan menyangkut pula dampak balik perkembangan negara berkembang kepada negara-negara maju, menghambat pemulihan dari resesi yang belum tuntas dengan risiko kembali pada resesi akbar sehabis krisis keuangan dunia.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Menyangkut yang pertama, masa jaya komoditas berakhir dengan anjloknya permintaan mulai dari kedelai sampai batubara dan bijih besi terutama disebabkan oleh turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi 7 persen atau lebih rendah. Harga migas juga menurun drastis karena melemahnya permintaan berbarengan dengan meningkatnya produksi karena Arab Saudi tak mau menurunkan produksinya dan perkembangan oil shale di AS. Turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok terjadi bersamaan dengan kebijakan rebalancing, yaitu mengalihkan sumber pertumbuhan dari ekspor dan investasi ke konsumsi dalam negeri. Semuanya berdampak menekan negara-negara pengekspor komoditas dan sumber alam: Brasil, Cile, Rusia, serta Australia dan Indonesia.

Laporan ekonomi triwulanan Bank Dunia terakhir menunjukkan, laju pertumbuhan impor Tiongkok dari Indonesia yang meningkat setiap tahun sekitar 30 persen dalam periode 2005-2011 (di luar krisis 2009) menjadi negatif 7,8 persen pada periode 2012-2014.

Masalah kedua menyangkut akan direalisasikannya perubahan kebijakan moneter inkonvensional dengan suku bunga mendekati nol di AS dengan meningkatkan suku bunga fasilitas Fed (Fed Fund Rate). Sesuatu yang tak mudah dibayangkan karena sudah tujuh tahun perekonomian hanya mengenai suku bunga yang mendekati nol persen. Dunia keuangan mengenal phenomenon double blows, dampak dari suatu kebijakan terjadi dua kali. Akan dinaikkannya suku bunga dihadapi para pelaku pasar dengan memperhitungkan kenaikan suku bunga dalam operasinya meski kenaikannya belum terjadi (discounted). Pada waktu terjadi kenaikan, ini diperhitungkan (lagi). Tambahan aksentuasi dampak ini sering disebut financial amplifier. Karena itu, reaksi pasar sering ekstrem, terjadi overshoot.

Kemungkinan peningkatan suku bunga ini sudah diumumkan sejak Juni 2013. Ketua Dewan Gubernur Fed Ben Bernanke waktu itu membuat pernyataan bahwa kalau perbaikan data pengangguran dan laju inflasi terus terjadi, kebijakan suku bunga sangat rendah itu akan secara hati-hati ditinggalkan, tapering off atau lifting off. Pernyataan ini telah menumbuhkan gejolak pembalikan dana dari EM ke AS. Negara-negara dengan ekonomi berkembang, termasuk Indonesia yang sebelumnya menerima aliran modal dari melimpahnya likuiditas, resah karena aliran balik modal ini (taper tantrum).

Financial Times melaporkan, arus balik dana dari 19 negara EM ke AS dan negara maju lain dalam 13 bulan terakhir mendekati 1 triliun dollar AS. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat arus balik dana saat krisis keuangan dunia 2008/2009 sebesar 490 miliar dollar AS. Kekhawatiran yang berkembang jelas, kalau kenaikan suku bunga benar terjadi, arus balik akan meningkat lagi karena phenomenon double blows tadi. Implikasinya, depresiasi mata uang terhadap dollar AS akan kian tajam. Susahnya, harapan terjadinya peningkatan ekspor dari depresiasi mata uang negara berkembang ternyata semakin lemah, antara lain karena besarnya kandungan impor dari ekspor negara berkembang. Sebaliknya, dampak negatifnya, seperti semakin mahalnya impor, lebih memberatkan negara berkembang. Bagi yang utangnya besar dan dalam dollar AS, dampak negatif semakin beratnya pengembalian utang jelas memberatkan. Utang Indonesia memang relatif belum besar sekali, tetapi rupanya Indonesia ikut juga arus makin meningkatnya utang yang mudah masuk ke tingkat riskan.

Selanjutnya, arus balik dana ini telah menyebabkan tergerusnya nilai tukar kebanyakan negara yang kehilangan dana, terutama negara-negara berkembang yang kehilangan dana karena arus balik, termasuk Indonesia. Semua mata uang negara-negara tersebut terdepresiasi. Namun, besar kecilnya dipengaruhi lagi oleh faktor domestik yang merupakan discount masing-masing, sesuai kerentanannya.

Perekonomian suatu negara rentan terhadap gejolak jika ketergantungannya pada ekspor sangat besar, terutama ekspor komoditas yang harganya berfluktuasi. Demikian pula perekonomian yang defisit neraca pembayarannya besar, utangnya besar (apalagi utang jangka pendek dalam denominasi dollar AS). Juga negara yang sedang dililit permasalahan sosial politik, karena korupsi, skandal, atau lainnya.
Momok ketidakpastian

”Senin Hitam” terjadi karena perubahan perekonomian Tiongkok, kombinasi perkembangan ekonomi dan kebijakan penyesuaian yang dilaksanakan pemerintah dan otoritas moneternya, People’s Bank of China (PBOC). Pasar modal Tiongkok di Shenzen ataupun Shanghai mengalami perkembangan luar bisa dengan jutaan investor perorangan baru dan kapitalisasinya meningkat dua kali lipat dalam setahun. Semua serba fantastis. Namun, waktu terjadi penurunan tajam harga saham bulan Juni, Tiongkok melancarkan kebijakan penyelamatan, termasuk membeli saham sampai 200 miliar dollar AS serta melarang sementara IPO dan penjualan sejumlah besar saham. Terakhir bahkan membungkam media yang memberitakan gejolak pasar modal. Semua ini mengguncang Asia dan dunia dengan terjadinya Senin Hitam dan setelahnya.

Harga saham baru menjadi positif kembali setelah penurunan sekitar satu minggu, sedangkan di AS dan Eropa serta beberapa negara berkembang lain sudah menjadi positif sehari atau dua hari setelah Senin Hitam. Tiongkok sendiri dilaporkan kehilangan nilai aset finansial karena penurunan harga saham mencapai 4 triliun dollar AS, empat kali lipat PDB Indonesia. Anehnya, gejolak pasar modal di Tiongkok yang relatif belum terbuka ini dengan cepat menjadi global. Lebih aneh lagi meski dilakukan penanganan yang berani dan drastis, termasuk devaluasi yuan yang sangat ditabukan sebelumnya, gejolak pasar modal di Tiongkok berjalan lebih lama dari negara maju dan berkembang lain. Dan devaluasi yuan juga tidak memberikan hasil yang diharapkan.

Tentu perlu dilakukan pengkajian lebih cermat. Akan tetapi, sementara rasanya tak keliru mengatakan, kepercayaan pasar terhadap pengelolaan pasar modal dan yuan menurun karena kurang konsistennya kebijakan pemerintah dan PBOC. Kebijakan rebalancing yang dijanjikan untuk mendorong konsumsi domestik dan mengurangi ketergantungan pada ekspor dan mendorong bekerjanya mekanisme pasar tampak tak sinkron dengan kebijakan devaluasi dan berbagai intervensi langsung yang dilakukan terhadap pasar modal dan perkembangan nilai tukar.

Dalam pada itu, kenaikan suku bunga fasilitas Fed yang jelas akan berakibat aliran balik modal juga masih menggantung. Rupanya negara berkembang harus menghadapi kebijakan Fed dan bank sentral negara maju lain yang akhir-akhir ini mengalami penyakit susah membuat keputusan. Debat yang rasanya tak berkesudahan tentang kapan dimulai kenaikan suku bunga jelas menambah ketakpastian pasar yang terguncang dengan apa yang berkembang di Tiongkok.

Masalah yang dihadapi Fed jelas pelik. Fed bertugas menjaga dan mengusahakan kestabilan finansial seperti di Indonesia. Fed juga bertanggung jawab mendorong ekonominya mencapai pertumbuhan yang disasar. Hal ini dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam pasar tenaga kerja dengan besar kecilnya tingkat pengangguran menjadi sasaran kebijakan moneter. BI di masa lalu juga mempunyai tanggung jawab pembangunan ini, tetapi penugasan ini dikeluarkan pada waktu diberi status independen tahun 1999.

Pencapaian keseimbangan dua sasaran tersebut dalam paradigma ekonomi yang telah berubah rupanya semakin rumit. Mungkin hal ini yang menyebabkan Fed seperti maju mundur sejak 2013 untuk menentukan kapan akan mulai menaikkan suku bunga. Belum lagi yang menyangkut berapa besar kenaikannya dan bagaimana pola yang akan dilaksanakan. Setelah seminar dan perdebatan panjang di masyarakat, tampaknya para gubernur di bawah pimpinan Janet Yellen cenderung meningkatkan suku bunga September atau akhir tahun. Yang jelas rapat dewan gubernur dilakukan sepuluh kali setiap tahun, tahun ini tinggal dua kali, 17 September ini dan Desember nanti.

Perdebatan belum kunjung berhenti juga. Di Fed, beberapa waktu lalu, Presiden Fed New York William Dudley mengatakan, dirinya tak yakin lagi apakah kenaikan suku bunga sebaiknya dilakukan tahun ini. Tak kurang mantan Menteri Keuangan Larry Summer dan ekonom peraih Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz, keduanya guru besar kenamaan Universitas Harvard dan Columbia, menulis kolom (di New York Times dan Los Angeles Times) menunjukkan argumen serupa. Akan tetapi, dalam pertemuan tahunan central bankers di Jackson Hole belum lama ini, Wakil Ketua Fed Stanley Fischer mengatakan, peningkatan suku bunga bulan ini masih dalam pertimbangan, menunggu data perkembangan pengangguran akhir minggu.

Siapa yang tidak bingung mengikuti semua perkembangan ini? Orang-orang pintar saja bingung. Yang jelas, implikasinya adalah ketidakpastian pasar yang merupakan momok paling tidak disukai pelaku pasar ini masih berjalan. Perekonomian terkuat nomor satu dan dua di dunia sedang dalam kondisi kurang bisa dijadikan pedoman negara-negara berkembang untuk menentukan sikap. Ini jelas suatu kondisi yang kurang kondusif, perekonomian dunia kurang solid untuk menghadapi kejutan yang bisa terjadi.

Kiranya benar pernyataan Henry Snyder dalam kolom di Financial Times (28/8) bahwa masalahnya bukan pada ekonomi AS, melainkan pada kebijakan moneternya. Saya ingin menambah, ini berlaku pula bagi ekonomi Tiongkok. Sektor riilnya tidak merupakan masalah, laju pertumbuhan PDB-nya jelas masih tertinggi di dunia, tetapi kebijakan dalam pengelolaan moneter dan pasar modalnya telah menimbulkan pertanyaan besar bagi pasar dan masyarakat. Dalam menghadapi tantangan tersebut, kita semua berharap adanya sikap arif dari pemerintah dan dunia usaha dalam mengambil kebijakan dan menentukan langkah agar memilih mitra usaha, dagang, dan investasi tanpa tergiur keuntungan sesaat, tetapi untuk kepentingan yang luas, kepentingan nasional berjangka panjang. Semoga.

17

www.kompas.com

Ketakpastian Ekonomi Global

Belum pernah sidang bank sentral AS yang akan memutuskan soal suku bunga memicu panas dingin pasar dan ekonomi global dalam skala seperti ini.

Kepastian naik tidaknya suku bunga itu sendiri akan kita ketahui pada akhir sidang Komite Pasar Terbuka Federal (FMOC) Fed, 16-17 September waktu setempat. Peluang suku bunga naik lebih besar dari sebelumnya, mengingat data lapangan kerja AS yang membaik kendati beberapa indikator ekonomi AS lain masih melemah.

Mayoritas ekonom dan ahli strategi keuangan dunia mendukung kenaikan. Sebaliknya, Bank Dunia dan IMF menentang karena pertimbangan dampak terhadap negara berkembang. Kenaikan suku bunga AS dikhawatirkan akan kian memacu arus modal keluar dari emerging markets karena investor yang berharap kenaikan suku bunga lebih agresif di AS kian mencampakkan negara berkembang.

Kenaikan suku bunga sendiri dilematis bagi AS mengingat data pemulihan ekonomi negara itu sendiri belum solid. Akibatnya, Fed juga terus maju mundur dengan keputusan menaikkan atau tidak suku bunga. Sejak Fed memberi sinyal mengakhiri kebijakan quantitative easing pada 2013, pasar terus menerka-nerka kapan dan seberapa besar Fed akan menaikkan suku bunga. Jika Fed jadi menaikkan bunga, ini kenaikan pertama sejak Juni 2006.

Meski lebih siap dibandingkan saat AS menaikkan suku bunga pada 2013, posisi Indonesia dengan 63 persen utang dalam denominasi dollar AS dan rasio utang terhadap PDB 28 persen termasuk rentan karena 90 persen perekonomian terpengaruh oleh dollar AS (dollar zone).

Selain tekanan di pasar modal, pasar uang, dan pasar surat utang, yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan membengkaknya beban utang, baik pemerintah maupun swasta, yang trennya terus meningkat beberapa tahun terakhir. Kerentanan lain Indonesia juga datang dari ketergantungan yang besar pada ekspor komoditas.

Bagi perekonomian dunia, kenaikan suku bunga AS ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kenaikan bunga AS menjadi semacam penegasan terhadap pulihnya ekonomi AS. Kenaikan bunga AS juga memberi kepastian kepada otoritas moneter dunia, mengingat kebijakan Fed menjadi acuan bank sentral banyak negara dalam menentukan arah kebijakan moneter dalam negerinya.

Namun, di sisi lain, kenaikan suku bunga AS juga berpotensi memunculkan tekanan yang kian besar terhadap pasar saham, pasar uang, dan pasar surat utang global meski sifatnya jangka pendek. Di sini pentingnya respons kebijakan untuk meredam transmisi dampak sekaligus kerentanan (vulnerability) jangka panjang ekonomi kita.

Kenaikan suku bunga kali ini juga tak berarti sepenuhnya mengakhiri ketidakpastian yang ada. Setelah kenaikan bunga kali ini, kita masih harus menebak-nebak arah selanjutnya suku bunga AS, masih akan naik atau tidak. Semua bergantung pada situasi perekonomian AS. Volatilitas pasar mungkin masih akan terjadi beberapa bulan ke depan, sebelum akhirnya mengalami stabilisasi dengan sebagian modal akan kembali ke negara berkembang.


www.kompas.com

Rabu, 16 September 2015

Rekonsiliasi dan Partisipasi Korban

Setelah ditunggu selama setengah tahun, akhirnya Presiden Joko Widodo mulai merealisasikan janji dan programnya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di masa lalu. Hal ini ditunjukkan dengan telah dibentuknya sebuah tim gabungan lintas kementerian dan lembaga yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno. 

Sebagaimana disampaikan di media, tim gabungan ini bertugas merumuskan kebijakan untuk menyelesaikan enam kasus pelanggaran berat HAM, yaitu kasus peristiwa 1965-1966; kasus penembakan misterius 1982-1985; kasus Talangsari di Lampung (1989); kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kasus kerusuhan Mei 1998; serta peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

 Perkembangan ini tentu disambut dengan penuh harap oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang telah menanti puluhan tahun.

Harapan para korban yang dipupuskan oleh 10 tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kini mulai tumbuh kembali. Harapan ini didasarkan pada dokumen Nawacita yang secara eksplisit menyebutkan perlunya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara menyeluruh dan berkeadilan.

Selain itu, Jokowi yang tidak memiliki kaitan langsung dengan rezim otoritarian Orde Baru diharapkan memiliki pendekatan yang berbeda dalam penanganan pelanggaran berat HAM masa lalu.

Terkait pembentukan tim gabungan, Jokowi telah memberikan konfirmasinya sebagaimana dikutip oleh media ini , "Sudah ada pertemuan, tetapi, kan, perlu tindak lanjut. Ditunggu saja, saya pastikan akan kita selesaikan, tetapi satu per satu," (Kompas, 29/5).

Namun demikian, ada satu hal yang menjadi keprihatinan dan menimbulkan kekhawatiran para korban, yaitu ketika Menkopolhukam dan Jaksa Agung mengatakan bahwa cara penyelesaian yang hendak diambil pemerintah adalah dengan jalan nonyudisial, yaitu dengan cara rekonsiliasi.

Alasan yang disampaikan Jaksa Agung HM Prasetyo, cara yudisial sudah tidak bisa dilakukan karena saksi dan bukti yang sudah tidak ada karena peristiwanya telah terjadi pada waktu yang lama.

Mendengarkan suara korban

Terkait rencana dan posisi yang diambil tim gabungan ini, penulis merasa perlu memberikan beberapa poin masukan agar tujuan penyelesaian kasus secara menyeluruh dan berkeadilan benar-benar bisa tercapai. Yang pertama, tim gabungan harus secara substantif mendengarkan suara dan harapan korban, setidaknya dari enam kasus yang hendak ditangani. Mendengarkan suara korban sangat penting untuk memastikan agar langkah penyelesaian yang hendak diambil tidak hanya sesuai dengan kaidah HAM, tetapi juga menjawab kebutuhan mendesak para korban dan keluarga korban.

Perlu dicatat di sini bahwa beberapa inisiatif penyelesaian yang pernah diambil pemerintah sebelumnya seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pemulihan gagal karena tidak adanya ketulusan pemerintah untuk mendengar dan menampung suara dan kepentingan korban.

Yang kedua, penyelesaian menyeluruh dan berkeadilan sebagaimana menjadi komitmen Jokowi tidak bisa dilakukan dengan pendekatan parsial. Pernyataan Jaksa Agung dan Menkopolhukam bahwa enam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut akan diselesaikan dengan cara rekonsiliasi  tidak hanya parsial, tetapi juga belum merefleksikan suara korban.

Penyelesaian kasus secara rekonsiliasi adalah simplifikasi atas mekanisme nonyudisial yang sebenarnya mencakup unsur-unsur pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban.

Dalam diskursus transitional justice, penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM secara menyeluruh dan komprehensif mensyaratkan digunakannya mekanisme nonyudisial dan yudisial secara paralel dan saling melengkapi terutama karena pelanggaran berat HAM bersifat kompleks. (Hayner, 2011) Tidak bisa dimungkiri bahwa konteks politik, pola, besaran (magnitude), cakupan (scope), bentuk kejahatan dan pelaku-pelaku yang terlibat dalam enam kasus yang hendak diselesaikan sangatlah beragam sebagaimana terlihat dari laporan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) yang berjudul "Menemukan Kembali Indonesia". Pendekatan tunggal (nonyudisial) yang linear dipastikan tidak akan bisa membawa hasil yang diharapkan.

 Selain itu, terminologi "rekonsiliasi" telah mengalami inflasi definisi, karena diterjemahkan para korban sebagai usaha pemaksaan perdamaian antara korban dengan pelaku bila dilakukan tanpa proses pengungkapan kebenaran, pemulihan, apalagi keadilan. Rekonsiliasi telah dimaknai para korban sebagai sebuah perwujudan impunitas.

Dari proses mempelajari konstruksi kasus dan interaksi bersama para korban selama lebih dari satu dekade terakhir, penulis berkeyakinan bahwa penyelesaian enam kasus yang dimaksud harus didasarkan kepada pertimbangan yang sangat cermat melalui kajian mendalam masing- masing kasus yang semua berkasnya ada di kejaksaan agung. Hasil kajian ini lalu disandingkan dengan harapan para korban dan keluarga korban.

Dari sana bisa dirumuskan hal-hal yang mendesak yang bisa dilakukan (feasible) dan pada saat yang sama diinginkan oleh korban dan keluarga korban (desirable) dengan tetap mengacu kepada kaidah hukum HAM internasional. Misalnya, untuk kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998, pemerintah harus segera mengambil langkah untuk memberi jawaban akhir (closure) mengenai nasib dan keberadaan para korban.

Pentingnya pengakuan dan permintaan maaf 

Bila informasi yang berkembang benar, maka rencana Jokowi untuk menyampaikan pengakuan dan permintaan maaf resmi (official public apology) bisa menjadi langkah pembuka dimulainya proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat ini.

Walaupun bukan hal baru, langkah ini bisa menjadi ukuran keseriusan Jokowi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.

Perlu diingat lagi, pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyampaikan permintaan maaf atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM tahun 1965 (Kompas, 15/3).

Beberapa tahun lalu, Wali Kota Palu Rusdi Mastura juga menyampaikan permintaan maaf serupa. Bahkan langkah wali kota Palu kemudian menindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Wali Kota Nomor 25 Tahun 2013 yang berisi langkah-langkah pemulihan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di wilayah Palu, Sulawesi Tengah.

 Tidak bisa dimungkiri, pelanggaran berat HAM dengan skala, cakupan serta rentang waktu dan wilayah yang sedemikian lama dan luas tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tetapi, setiap kerja besar selalu saja ada langkah awalnya.

Jokowi sangat beruntung karena sudah bisa mengambil pilihan ketika masih berada di awal kekuasaan; beretorika dan membuang waktu untuk pencitraan, atau hadir, bekerja dan berani menyudahi beban sejarah masa lalu yang terus membelenggu.  
Mugiyanto
www.kompas.com

Penyelesaian Beban Sejarah

Akhirnya, saya baca, pemerintah serius menuntaskan berbagai pelanggaran hak asasi manusia berat lama dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Komisi tersebut terdiri dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kejaksaan Agung; Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia; Badan Intelijen Negara; dan Komnas HAM.

”Tim gabungan ini dibentuk sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia berat pada masa lalu. Ini agar tak lagi ada beban sejarah yang menjadi tanggungan generasi selanjutnya,” demikian pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo pada Selasa, 21 April (Kompas, 22/4).

Sesuai data Komnas HAM, ada tujuh berkas pelanggaran HAM berat masa lalu yang akan ditangani Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Kasus peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Talangsari di Lampung (1989), penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, serta peristiwa Wasior dan Wamena (2003).

Kalau memang pemerintah, sesuai pernyataan Jaksa Agung,akan membentuk KKR dalam waktu singkat, saya menyambut dengan gembira. Saya membayangkan para korban yang rata- rata sudah uzur sepertimendapatharapan kembali. Di antaranya, saya ingat, Pak Bedjo Untung dari YPKP (peristiwa 1965-1966), ibu Sumarsih, Hera Tetty, Karsiah, ibu Hoo Kim Ngo (Trisakti, Semanggi I dan II), Azwar Kaili (Talangsari, Lampung, 1989), Paian Siahaan dan ibu Tuti Koto (penghilangan orang secara paksa 1997-1998), dan banyak lagi.

Sehubungan dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu itu, saya akan memberikan pokok-pokok pikiran sebagai berikut.

Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu harus berdasarkan etika. Dasar etika ini mengacu pada wawasan persatuan bangsa seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD RI 1945 yang secara khusus terkait dengan tujuan kemerdekaan Indonesia dan tanggung jawab negara melindungi dan melayani masyarakat bangsa Indonesia. Juga solidaritas kebangsaan yang telah menjadi spirit utamakemerdekaan Indonesia. Solidaritas ini terbentuk bukan karena kesamaan ikatan etnik, agama, ideologi-politik, ataupun ikatan lain, melainkan karena ikatan kebersamaan untuk mencapai keadaban kemanusiaan.

Kemudian, politik yang mengacu pada era reformasi. Dasar politik ini membuka peluang bagi negara dan pemerintah untuk melakukan koreksi berbagai kesalahan dan kelalaian masa lampau. Namun, saya mencatat, peluang ini belum dimanfaatkan secara tuntas dan efektif oleh para pemimpin politik selama ini. Sejumlah pernyataan kebijakan (policy statements) yang berimplikasi pada pembuatan peraturan perundang-undangan telah dilakukan, tetapi belum seluruhnya terlaksana secara tuntas dan ditegakkan dengan efektif.

Lalu, hukum. Bidang hukum ini merupakan instrumen sah untuk menegaskan bahwa tindakan-tindakan negara tidak sewenang-wenang dan keadilan dapat ditegakkan. Peraturan perundang-undangan pada masa-masa awal reformasi, dan sudah tentu konstitusi UUD RI Tahun 1945, memberikan landasan hukum yang cukup memadai untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dalam hal ini, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyebutkan ”bahwa tak ada orang-orang yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia akan menikmati impunitas atau bebas dari hukum” menjadi dasar hukum penyelesaian pelanggaran hukum.

Juga Tap MPR No V/2000 yang memberi mandat penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara ”pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat”.

Masukan lembaga

Perlu diperhatikan, saran-saran resmi dari berbagai lembaga, antara lain: (a) Putusan MK atas persepsi Jaksa Agung dalam penerapan UU No 26 Tahun 2000 Pasal 43 Ayat (1) berkenaan penolakan melakukan penyidikan terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM berat. Juga (b) Surat Ketua MA No KMA/403/VI/2003 tertanggal 12 Juni 2003 perihal permohonan rehabilitasi kasus HAM masa lalu yang selanjutnya disarankan oleh DPR RI agar ditindaklanjuti oleh Presiden RI melalui Surat DPR KS.02/2947/DPR-RI/2003.

Kemudian, (c) Putusan MK No 001-017/PUU-I/2003 tertanggal 24 Februari 2004 yang menyatakan Pasal 60 Huruf g UU No 12 Tahun 2003 tentang pemilihananggota DPR, DPD, DPRD inkonstitusional karena diskriminatif terhadap para pemohon korban 1965, yang terhambat pelaksanaannya karena belum dicabutnya Keppres No 28 Tahun 1975. Selain itu, (d) usulan DPR RI kepada Presiden RI pada 28 September 2009 perihal pembentukan pengadilan HAM ad hoc bagi kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998, pencarian korban 13 orang hilang, pemberian rehabilitasi dan kompensasi bagi keluarga korban, serta perlunya ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa.

Dengan demikian, satu aspek penting dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah pemulihan hak-hak dasar korban melalui kompensasi dan rehabilitasi. Pemulihan itu menjadi tanggung jawab negara untuk mengurus dan menyelesaikannya. Di sini, pemulihan hak-hak dasar korbandilakukan melalui, pertama, kompensasi (ganti rugi). Dalam proses pemberian kompensasi ini tidak mudah karena keterbatasan keuangan negara, tuntutan para korban, kesulitan mengidentifikasi korban, dan lain-lain. Saya pikir, kompensasi itu harus tetap diusahakan antara lain melalui mekanisme hukum dengan menunjuk UU No 26 Tahun 2000.

Kedua, dilakukan pemulihan (rehabilitasi) hak-hak perdata korban. Ketiga, memberikan tunjangan sosial kepada para korban, dan lain-lain.

Pokok pikiran saya yang terakhir adalah berupa pengampunan (amnesti) para pelaku. Sehubungan dengan itu, saya berpendapat, pengampunan terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi bagian penting dari penyelesaian masalah tersebut. Dalam perspektif tanggung jawab negara, asumsi utama yang menjadi rujukan adalah negara mengambil alih semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh mereka yang dianggap sebagai pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Dengan dasar perspektif ini, ada tiga pendekatan (model) pengampunan (amnesti). Pertama, Kepala Negara sebagai representasi kepercayaan masyarakat memberi pengampunan secara umum terutama kepada mereka yang didakwa (diduga) telah melakukan pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang saat ini telah meninggal dunia.

Kedua, pengampunan berupa amnesti oleh Kepala Negara diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah dinyatakan bersalah oleh proses peradilan yang jujur dan bertanggung jawab. Ketiga, pengampunan secara sosial-budaya yang dilakukan anggota dan/atau kelompok masyarakat dengan difasilitasi oleh negara. Pendekatan ini merupakan rekonsiliasi sosial yangmemberi tanda (makna) penghentian konflik sosial masa lalu.

Pelanggaran HAM berat masa lalu harus dituntaskan penyelesaiannya secara adil dan bertanggung jawab. Bukan demi melupakan masa lalu, melainkanmengambil pelajaran dari pengalaman buruk masa lalu (Presiden SBY menyebutnya A burden of history) untuk dijadikan kekuatan menggalang kemajuan dan keadabanbangsa Indonesia di masa mendatang.
oleh; Albert Hasibuan
www.kompas.com

Cermin Sejarah dan Pemimpin Bangsa



Senin (10/8) pagi, Anhar Gonggong menerima kami dengan senyuman di ruang tamu rumahnya di bilangan Pondok Gede, Bekasi. Rambutnya tetap agak gondrong (belakangan Anhar bercerita, sejak menjadi mahasiswa, rambutnya sudah dibiarkan panjang).

Tubuhnya tipis menjulang, seolah bersaing dengan deretan rak-rak buku di dinding yang nyaris menyentuh langit-langit rumah. Di ruang tamu itu kami berbincang tentang sejarah, Indonesia, dan kepemimpinan. Tokoh dan pemimpin besar menggerakkan dan mengarahkan sejarah. Di Indonesia, para pemimpin dengan kekuatan bersama menciptakan kemerdekaan dan melahirkan negara bangsa.

Sebagai sejarawan politik, Anhar pun terpesona dengan para tokoh. Anhar pernah menulis buku tentang HOS Tjokroaminoto, tokoh nasionalis dan pemimpin Sarekat Islam. Anhar juga menulis tentang MGR Soegijapranata SJ, pemimpin gereja Katolik pertama di Indonesia dari kalangan pribumi. Ketika masa pemerintahan darurat di Yogyakarta, Soegijapranata, yang kisahnya telah diangkat sebagai film, mencatat berbagai peristiwa dan mengkritik aksi militer Belanda.

Anhar pun mendalami sosok kontroversial dan misterius Kahar Muzakkar yang identik dengan DI/TII pada 1950-an di Sulawesi Selatan. Disertasinya untuk meraih gelar doktor sejarah juga tentang Kahar. Bagi Anhar, sekalipun berbeda ideologi, cara pandang dan pendapat pemimpin sejati memiliki sejumlah karakter serupa.

Kepada siapa sebetulnya kita berutang budi atas lahirnya Republik Indonesia?

Pertama, kita paling berutang budi kepada generasi pergerakan nasional, mulai dari Soetomo (dokter dan salah satu tokoh pendiri organisasi pemuda Budi Utomo pada 20 Mei 1908) sampai Soekarno (proklamator). Orang-orang pergerakan itu adalah orang-orang terdidik yang tercerahkan. Andaikata cuma terdidik, dia bisa saja hanya bekerja dengan Pemerintah Belanda dan hidup enak. Soetomo seorang dokter, Soekarno itu insinyur, Hatta dengan gelar doktorandus ekonomi dari negeri Belanda, dan HOS Tjokroaminoto lulusan sekolah pamong praja, tentu berkesempatan untuk bekerja dengan Belanda. HOS Tjokroaminoto, misalnya, jika dia bekerja sebagai ambtenaar (pegawai negeri) sewajarnya saja, pada saatnya dia pasti akan mendapatkan posisi tertentu yang tinggi di mata pribumi. Namun, para pemimpin itu, Soekarno, Hatta, dan HOS Tjokroaminoto dan lain-lain, merevolusi dirinya terlebih dahulu, mereka tidak menikmati kehidupan kolonial. Dengan kecerdasannya, mereka melihat masyarakat menderita dan ingin mengubah itu. Itulah generasi yang melakukan revolusi mental.

Bagaimana dengan para pemimpin sekarang?

Dalam konteks sekarang, muncul juga pemimpin-pemimpin yang cerdas, tetapi banyak pula yang hati dan mentalnya beku. Orang-orang dengan gelar profesor dan doktor masuk penjara karena menjadi ”garong republik”.

Kepada siapa lagi kita ”berutang” demi kemerdekaan?

Kedua, republik ini dipertahankan dan dibangun oleh anak-anak muda. Ketika dokter Soetomo mendirikan Budi Utomo (organisasi pemuda), dia dan pendiri lainnya itu umurnya 18 hingga 20-an tahun. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada usia 26 tahun dan menulis artikel berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang sangat penting pada usia 25 tahun. Artikel itu yang diolah Soekarno menjadi Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme, sebuah konsep politik). Hatta juga sudah menulis ketika muda. Rata-rata ketika merdeka dan yang tampil sebagai Angkatan 1945 itu para pemuda, termasuk tentara pelajar dengan usia 15-16 tahun.

Bagaimana generasi penggerak itu terbentuk?

Pendidikan. Para tokoh pergerakan adalah orang-orang terdidik. Karena itu, posisi pendidikan penting. Tanpa pendidikan belum tentu kita merdeka. Ada kondisi tertentu pada saat itu, yakni pendidikan, digunakan untuk refleksi. Yang salah sekarang, pendidikan kita tidak mendorong untuk berefleksi. Kita menjadi sarjana, ya, sarjana. Kita segera cari pekerjaan bagi kepentingan diri, hidup enak, punya rumah besar, dan mobil. Orang lain, urusan amat. Dalam konteks sekarang, saya juga melihat terjadinya anarkis pendidikan. Ada kasus orang yang hanya kuliah enam bulan, setiap akhir pekan bisa jadi doktor, banyaknya jasa pembuatan skripsi hingga doktor, dan ijazah palsu. Kita butuh pendidikan yang mencerahkan otak dan mental. Hanya itu yang akan menyelamatkan Indonesia.

Lebih banyak pejabat

Anhar rela berseberangan pendapat dengan orangtuanya demi pendidikan. Setelah lulus SMA, Anhar diminta keluarga membantu usaha perdagangan kopra. Namun, Anhar menolak. Dia ingin melanjutkan pendidikan ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Berbekal sedikit uang, Anhar nekat pergi ke Yogyakarta sendiri. Keluarga Anhar marah besar sebelum akhirnya mereda tiga bulan kemudian.

Belajar dari para tokoh sejarah, menurut Anda, apa definisi pemimpin?

Saya mendefinisikan pemimpin itu sangat sederhana, yakni orang yang mampu melampaui diri. Indonesia sekarang tidak memiliki pemimpin, tetapi lebih banyak pejabat. Di partai, misalnya, yang ada adalah pejabat partai, bukan pemimpin. Sebagai contoh dari masa lalu, Haji Agus Salim (pemimpin Sarekat Islam). Dia hidup menderita. Pada waktu berjuang, dia gelar tikar di rumah kontrakan. Pagi hari dia bangun dan gulung lagi tikar itu. Begitu terus sampai Indonesia merdeka. Setelah kemerdekaan dan dia menjadi menteri, hidupnya pun tidak berlebihan (Agus Salim menjadi menteri luar negeri pada masa Kabinet Sjahrir II, Kabinet Amir Sjarifuddin, dan Kabinet Hatta periode 1946-1949). Mohammad Natsir, ketika jadi perdana menteri, jasnya masih ditisik.

Bayangkan pejabat sekarang, dapat mobil dan fasilitas. Itu saja masih korupsi. Pejabat tidak mampu melampaui diri dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Hal lain yang menonjol adalah banyaknya pencitraan diri. Sebuah negeri hanya akan bangkit kalau dia dikelola oleh pemimpin.

Karakter lain dari para pemimpin seputar zaman kemerdekaan adalah perkawanan dan kebesaran jiwa mereka. Mereka bisa berbeda ideologi, tetapi perkawanan secara pribadi sangat erat. IJ Kasimo (tokoh Partai Katolik) berkawan erat dengan Natsir (tokoh partai Islam, Masyumi). Bahkan, DN Aidit (tokoh Partai Komunis Indonesia) dan Natsir yang antikomunis bisa ”berkelahi” di Konstituante (lembaga yang bertugas menyusun UUD). Tetapi, begitu selesai rapat, Aidit datang mengambil kopi dan memberikannya kepada Natsir. Tidak salah untuk berbeda pendapat. Sekarang, antar-pengurus partai pun bisa gontok-gontokkan dan terpecah belah.

Jika memang kepemimpinan itu kini meluntur, apa sebabnya?

Sederhana saja, kita segera ingin menikmati kemerdekaan sehingga begitu merdeka segala fasilitas diambil dan lupa bahwa ada yang lebih besar dari sekadar SAYA.

Ancaman terbesar terhadap Republik Indonesia?

Korupsi. Keruntuhan kerajaan Ottoman salah satu faktornya adalah korupsi para elite kerajaan. Jika melihat ke belakang, kejatuhan Soeharto juga tak lepas dari isu korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga memunculkan istilah kroni-kroni Soeharto.

(Di dalam buku Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di harian Indonesia Raya 2 lewat tulisan berjudul ”Kebudayaan Korupsi Pasti Membawa Kehancuran” pada 5 Januari 1970, Mochtar Lubis juga mengingatkan bahaya korupsi. Di samping kekuatan dan unsur sejarah lain, korupsi memegang peran dalam keruntuhan kerajaan-kerajaan. Romawi tak hanya runtuh karena kekuatan baru dari utara dan timur Eropa, tetapi juga dari dalam negeri sendiri akibat meluasnya korupsi dan demoralisasi kalangan Caesar dan senator Romawi. Demikian pula rezim tsar Rusia dan rezim Louis XIV di Perancis).

Selain itu, juga harus dipahami dalam proses meng-Indonesia itu, kita berbeda-beda. Papua baru mengenal Indonesia pada 1946 ketika Sam Ratulangi (tokoh intelektual dan pergerakan) dibuang ke Papua (Serui). Sumatera dan Jawa, misalnya, lebih dulu meng-Indonesia. Dengan adanya proses yang berbeda ini, dibutuhkan kebijaksanaan dalam para pemimpin di Indonesia. Pancasila yang dirumuskan bagi seluruh rakyat Indonesia itu dapat menjadi pegangan. Ketika bicara keadilan sosial, misalnya, harus tuntas hingga kalimat ”bagi seluruh rakyat Indonesia”, bukan hanya adil bagi sebagian orang.

Pada pengujung perbincangan itu, Anhar dengan semangat bercerita tentang agendanya pada peringatan kemerdekaan. Pagi buta, dia berencana meluncur ke sebuah SMA swasta di bilangan Kepala Gading, Jakarta Utara. Anhar didaulat menjadi pembina upacara dan menyampaikan pidato. Dia begitu antusias. Setiap kali berhadapan dan berbicara dengan anak muda, saat menjadi guru ataupun dosen, Anhar selalu teringat bahwa dia tengah berdialog dengan masa depan dan berharap di antara mereka kelak lahir pemimpin sejati.


Indira Permanasari
www.kompas.com

Cinta Buku

Saya lebih suka membaca buku daripada main gadget. Gadget membuat daya otak menurun,” kata Feby. Sepekan ini, Feby sibuk dengan promosi film terbarunya, Kapan Kawin?. Namun, ia masih sempat menghadiri sebuah acara peluncuran buku.

Buku paling disukai Feby adalah novel meski ia juga suka membaca buku lain. Saat ini, ia sedang gemar membaca buku-buku traveling.

Saat bepergian pun, kalau sedang ada waktu kosong, ia akan menggunakannya untuk membaca. Yang jelas, tidak ada hari bagi Feby tanpa buku bacaan di tasnya.

Karena kurang suka dengan gadget, tidak mengherankan jika Feby bisa sangat terlambat membaca pesan singkat (SMS) atau WhatsApp. Ia tidak setiap kali membuka-buka gadget. ”Kadang-kadang sampai tiga hari saya baru buka pesan,” ujarnya.

Perempuan yang sudah bercerai dengan Bruce Nicholas ini juga suka menulis. Namun, ia enggan membuat buku biografi tentang kisah hidupnya sendiri.

”Lebih menarik menulis kisah fiksi karena imajinasinya bisa dikembangkan ke mana-mana. Kalau kisah hidup, mah, mending masuk buku diary saja. Mungkin karena kisah hidup saya kurang menarik,” tutur Feby.
www.kompas.com

Menghubungkan Masa lalu, Kini dan Nanti

Mengenang, menggali, dan menghidupkan kembali budaya kreativitas masa lalu adalah kebiasaan baik dan penghormatan pada usaha manusia. Apakah itu leluhur suku tertentu ataupun bangsa tertentu dengan segala perbedaan dan kesamaannya adalah cermin usaha manusia untuk merayakan kehidupan. Merupakan upaya untuk menghargai apa yang sudah dilakukan para perintis demi mencapai kualitas kehidupan yang manusiawi dan selaras dengan alam.

Sejatinya merayakan kekayaan peninggalan budaya dan peradaban manusia atau hasil kreativitas adalah sikap yang harus dihargai oleh siapa pun. Tanpa memilah-milah sedemikian rupa untuk mengunggulkan satu dan merendahkan lainnya. Apalagi jika mengingat bagaimana kita membutuhkan kehidupan dalam kebersamaan demi kesatuan umat manusia yang terancam terpecah belah dan saling menghancurkan. Entah karena perbedaan ideologi, keyakinan, kebudayaan, ataupun sekadar kebiasaan. Namun, bisa membawa petaka memilukan: perseteruan, perang, dan kehancuran kehidupan yang seperti bisa kita saksikan terjadi di berbagai tempat dan pelosok bumi saat ini. Bagaimana manusia bisa menjadi kejam dan tega, tidak hanya terhadap sesama, tetapi juga pada makhluk lain dan planet bumi yang menjadi rumahnya.

Kenyataan

Indonesia tentu tidak terkecuali dalam hal ini. Perpecahan kalangan elite politik dan usaha mereka untuk melindungi diri dari ancaman hukum dan memelintirnya karena mungkin terlibat kasus korupsi adalah sebuah kenyataan yang harus diwaspadai. Bagaimana manipulasi wacana politik yang awalnya terdengar mulia dan diwarnai janji tanggung jawab untuk kesejahteraan bangsa bisa berubah. Dalam kenyataannya menjadi sekadar cara untuk mencari dukungan demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Begitu pula dengan laku berbisnis yang tak bertanggung jawab yang telah mengakibatkan hancurnya lingkungan hidup. Mengakibatkan nyaris punahnya hutan tropis kedua terbesar di dunia karena keserakahan pengusaha dan praktik korupsi aparat pemerintah. Menghilangkan lahan hidup masyarakat adat yang juga berarti meluluhlantakkan budayanya. Juga telah menyumbang permasalahan lain, seperti polusi udara, air, dan tanah. Selain itu, juga menambah emisi karbon yang akan memperparah pemanasan global dan perubahan cuaca. Akhirnya akan menyengsarakan bukan saja orang Indonesia, melainkan juga seluruh penghuni planet ini. Karena dalam kenyataannya kita hidup dalam keterkaitan antara satu dan lainnya. Ya, sudah saatnya ide ”kedaulatan nasional” kini diperlebar lagi pemaknaannya.

Begitulah, betapa luas dan rumitnya permasalahan kehidupan hari ini. Dipicu oleh sistem keuangan dan industri yang pada awalnya bertujuan untuk menyejahterakan kehidupan lewat modernisasi yang lahir dari masa ”pencerahan”. Manusia kini dihadapkan pada kenyataan bahwa usahanya untuk kebaikan tidak selalu berhasil dan malah justru membawa bahaya atau bahkan petaka. Demikian manusia tak luput dari kesalahan dan harus menanggung akibatnya.

Krisis demi krisis keuangan global maupun regional telah membuat kehidupan menjadi tanpa kepastian. Harga barang kebutuhan terus merambat naik, sementara ekonomi perlahan mengalami stagnasi atau bahkan penurunan. Jurang antara si kaya yang minoritas dan si miskin yang mayoritas menjadi makin lebar dan menganga. Mengakibatkan masalah ketidakadilan sosial yang sangat serius dan mengancam hancurnya kerekatan. Korban banyak berjatuhan dan mengakibatkan arus pengungsian yang amat besar ke berbagai tujuan. Menimbulkan masalah sosial politik yang rumit dan berpotensi memicu persoalan yang lebih gawat seperti ambil contoh apa yang terjadi di Myanmar, di mana umat Islam dan Buddha seakan menjadi bermusuhan.

Peringatan

Semua masalah ini adalah peringatan lebih dari cukup yang harus segera kita tanggapi. Amat sulit memang membayangkan bagaimana mencari solusi dari masalah yang sedemikian rumit ini. Dibutuhkan eksplorasi kreatif yang tak hanya dibatasi oleh kegiatan seni biasa, tetapi yang bersifat trans-disiplin. Dalam hal ini pun tidak dibatasi oleh praktik yang sudah dikenal selama ini. Perlu dibuat terobosan lebih jauh di mana pada dasarnya semua elemen dalam masyarakat bisa diajak berdialog dan bekerja sama.

Cara dan metode ”kuno” yang bersifat konfrontatif—biasanya dilakukan pada penguasa atau mereka yang di posisi kuat—mungkin dalam konteks hari ini sudah tidak efektif lagi. Karena memang sering kali hanya menjadi kegiatan sebatas wacana kalaupun bukan pemicu kekerasan dan perpecahan! Inilah tantangan garda depan yang utamanya harus dihadapi dalam kebersamaan oleh seniman, ilmuwan, dan rohaniwan. Memadukan dengan cara kreatif bidang dan keahlian berbeda dalam kesetaraan. Menghormati perbedaan tetapi sekaligus mampu melihat persamaan yang akan menjadi penghubungnya. Dengan demikian, segala potensi dan kemungkinan bisa diberdayakan tanpa dihambat oleh tembok pemisah berupa keangkuhan kekhususan bidang masing-masing.

Kembali ke kebudayaan kreatif masa lalu sebagai sebuah contoh model di mana elemen-elemen tersebut di atas bersatu-padu dalam usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Bisa dilihat dari peninggalan-peninggalan masa lalu yang tergambarkan di candi-candi kuno, baik yang dibuat dari batu maupun terakota atau tembikar yang juga dikenal dengan nama gerabah. Misalnya, rumah peribadatan kuno gerabah yang paling tua di Nusantara sampai sejauh yang sudah ditemukan adalah candi Batu Jaya di Jawa Barat (dibangun pada abad ke-4 hingga ke-5 Masehi). Ini bisa dijadikan contoh bagaimana ilmuwan, rohaniwan, teknokrat, dan seniman bekerja sama mewujudkan wadah yang menjadi tempat mengolah kehidupan, baik pada tataran spiritual, mental, maupun intelektual secara terintegrasi.

Sekalipun tempat ini diciptakan dengan teknologi awal yang sederhana, tak mengurangi nilai dan sistem budaya yang mengintegrasikan segala potensi manusia untuk bisa menjadikan kehidupan lebih beradab dan bermartabat. Hal ini bisa dijadikan bahan renungan di dalam konteks budaya dan peradaban modern yang kini menjadi melenceng dari apa yang diharapkan oleh para pembaru di zaman pencerahan. Yang justru malah menimbulkan petaka bagi umat manusia dan merisikokan kehidupan.

Dalam lingkup dan konteks hari ini kita bisa mulai dengan hal sederhana, semisal memulai kembali menghayati cara berkreasi gerabah (tembikar) atau terakota ini. Yang bersifat ramah lingkungan dan murah sehingga bisa dimanfaatkan dan dilakukan siapa saja. Tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku, bangsa, maupun warna kulit. Dengan cara kerja yang bersifat komunal, orang bisa kembali mempelajari dan menghayati kehidupan yang alami dalam kebersamaan dan keterkaitan. Selain memahami sejarah/sejarah budaya, teknologi, aspek sosial politik, aspek ekonomi, dan antropologi budaya secara umumnya, juga tentunya menyadari kenyataan bahwa alam kini cenderung hanya dipandang sebagai obyek belaka.

Demikian perhelatan seni Biennale Terakota di Desa Kasongan, Bantul, DI Yogyakarta, yang digagas oleh Noor Ibrahim dan Iwan Wijono telah membuka cakrawala kreativitas yang lebih luas. Masa lalu dan kuno yang sering dianggap kurang penting karena tidak tampak secanggih yang kini bisa dibongkar dan didayagunakan lalu dihubungkan dengan masa kini. Dengan demikian, fantasi dan imajinasi manusia bisa diaktifkan untuk secara leluasa memasuki masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Yang akan memacu lebih jauh kreativitas tanpa meninggalkan akar budaya serta penghargaan atas keberlimpahan dan keramahan alam.

Presiden Pastikan Penuntasan Kasus Masa Lalu



"Sudah ada pertemuan, tetapi, kan, perlu tindak lanjut. Ditunggu saja, saya pastikan akan kita selesaikan, tetapi satu per satu," ujar Presiden kepada wartawan di sela-sela kunjungan kerja di Sulawesi Utara, Kamis (28/5).

Mengenai bentuk penyelesaiannya seperti apa, Presiden Jokowi menyatakan hal itu masih dalam proses. "Ini sedang proses, enggak bisa menyelesaikan sendiri. Itu harus berbicara baik dengan keluarga, Komnas HAM, Kemenkumham, maupun Menko Polhukam. Semuanya harus duduk bersama. Nanti kalau sudah final, baru ke saya," kata Presiden.

Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membuka ruang bagi korban dan keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat masa lalu untuk memberikan masukan penyelesaian perkaranya. Kendati demikian, langkah non-yudisial tetap menjadi pegangan untuk menuntaskan kasus yang sudah menggantung selama bertahun-tahun.

"Kami menyadari ada keberatan dari korban dan keluarga korban. Tetapi, kami telah memberikan penjelasan kepada mereka. Sebab, langkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu ini harus melibatkan banyak pihak sehingga perlu ada jalan tengah," kata komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah, di Jakarta, kemarin.

Stigmatisasi 

Ia menambahkan, rekonsiliasi bukan sesuatu yang mudah diterima oleh keluarga korban dan korban dari perkara ini. Oleh karena itu, sesuai masukan mereka, upaya rehabilitasi juga akan dilakukan. Pasalnya, selama ini para korban dan keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kerap menerima stigmatisasi dari masyarakat.

Hal itu dialami salah seorang korban Peristiwa 1965-1966, Tumiso. Ia mengungkapkan, tidak hanya dirinya, keturunannya pun mengalami kesulitan ketika ingin melanjutkan hidup.

"Ada cap bahwa kami ikut dalam peristiwa tersebut. Selanjutnya, anak-anak kami cari kerja saja susah, terutama saat ingin berkarier sebagai pegawai negeri," kata Tumiso.

Jaksa Agung HM Prasetyo menjelaskan, dengan langkah non-yudisial yang akan diambil, bukan berarti pemerintah ingin lari dari masalah. Sebab, pengungkapan kebenaran tetap akan dilakukan dan hasilnya akan diberitahukan kepada para korban dan keluarga korban. Ia menjamin kejadian serupa tak akan terjadi lagi di kemudian hari.

Saat ini, tim gabungan yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno belum membahas detail enam kasus yang akan diselesaikan dengan langkah non-yudisial ini. Enam kasus itu adalah kasus peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; Talangsari di Lampung (1989); penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; serta peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

"Belum dilihat kasus per kasus. Nanti akan ditelaah lagi seperti apa. Tetapi, sekali lagi, rekonsiliasi ini tawaran solusi yang memungkinkan," kata Prasetyo.

Ia menambahkan, dari beberapa jaksa agung, hasil penyelidikan selalu bolak-balik dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM. "Kenapa bolak-balik? Karena memang belum lengkap. Jika belum lengkap, kejaksaan juga tak bisa meningkatkan ke penyidikan. Komnas HAM memahami hal tersebut. Untuk itu, agar tak ada beban sejarah lagi, diambil langkah seperti ini," ujar Prasetyo.


www.kompas.com

Membaca sebagai Jendela untuk Melihat Dunia

Perhatian kita lebih terarah pada isu-isu aktual yang lain. Sebut saja, misalnya, kini publik sedang penasaran, apakah Presiden Joko Widodo benar-benar akan me-reshuffle Kabinet Kerja yang dibentuk pada 27 Oktober 2014. Menteri mana saja yang akan diganti. Sementara itu, soal buku menjadi perbincangan nomor sekian.

Perbincangan publik soal buku sebenarnya terjadi. Setidaknya dari percakapan di Twitter, salah satu media sosial yang paling aktif memperlihatkan perhatian publik. Namun, selama sehari pada 17 Mei lalu, jumlah cuitan terkait buku masih minim. Dari yang tidak banyak itu, sebagian besar diunggah oleh akun-akun penerbit, bukan khalayak ramai.

Apakah kita cenderung menyepelekan buku? Mungkin tidak sepenuhnya demikian. Soalnya, memang belum ada usaha serius bersama untuk mempromosikan hari penting ini. Apalagi, Hari Buku Nasional cukup muda, baru dicanangkan pada 2010.

Kondisi sepi ini justru menggambarkan keadaan kita senyata-nyatanya. Kita memang belum terlalu serius memuliakan buku. Ini tantangan yang mesti kita jawab dengan aksi nyata.

Penetapan

Sekadar mengingatkan, Hari Buku Nasional ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar pada 2010. Tanggal 17 Mei mengacu pada tanggal pendirian resmi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 1980. Kebijakan itu diambil demi lebih memopulerkan buku kepada masyarakat, meningkatkan daya baca, sekaligus mencerdaskan bangsa lewat buku.

Penetapan ini berangkat dari fakta memprihatinkan terkait minat baca di Indonesia yang masih rendah. Pada 2012, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca.

Perpusnas melansir data serupa terkait jumlah buku yang dibaca masyarakat Indonesia yang sangat rendah dibandingkan negara lain. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN, selain Indonesia, yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun.

Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku per tahun. Saat bersamaan, warga Jepang membaca 10-15 buku setahun.

Masih menurut Perpusnas, Indonesia hanya memiliki terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Ini jumlah kecil dibandingkan penduduk kita yang sekitar 250 juta orang. Artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang. Meski masih perkiraan, angka ini tentu memprihatinkan.

Buku adalah jendela ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan, kita bisa mempelajari berbagai hal serta mengembangkan diri. Buku yang menuntun kita menjelajah berbagai kemungkinan dalam kehidupan ini memandu untuk mengatasi bermacam persoalan, mendorong penemuan, dan membangun peradaban manusia yang lebih maju.

Bangsa yang maju adalah bangsa yang membaca buku. Sebaliknya, kian rendah daya baca masyarakat, kian sulit bangsa itu maju. Ingat saja pernyataan terkenal penyair kelahiran Amerika Serikat yang kemudian hijrah ke Inggris, TS Eliot (1888-1965), "Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca." Dengan demikian, jika ingin Indonesia yang lebih maju, kita perlu meningkatkan daya baca buku.
Rumusan ini mudah diucapkan, tetapi perlu kerja keras untuk diwujudkan. Penyebabnya, meski sudah 70 tahun merdeka, angka melek huruf kita masih rendah. Program Pembangunan PBB (UNDP) merilis, angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sebagai perbandingan, angka melek huruf di negeri jiran kita, Malaysia, mencapai 86,4 persen. Hal ini terkait dengan pendidikan kita yang masih belum maju. Sebagai gambaran, berdasarkan data UNESCO, Indonesia berada di urutan ke-69 dari total 127 negara dalam indeks pembangunan pendidikan UNESCO.

Tantangan kian berat karena masyarakat kita sekarang mulai mengenal teknologi informasi yang semakin canggih dan menawarkan hiburan yang memikat, khususnya televisi dan internet. Sebagian masyarakat lebih tergoda menonton televisi atau berselancar di dunia maya ketimbang membaca buku. Memang ada temuan teranyar, yaitu buku digital, tetapi jumlahnya masih terbatas. Itu pun rata-rata hanya bisa diakses di perkotaan.

Meningkatkan daya baca

Bagaimana cara meningkatkan daya baca masyarakat Indonesia? Ada beberapa program yang layak kita jalankan.

Pertama, kita perlu memperbaiki kualitas dan pemerataan pendidikan agar bisa mendorong tingkat melek huruf yang lebih tinggi. Infrastruktur (fasilitas) dan suprastruktur (sumber daya manusia) perlu dikembangkan hingga menjangkau pelosok Tanah Air. Jangan sampai ada masyarakat di pedalaman Nusantara yang masih sulit belajar gara-gara tidak ada sekolah, kekurangan guru, atau minim fasilitas lain. Negara bertanggung jawab memenuhi fasilitas pendidikan bagi warganya.

Kedua, kita bangun lebih banyak perpustakaan di semua daerah sebagai tempat yang nyaman untuk membaca, jumlah koleksi buku yang banyak, dan menawarkan kegiatan yang menarik. Ketiga, dibutuhkan program-program berkelanjutan untuk lebih memperkenalkan buku dan mendorong minat baca buku ke sekolah dan masyarakat umum. Jangan terpaku pada seremoni, tetapi fokus pada terobosan yang lebih membumi dan memikat kaum muda untuk membaca.

Keempat, dari sisi penerbit, kita dorong agar semakin banyak buku diterbitkan, terutama buku-buku yang berkualitas dari berbagai bidang. Kian banyak tawaran buku menarik, kian banyak alternatif bacaan bagi masyarakat.

Kelima, kita dukung kekuatan masyarakat madani untuk bersama-sama pemerintah dan semua pihak membangun peradaban membaca buku. Bentuknya bisa berupa pendirian taman bacaan hingga ke pelosok Nusantara, program pendorong membaca, atau langkah-langkah lain yang mungkin diambil untuk memprovokasi kaum muda agar mencintai buku.

Para aktivis media sosial, seperti Twitter atau Facebook, juga perlu dirangkul untuk lebih sering mengunggah rangsangan membaca buku. Kita ingatkan bahwa bangsa Indonesia lahir berkat perjuangan para pemimpin setelah melihat realitas kehidupan masyarakat terjajah serta terinspirasi dari gagasan kemerdekaan bangsa yang dibaca dari buku-buku.

Dalam hal ini, buku dianggap sebagai "jimat" yang membuat Mohammad Hatta kuat menjalani tekanan pemerintah kolonial Hinda Belanda saat itu. Bung Hatta pernah berkata, "Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena, dengan buku, aku bebas."

Saat diasingkan di Boven Digoel, pedalaman Papua, tahun 1934, Bung Hatta bahkan menulis buku Alam Pikiran Yunani. Saat menikah, buku itu pula yang menjadi mas kawin Hatta untuk istrinya, Rachmi Rahim.
Salah satu proklamator Republik Indonesia itu telah memberi teladan mencintai buku. Bagaimana dengan kita, bangsa Indonesia, yang menikmati kemerdekaan yang ia perjuangkan?

Kenangan Membaca, Kenangan Berpikir

Tanda-tandanya sudah tampak kini. Dengan apa yang dikenal luas sekarang dengan sebutan Twitter, orang tak perlu berpikir keras sebelum mengutarakan sesuatu. Cukup secara spontan dan segera: nyeletuk. Yang berkuasa adalah ucapan yang paling banyak, bukan truth, kasunyatan, kesejatian, yang memang sering tak terucap. Tak ada suaranya, seperti angin. Kita hanya melihat kehadirannya lewat daun yang bergerak. Mengutip sajak Darmanto Jatman di masa lalu: ”...seperti lidah, di mulut tak terasa/seperti jantung, di dada tak teraba.”

Dunia kini melulu dikuasai keberisikan, bukan keheningan berpikir. Praktisnya: ngomong dulu berpikir kemudian. Tanda tangan dulu, berpikir belakangan. Kerja, kerja, kerja. Lha, berpikirnya mana. Jadi ingat, kata-kata para editor koran di masa lalu. Kepada reporter, mereka mengingatkan: ketika kalian pulang ke kantor, tulisan harus sudah jadi.

Maksudnya bukan kami disuruh menyerahkan kertas berisi tulisan yang telah beres begitu sampai kantor, di zaman mesin ketik itu. Melainkan, proses eksplorasi dan pencarian berita adalah proses gagasan. Saat naik bus kota atau mengendarai Vespa pulang ke kantor usai tugas lapangan, hasil wawancara, pengamatan, dan lain-lain telah kami olah dan sintesiskan dalam pikiran kami. Struktur tulisan telah terbentuk di otak. Dengan kata lain, sebelum mengetik, tulisan telah selesai. Kami cepat dan akurat, dalam zaman teknologi yang lelet, lambat, tidak sebergegas sekarang.

Itu pula ironinya. Di zaman dengan teknologi informasi yang memungkinkan orang melakukan segala sesuatu serba cepat—bercinta pun dengan tergopoh-gopoh—berita justru tidak selesai. Bukan saja tidak selesai sebelum ditulis, bahkan belum selesai setelah terpublikasikan. Persis berbagai keputusan yang memiliki implikasi serius terhadap kehidupan publik. Banyak keputusan minus pemikiran. Dalam dunia politik, tak ada lagi pergulatan ideologi. Yang ada perebutan kekuasaan. Kajian politik menyangkut ideologi dan pemikiran digantikan talk show berisi gosip politik. Untung dulu tak jadi susah-susah kuliah ilmu politik.

Terus terang, dengan surutnya kebiasaan membaca buku, saya melulu melihat hal-hal yang bakal hilang, belum menemukan apa yang bakal menjadi gantinya. Proses membaca buku berbeda dengan proses membaca di layar laptop atau berbagai perangkat digital canggih sekarang. Membaca melalui layar komputer, istilahnya hiperteks, berbeda prosesnya di otak dibanding dengan membaca buku, dalam hal ini disebut pembacaan secara linear.

Pada pembacaan hiperteks, orang meloncat ke sana-kemari, tidak fokus ke satu hal. Belum lagi kalau kita bicara cara kerja saraf-saraf sensorik tubuh. Dalam pembacaan dengan teknologi digital, sistem sensor dan kognitif kita berubah karena stimulus yang bersifat repetitif, intensif, interaktif, dan adiktif (membuat kecanduan). Lihat sendiri: kalau pasangan Anda kecanduan peranti digital, susah dia diajak ngomong. Sadarkan dia, bukan buru-buru cari ganti.

Menggalakkan kebiasaan membaca (buku) kini menemukan signifikansi baru. Dia bukan hanya upaya memberantas iliterasi, tetapi juga menyelamatkan otak. Kenangan Desember lumayan, jadi ingat diri penyanyi Arie Kusmiran. Kalau membaca dan berpikir tinggal kenangan, kita kehilangan diri.

www.kompas.com

Popularitas Perpustakaan Semakin Pudar Dilibas Digital

Selama beberapa tahun terakhir, minat masyarakat untuk mengunjungi perpustakaan terus turun. Hal itu setidaknya tampak dari merosotnya jumlah kunjungan masyarakat ke Perpustakaan Nasional selama lima tahun terakhir.

Perpustakaan terbesar dan memiliki koleksi paling lengkap di Indonesia itu rata-rata hanya dikunjungi 403.000 orang per tahun. Kondisi ini jauh di bawah negara Singapura. Di negara tetangga yang jumlah penduduk jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Indonesia itu, Perpustakaan Nasional-nya dikunjungi lebih dari 1 juta orang per tahun.

Rendahnya kunjungan masyarakat ke perpustakaan juga terlihat di perpustakaan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dalam lima tahun terakhir, pengguna jasa perpustakaan daerah sekitar 400.000 orang. Sementara penikmat perpustakaan keliling yang dikelola Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DKI Jakarta hanya sekitar 200.000 orang per tahun. Padahal, Pemprov DKI Jakarta tiap tahun terus menambah jumlah koleksi buku- buku di perpustakaan tersebut.

Selaras dengan hasil jajak pendapat ini, kultur membaca dan berkunjung ke perpustakaan memang masih minim. Meski mayoritas publik jajak pendapat ini mengaku pernah mengunjungi perpustakaan di daerahnya, intensitasnya sangat jarang. Sebagian terbesar responden mengaku kunjungan ke perpustakaan dilakukan hanya pada saat masih sekolah dan ketika mengerjakan tugas dari sekolah.

Jika dicermati, pengakuan itu paralel dengan tingkat pendidikan publik. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden, semakin besar pula intensitas kunjungan ke perpustakaan.

Selain berkompetisi dengan teknologi digital yang bisa diakses melalui gawai, rendahnya minat berkunjung ke perpustakaan antara lain juga dipengaruhi oleh belum memadainya akses masyarakat ke perpustakaan. Setidaknya hal ini tergambar dari pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas.

Lebih dari separuh responden yang berhasil dirangkum pendapatnya menilai saat ini perpustakaan di daerah tempat tinggal mereka belum bisa diakses secara bebas oleh masyarakat umum. Sebagian pengelola perpustakaan masih mensyaratkan keanggotaan jika masyarakat ingin mengakses atau meminjam buku di perpustakaan.

Minat baca rendah

Selain itu, minat baca masyarakat masih dianggap rendah. Setiap tiga dari empat responden menilai minat baca, terutama kalangan remaja, masih rendah. Rendahnya minat baca di negeri ini juga tecermin dari kebiasaan membaca buku masyarakatnya.

Meski angka melek huruf Indonesia telah mencapai 93 persen, kebiasaan membaca buku di antara warga masyarakat masih rendah dibandingkan dengan penduduk di beberapa negara Asia lainnya. Rata-rata lama membaca buku warga Indonesia hanya enam jam per minggu. Sementara di India rata-rata lama membaca warganya sepuluh jam per minggu, Thailand sembilan jam, dan Tiongkok delapan jam per minggu.

Tak hanya itu, Survei Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) tahun 2012 menyebutkan, kebiasaan membaca masyarakat Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan warga negara Asia lain.

Hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia memiliki minat baca serius. Rata-rata membaca buku penduduknya pun kurang dari 1 judul buku per tahun, sementara penduduk Jepang setiap tahun membaca 10-15 judul buku. Sementara orang Amerika sebanyak 20-30 judul buku per tahun.

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan minat baca masyarakat adalah dengan mencanangkan bulan gemar membaca yang diselenggarakan pada bulan September. Tanggal 14 September pun ditetapkan sebagai hari kunjungan perpustakaan.

Namun, upaya ini cenderung terkesan sebagai gerakan seremonial semata. Hari Kunjungan Perpustakaan diperingati oleh perpustakaan di seluruh Indonesia dengan menggelar berbagai kegiatan seperti pameran, perlombaan yang bertujuan mempromosikan berbagai koleksi, produk, dan layanan yang dimiliki, serta kegiatan yang menumbuhkan minat baca.

Publik melihat dari kacamata yang lain. Harus ada upaya yang lebih nyata dari pemerintah untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Sebagian terbesar responden dalam jajak pendapat ini, misalnya, mendorong pemerintah untuk mewajibkan masyarakat, khususnya pelajar, untuk mengunjungi perpustakaan. Setidaknya upaya ini dapat menggugah kembali kesadaran masyarakat akan pentingnya perpustakaan sebagai salah satu sumber informasi, sarana belajar, dan sarana rekreasi ilmiah.

Fungsi perpustakaan

Perpustakaan menjadi sarana dan prasarana penting untuk mendorong minat baca masyarakat. Secara umum, perpustakaan memiliki empat fungsi, yakni pertama sumber informasi yang menyimpan karya cetak, seperti buku, majalah, dan sejenisnya serta karya rekaman, seperti kaset, piringan hitam, dan sejenisnya. Perpustakaan juga menjadi sarana pendidikan dan pembelajaran nonformal dan informal. Artinya, perpustakaan menjadi tempat belajar ideal di luar sekolah. Selain itu, perpustakaan juga bisa menjadi sarana rekreasi. Perpustakaan sebagai tempat untuk menikmati rekreasi kultural dengan cara membaca. Fungsi penting lain dari perpustakaan adalah sebagai penunjang kegiatan penelitian.

Pentingnya fungsi perpustakaan itu secara tak langsung disadari oleh publik. Jajak pendapat ini merekam harapan publik akan pentingnya perpustakaan di lingkungan mereka. Sedikitnya empat dari setiap lima responden yang berhasil diwawacarai mengaku perlu dibuatkan perpustakaan bagi warga di sekitar tempat tinggal mereka. Selain bisa menumbuhkan minat baca masyarakat, perpustakaan juga diharapkan dapat memperkaya pengetahuan warga.

Untuk mendorong antusiasme masyarakat berkunjung ke perpustakaan, idealnya perpustakaan perlu dikelola secara partisipatif oleh masyarakat. Jika memungkinkan, adanya fasilitas kehadiran pustakawan bisa menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menarik dikunjungi karena koleksinya dikelola oleh profesional.

Atau dengan kata lain, ada keselarasan antara kehadiran perpustakaan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Jika hal itu dapat diupayakan, direalisasikan, dan dikelola dengan baik di tingkat komunitas, perpustakaan dapat diberdayakan sebagai salah satu tempat untuk mencerdaskan masyarakat.

www.kompas.com