Sabtu, 29 Agustus 2015

Pasal Penghinaan Presiden

Debat soal isu pasal penghinaan presiden sudah muncul sejak inisiatif itu mencuat. Revisi UU KUHP dan KUHAPtentang pasal tersebut sudah diajukan kepada DPR sejak 2009. Ketika itu, banyak pihak, termasuk pula para politikus dari ”partai oposisi” PDIPmenolak keras usulan revisi tersebut. Saat itu banyak yang menyebut apabila pasal tersebut akan mengakibatkan kemunduran birokrasi dan memunculkan penjilat-penjilat.

Jika kemudian saat ini muncul lagi inisiatif revisi atas pasal kontroversial itu, tentu harus pula dirunut lagi dengan jernih, mengapa pasal yang sudah pernah menjadi kontroversi itu harus ”dikontroversikan” lagi alias dimunculkan lagi? Jika dahulu ditolak, tentu sudah ada alasan- alasan, argumen, kajian, dan solusi- solusi atas ketidakhadiran pasal itu dalam KUHP dan KUHAP. Dari sisi itu saja, debat saat ini terasa konyol.

Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 yang disiapkan pemerintah menyebutkan bahwa ”setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”

Ayat selanjutnya menjelaskan, ”tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.” Kritik pertama harus diajukan kepada para politikus yang tidak konsisten dan hanya berprinsip pada kepentingan rezim yang dibelanya.

Ketidakkonsistenan itu tidak hanya terjadi pada perdebatan terkait isu pasal penghinaan presiden, tetapi juga pada banyak hal menyangkut kebijakan publik. Negara seperti selalu mulai dari nol untuk setiap persoalan sehingga sulit untuk bergerak maju karena hanya berdasarkan kepentingaan sesaat.

Terkait pasal penghinaan presiden, ada kecurigaan cukup kuat apabila keinginan revisi itu muncul karena lingkaran kekuasaan tidak tahan lagi menyaksikan, mendengar, atau membaca komentar-komentar yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.

Perkembangan komunikasi melalui media sosial ikut mendorong perilaku komunikasi yang kebablasan, kebebasan berpendapat tidak dilandasi etika dan kesantunan. Itulah pokok persoalannya. Dinamika komunikasi dewasa ini membutuhkan penanganan yang komprehensif.

Penggunaan kekuatan hukum boleh-boleh saja, tetapi perlu diperkuat dengan pendekatan sosiologis. Pada era keterbukaan informasi yang tidak terbatas saat ini, penerapan pasal penghinaan bakal dikritik sebagai tameng diktatorial. Para penghujat atau penghina itu sebaiknya cukup ditindak dengan UU yang berlaku. Penerapan pasal karet lebih banyak merugikan demokrasi.


http://berita.suaramerdeka.com/

Ditunggu, Sumbangsih NU dan Muhammadiyah

Sebagai organisasi sosial terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) tampil sebagai salah satu kekuatan sipil yang mempunyai peran besar dalam menopang eksitensi negara Indonesia. Sebagai pendiri NU dan Muhammadiyah, KH Hasyim Asyíari dan KH Ahmad Dahlan adalah dua sahabat yang pernah dalam satu pesantren yang sama di bawah asuhan KH Sholeh Darat.

Ketika sudah selesai belajar di pesantren dan pulang untuk berdakwah, objek dakwahnya berbeda, maka cara dakwahnya pun berbeda pula.

Kelahiran Khittah NU sebagai garis, nilai, dan jalan perjuangan ada bersamaan dengan tradisi dan nilainilai di pesantren dan masyarakat NU. Sedangkan dakwah Muhammadiyah lebih kontemporer dalam pemberdayaan ekonomi umat. Sekarang, warga binaan kedua ulama tersebut telah berkembang dan mempunyai jamaah berjuta-juta di negeri ini.

NU telah menjelma menjadi salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia dan dalam perjalanan negeri ini, komitmen NU untuk negara tidak diragukan lagi dalam menjaga keutuhan NKRI. Para ulama NU telah sukses mengawal perjalanan negara dengan baik sampai detik ini. Tata kelola organisasi pun dalam berdakwah lebih tertata dengan baik dan dipertanggungjawabkan semua aktivitas dakwahnya dalam sebuah muktamar.

Muktamar tersebut berfungsi sangat penting dan strategis, karena tidak hanya membahas program-program NU ke depan, melainkan juga berkaitan erat dengan proses pergantian kepemimpinan (suksesi). KH Sholahudin Wahid, KH Asíad Ali, KH Said Aqil Siroj, dan Muhammad Adnan MA adalah figur-figur terbaik yang dimiliki NU dalam Muktamar Ke-33 di Jombang.

Sedangkan Muhammadiyah melaksanakan Muktamar Ke-47 di Makassar dalam kepemimpinan yang berbeda mulai dari era KH Ahmad Dahlan, KH Ibrohim, KH Hisyam, KH Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusuma, Buya AR Sutan Mansyur, HM Yunus Anis, KH Ahmad Badawi, KH Faqih Usman, KH AR Fachruddin, KH Azhar Basyir MA, Prof Dr Amien Rais hingga Prof Dr Din Syamsuddin. Setiap pemimpin Muhammadiyah sukses dengan ciri khas masing-masing dalam memperdayakan umat.

Kedua muktamar ini hendaknya jangan hanya dimaknai sebagai ajang pergantian pengurus. Muktamar memiliki pesan dan tujuan yang jauh lebih mulia dari sekadar rebutan ketua atau pengurus lembaga.

Kompetisi boleh-boleh saja dalam muktamar, namun tetap harus dilakukan dengan etika dan integritas yang tinggi sesuai ajaran Islam. Jangan sampai karena adanya perbedaan, akhirnya membuat keutuhan umat menjadi berantakan. Tidak diperkenankan pemaksaan dengan segala cara, apalagi menggunakan uang dan melibatkan kekuasaan untuk mencapai pucuk pimpinan ormas Islam tersebut.

Bersaing sehat , sehingga menghasilkan pemimpin yang hebat yang akhirnya dapat memberikan sumbangsih bagi kemajuan bangsa dan negara. Siapa yang terpilih dalam muktamar, warga NU dan Muhammadiyah harus menghormati. Ahmad Riyatno, SAg, MPdI Jalan Medoho Barat 7/9 Sambirejo Gayamsari, Semarang


NU Jangan Terjebak Politik

Salah satu penyebab Muktamar NU di Jombang gaduh sampai membuat Gus Mus menangis dan malu kepada para pendiri NU, menurut saya, adalah syahwat politik para nahdliyyin yang begitu besar dan konflik kepentingan yang melilit para petinggi organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Sebelumnya dikabarkan, politikus PKB menguasai arena muktamar di Jombang.

Keprihatinan Gus Mus adalah keprihatinan kami semua, kaum nahdliyyin. Pengunduran diri beliau dari pencalonan rais aam adalah kekalahan kelompok Khittah NU di tengah mayoritas politikus atau peserta muktamar yang berafiliasi ke politik praktis. Bukan soal kekalahan penggagas ahlu halli wal aqdi (AHWA) dari kelompok pengusung voting.

Mundurnya Gus Mus sebagai pertanda habisnya tokoh pendukung Khittah NU yang menolak politisasi jamiyah. Setelah wafatnya KH Sahal Mahfudh, kini tidak ada lagi kiai karismatik yang berani melawan arus terhadap derasnya syahwat politik tokohtokoh NU. Kiai Sahal dan Gus Mus adalah sedikit pemimpin Syuriah NU yang dalam diamnya tetap istikamah dan konsekuen menjaga martabat NU.

Saya tidak tahu lagi siapa yang dapat mempertahankan martabat dan perjuangan NU sebagai jamiyah yang mengayomi anggotanya dan menuntun bangsa Indonesia meraih masa depannya. Kalau terhadap NU saja tega membuat gaduh, apalagi kepada orang lain di luar NU. Astaghfirullah al-adziim.


Kehilangan Generasi Petani

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta 2015 mencatat usai Lebaran tahun 2015 ada 50.593 pendatang baru, sebagian besar dari Jawa dan Sumatera, memadati Ibu Kota. Perkembangan terakhir urbanisasi di Indonesia, berdasarkan catatan sensus 2014 mencapai 45,3%, dan diproyeksikan mencapai 56,2% tahun 2025.

Akankah arus besar urbanisasi itu menjadi ancaman hilangnya generasi petani di pedesaan? Ada dua alasan utama mengapa masyarakat pedesaan rela meninggalkan kampung halamannya. Pertama, industri komoditas kearifan lokal (food, beverage, fashion, kerajinan, hasil bumi/pertanian) tidak berjalan lancar, bahkan mengalami kebangkrutan massal.

Sejumlah periset membuktikan bahwa urbanisasi besar warga Desa Jetis Sukoharjo ke Jakarta dan kota besar lain tahun 1970-an disebabkan, pertama macetnya industri tenun yang merupakan kreasi asli desa itu. Tahun 1962 di Jetis terdapat 365 perusahaan tenun (sekitar 550 unit alat tenun) yang mempekerjakan sekitar 750 buruh. Kedua, penyempitan lahan pertanian.

Areal sawah di Jawa misalnya, dalam satu dekade terakhir rata-rata konversi 13.400 ha hingga 22.500 ha per tahun (Irawan; 2014). Konversi itu dalam bentuk penggunaan lahan persawahan pertanian untuk industri, dan perumahan. Dalam jangka panjang banyak petani, terutama petani gurem, kehilangan ladang garapan. Untuk bisa survive mereka mengadu nasib ke kota menekuni profesi nonpertanian.

Ketiga, input produksi bahan pangan kurang tersedia dan harganya sangat mahal serta kerap terjadi kelangkaan barang. Persoalan faktor produksi seperti pupuk, seringkali menyulitkan petani dalam upaya meningkatkan produksi, karena distrubusi di lapangan yang kurang lancar, sehingga berakibat kenaikan harga pupuk yang tidak wajar.

Keempat, rendahnya harga komoditas pertanian yang menyebabkan tingkat kesejahteraan petani menurun. penelitian penulis dan tim peneliti (2014) tentang profitabilitas usaha tani bawang merah menyimpulkan keuntungan bersih petani sangat kecil. Bahkan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.

Kelima, kurangnya akses permodalan. Petani di desa apalagi desa tertinggal kurang mendapatkan akses modal untuk membiayai input produksi. Sektor jasa keuangan, khususnya bank, kurang berpihak pada usaha tani yang tergolong usaha mikro. Tidak hanya sebatas itu, tingkat bunga pinjaman yang dibebankan kepada petani pun sangat tinggi.

Beralih Profesi

Kita bisa mengajukan hipotesis bahwa ada korelasi urbanisasi dengan kemerosotan populasi rumah tangga petani di pedesaan. Terlepas hipotesis itu terbukti benar atau tidak, faktanya banyak petani yang beralih profesi menjadi pekerja di sektor lain di kotakota besar.

Data Kementan (2014) menunjukkan tiap tahun ada 500.000 rumah tangga petani beralih pekerjaan di bidang lain, dengan alasan usaha taninya mereka selalu merugi. BPS (2014) juga mencatat bahwa pada 2003 ada 31 juta angkatan kerja di sektor pertanian, satu dekade kemudian, yakni 2013 menurun drastis jadi 26,5 juta.

Kondisi itu diperparah lagi dengan fenomena yang terjadi saat ini, lebih banyak lulusan sarjana pertanian yang bekerja di sektor nonpertanian (sosial, pendidikan dan jasa). Dikti Kemdikbud (2014) mencatat 85% sarjana atau ahli madya pertanian, perikanan dan perikanan tidak menekuni keahliannya di sektor itu.

Hilangnya generasi petani, juga mengancam Sragen. Dalam 10 tahun terakhir, populasi rumah tangga petani di kabupaten itu menyusut cukup tajam, yakni dari 193.095 keluarga pada 2003 menjadi 142.187 keluarga pada 2013.

Bila dihitung ratarata per hari, populasi petani di Sragen menyusut 14 keluarga. Pemerintah pusat dan daerah perlu mengambil kebijakan yang memungkinkan generasi muda nyaman dan bangga menjadi petani. Perlu menciptakan sektor ekonomi produktif pedesaan berbasis produk pertanian yang bersifat kearifan lokal, antara lain industri pangan khas desa, minuman tradisional, dan hasil kerajinan.


Mengenang Bom Hiroshima-Nagasaki

Peristiwa bom Nagasaki dan Hiroshima bukanlah kisah kemenangan Sekutu dalam peperangan. Peristiwa 70 tahun lalu adalah bukti kekalahan umat manusia menghadapi peperangan dan kekalahan umat manusia menegakkan prinsip universal kemanusiaan serta peradaban. Pada 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom ” Little Boy” di Kota Hiroshima, Jepang, disusul bom atom ” Fat Man” di Kota Nagasaki.

Dua bom berkekuatan dahsyat itu dijatuhkan setelah enam bulan pengeboman di 67 kota di Jepang. Peristiwa itu kemudian dipandang sebagai ” kesuksesan” mengakhiri kecamuk Perang Dunia II seraya mengenang korban- korban jiwa sebagai ” tumbal” .

Peringatan atas peristiwa tragis itu selalu didominasi suasana perasaan heroik. Heroisme atas perjuangan ” kaum ksatria” dan ” pejuang” membela panjipanji ideologi dengan darah yang ditumpahkan. Padahal, seharusnya kita mengenang peristiwa itu sebagai tragedi kekalahan umat manusia dalam menegakkan perdamaian.

Alih-alih setia pada jalan damai untuk mengatasi konflik, manusia cenderung memilih jalan cepat dengan kekerasan. Alih-alih menggunakan daya kreasi untuk menciptakan peradaban, manusia mencurahkan akalbudi untuk menciptakan senjata-senjata pemusnah. Tragedi Hiroshima-Nagasaki tidak menghentikan hal itu. Bom atom itu membunuh 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki.

Dampak radiasi bom-bom itu menewaskan ribuan orang lagi berbulanbulan setelah bom dijatuhkan. Radiasi nuklir juga mengakibatkan kecacatan, baik bagi korban yang terkena radiasi langsung maupun generasi-generasi yang dilahirkan sesudah peristiwa itu.

Kengerian akibat dampak bom itu tidak dapat diselesaikan dalam sekejap, bahkan membutuhkan waktu beberapa generasi untuk memulihkan kehidupan yang telah dihancurkan. Apakah kita kemudian belajar dari sejarah? Tidak juga, sebab perlombaan senjata nuklir dan pemusnah massal masih terus terjadi hingga saat ini.

Fakta sejarah memang mencatat, bom Hiroshima dan Nagasaki memaksa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan mengakhiri Perang Dunia II. Namun, peperangan silih berganti datang dan pergi, yang selalu diakhiri dengan penumpasan peradaban serta penghancuran kehidupan.

Banyak konflik dan perang hingga detik ini belum mampu diatasi meski secara kuantitas, jumlah korban jiwa jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah korban tragedi bom atom. Tragedi bom atom belum cukup menyadarkan masyarakat dunia dan para pemimpin untuk menghapuskan kekejaman perang. Ideologi perang selalu dihidupkan kembali melalui narasi-narasi besar militerisme.

Jika direnungkan secara jujur, mungkin terasa absurd apabia hari-hari ini banyak negara, terutama negara-negara yang terlibat langsung dalam Perang Dunia II, memperingati tragedi bom atom dan mengenang peristiwa itu.

Tidak jelas sebetulnya, semangat berpikir apa yang mendasari peringatan tragedi bom atom? Apakah semangat heroisme militeristik, atau keinginan untuk tidak melupakan peristiwa itu agar dunia selalu dapat belajar dari tragedi bom atom? Apakah harus menunggu bom nuklir dijatuhkan lagi, dengan kekuatan yang jauh lebih dahsyat, untuk mengakhiri konflik dan peperangan? Tentu saja tidak perlu apabila dunia bersedia belajar.

Para pemimpin negara akan cenderung memilih jalan peperangan ketimbang jalan damai apabila menghadapi konflik antarbangsa. Peran masyarakat untuk menjaga jalan damai itu sungguh sangat besar. Tanpa tekanan dan desakan moral dari masyarakat, seorang pemimpin yang semula dielu-elukan rakyat pemilihnya bisa berubah dalam sekejap menjadi seorang jenderal perang berdarah dingin.

Hanya apabila masyarakat cinta damai, usaha-usaha pelik diplomasi dan negosiasi damai akan dengan gigih ditempuh. Hanya apabila masyarakat cinta damai, para pemimpin negara akan ” dipaksa” untuk setia pada jalan damai. Itulah pesan moral tragedi Hiroshima-Nagasaki.


 http://berita.suaramerdeka.com/

Optimisme Pertumbuhan Ekonomi

Ekonomi yang melambat telah mengakibatkan pemutusan hubungan kerja di beberapa sektor dan dirasakan masyarakat yang mengalami penurunan daya beli. Di tengah keprihatinan tersebut, Presiden Joko Widodo masih optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa merangkak naik seiring dengan makin meningkatnya belanja pemerintah. Optimisme Kepala Negara pantas disambut secara positif karena pesimisme memang tidak akan menyelesaikan masalah.

Yang terpenting adalah, sikap optimisme itu diikuti dengan tindakantindakan yang optimistis dan kebijakan-kebijakan yang menimbulkan optimisme. Hentikan saja argumen yang terkesan membenarkan peristiwa pelambatan ekonomi karena masyarakat tidak lagi membutuhkan argumen, namun solusi riil atas kesulitan ekonomi yang dihadapi. Kecepatan dan ketepatan bertindak jauh lebih berarti ketimbang argumen-argumen di atas kertas.

Keliru apabila optimisme itu didasarkan pada perbandingan atas angka pertumbuhan yang dicapai negara-negara lain. Berdasarkan angka pertumbuhan pada kuartal II 2015, Indonesia termasuk lima negara tertinggi. Presiden beralasan, negaranegara lain ada yang mengalami penurunan 1,5 sampai 2 persen tetapi Indonesia ‘’hanya’’ menurun 0,45 persen. Presiden mengaku heran mengapa publik ribut dengan penurunan yang tidak signifikan tersebut.

Presiden tidak perlu heran apabila melihat dampak riil, tidak melulu soal angka. Kelesuan ekonomi yang sudah dirasakan di banyak sektor akan terus berdampak secara spiral dan multilapis apabila tidak segera ditangani. Salah satu fakta yang mengherankan publik, sebagaimana diakui Presiden, tingkat penyerapan anggaran hingga Juni 2015 baru sekitar 12 persen dari total APBNP 2015. Artinya, nyaris tidak ada yang dikerjakan selama semester ini.

Sebanyak 88 persen anggaran akan ‘’dihabisi’’ pada semester kedua. Janji tersebut tentu sebuah kabar bagus. Belanja infrastruktur dan modal dari APBN akan menggenjot pertumbuhan dan kembali menggairahkan ekonomi. Persoalannya adalah mengapa hanya 12 persen anggaran yang baru diserap selama semester I? Apa saja kerja kabinet selama ini? Ibarat penyakit, ketika sudah timbul komplikasi pada penderita, genjotan infus bukan jawaban.

Persoalan anggaran telah mengakibatkan penurunan sistem kekebalan tubuh dan banyak komplikasi lain. Dalam kerangka pikir manajemen, ‘’habis-habisan’’ mengucurkan 88 persen anggaran pada semester II juga bukan perkara gampang. Alih-alih meningkatkan perputaran roda ekonomi, implikasinya dapat tidak terkendali dan akibatnya tidak meningkatkan perbaikan ekonomi secara menyeluruh tetapi hanya dinikmati sebagian kecil ‘’pemilik akses ekonomi’’.


http://berita.suaramerdeka.com/

Substansi Lurus Praperadilan

ADA hal menarik berkait putusan praperadilan Dahlan Iskan. Harian ini edisi Rabu, 5 Agustus 2015 memberitakan dengan judul ” Kejaksaan Terbitkan Sprindik Baru” , dan subjudul ” Dahlan Iskan Menang Sidang Praperadilan” .

Yang terasa menarik dari kasus itu adalah akibat dikabulkannya gugatan tersebut, kejaksaan hendak menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru guna kembali menjerat Dahlan. Tapi Yusril Ihza Mahendra, penasihat hukum Dahlan Iskan, mengatakan, putusan praperadilan bersifat final dan mengikat.

Berdasarkan keputusan tersebut berarti sudah tak ada lagi upaya hukum lain yang bisa ditempuh kejaksaan karena putusan sudah berkekuatan hukum tetap. Jadi tidak ada lagi upaya banding dan kasasi. Sangkaan terhadap Dahlan tentang tindak pidana korupsi pengadaan gardu listrik sudah dinyatakan tidak sah oleh pengadilan.

Sekilas muncul persepsi bahwa di pihak kejaksaan masih ada upaya untuk menjerat Dahlan, sedangkan dari pihak lain seolah-olah menegaskan upaya lain itu sudah tertutup. Artiny, sangkaan terhadap Dahlan dengan substansi tindak pidana korupsi gardu listrik yang menjadikan 15 mantan bawahannya dijerat sebagai tersangka sudah dinyatakan tidak sah.

Konstruksi pemahaman demikian perlu diluruskan. Pasalnya, substansi praperadilan yang diatur dalam Pasal 1 Angka 10 ataupun Pasal 77 KUHAP ataupun pascaputusan MK tentang perluasan objek praperadilan tentang penetapan tersangka dan penyitaan adalah menyangkut prosesnya. Bukan substansi pokok perkara. Dalam konteks itu, Pasal 79, 80, dan 81 KUHAP secara jelas mengatur acara pemeriksaan praperadilan.

Intinya dalam waktu 3 hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk harus menetapkan hari persidangan. Pemeriksaan juga dilaksanakan secara cepat, selambat-lambatnya 7 hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya.

Dari Nol

Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur. Pasal 78 menyebutkan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal. Dengan konstruksi normatif seperti itu, logikanya adalah praperadilan sejatinya memeriksa dan memutus tentang proses upaya paksa dalam penyidikan. Berbicara tentang proses maka objeknya lebih pada prosedural administratif.

Menjadi wajar bila dalam pemeriksaan praperadilan, pihak pemohon ataupun termohon akan beradu legal formal yang menjadi dasar masing-masing. Bila objek praperadilan adalah tidak sahnya penangkapan misalnya, penyidik yang digugat akan berusaha menunjukkan surat perintah tugas, surat perintah penyidikan, dan surat perintah penangkapan, berikut berita acaranya.

Bila lebih khusus, pemohon atau pihak penggugat mendalilkan terjadi obscuur libel atau terjadi kesalahan penulisan identitas tersangka, dan gugatan praperadilan diterima oleh hakim, namun hal itu bukan berarti pokok perkara sangkaan tersebut gugur.

Memang penyidik harus memulai dari nol memperbaiki administrasi penyidikan, misalnya memperbaiki objek yang disebut obscuur libel tadi sehingga secara formal yuridis tak ada lagi kesalahan. Dengan demikian, secara material, akan diuji lagi pokok perkaranya dalam persidangan apakah substansi perkara itu terbukti atau tidak. Praperadilan sebagai bentuk kontrol atau koreksi atau sebuah proses, menjadi pintu masuk ketercapaian keadilan substantif.

Jangan sampai ketika proses penyidikan dilaksanakan, ditempuh cara-cara instan di luar ketentuan hukum acara. Ketika, penyidik telah menyebut seseorang jadi tersangka misalnya maka logika hukumnya adalah penyidik sudah menemukan minimal dua alat bukti, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP.

Bila itu tidak terpenuhi maka demi hukum dan keadilan, penyidik bisa dianggap sewenang-wenang. Koreksi atas tindakan penyidik tersebut tiada lain melalui praperadilan. Pada sisi lain, juga jangan sampai membiarkan pemahaman kesalahan prosedural, kemudian dianggap menggugurkan substansi pokok perkaranya.

Pasalnya hal ini akan menjadi preseden buruk penegakan hukum. Pelaku tindak pidana akan bebas, tidak bisa tersentuh hukum, hanya karena penyidik lalai dalam penyelesaian legal formalnya.


http://berita.suaramerdeka.com/

Parlemen Pengemplang Uang Rakyat

Tidak perlu terburu-buru reaksioner atau emosional ketika membaca pernyataan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang meminta agar legislatif membuktikan diri bukan sebagai pengemplang uang rakyat alias koruptor. Secara khusus, Gubernur meminta DPRD benar-benar menjadi rumah rakyat, bukan sarang pengemplang uang rakyat. Peringatan itu terasa keras dan tegas, namun sungguh tepat untuk dijadikan landasan refleksi bagi legislatif.

Stigma koruptor sudah sangat melekat pada anggota legislatif dan politikus. Temuan-temuan dan ekspose kasus-kasus korupsi dirasakan oleh publik didominasi para politikus. Publik mempersepsikan bahwa parlemen adalah sarang koruptor melebihi lembagalembaga lainnya. Para politikus berkewajiban untuk membersihkan diri dari stigma itu dan tidak ada cara lain membersihkan parlemen selain dengan menolak setiap tindakan korupsi.

It takes two to tango, demikian peribahasa untuk menggambarkan tindakan korupsi. Perbuatan korupsi tidak mungkin dilakukan seorang diri tetapi selalu harus melibatkan pihak lain. Pembuktian dan pembersihan korupsi di parlemen seharusnya dapat dijadikan pijakan langkah yang kuat untuk memberantas korupsi, yang sampai saat ini masih menggurita di semua sektor dan sulit untuk diberantas sampai tingkat seminimal mungkin.

Berdasarkan data yang pernah dihimpun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), anggota DPRD memang menduduki peringkat ketiga terbanyak sebagai koruptor. Berturut-turut dari yang terbanyak berdasarkan persentase latar belakang koruptor adalah, eksekutif (34,29%), swasta (17.96%), legislatif (17,55%), wali kota/ bupati (8,98%), gubernur (3,27%), komisioner (2,86%), kepala lembaga/ kementerian (2,45%), duta besar (1,63 %), dan hakim (0,41%).

Sebanyak 10,61 persen berlatar belakang beragam tidak termasuk sembilan kategori tersebut. Kategori eksekutif pada data KPK tersebut adalah pegawai negeri eselon I, II, dan III. Apabila digabung dengan kepala daerah tingkat I dan II, maka persentase menjadi 46,54%. Artinya, nyaris separo koruptor berasal dari lembaga eksekutif. Makna dari data itu adalah, eksekutif dan legislatif masih ”layak” untuk menyandang predikat sebagai sarang koruptor.

Ultimatum pembuktian oleh Gubernur Ganjar Pranowo sangat relevan untuk pijakan yang kokoh bagi upaya pemberantasan korupsi secara lebih massif dan intensif. Ketimbang saling tuding kepada pihak-pihak lain yang masih mendominasi kasus korupsi, lembaga legislatif dapat memosisikan diri sebagai pusat pemberantasan korupsi. Apabila parlemen bersih, dapat diyakini bahwa eksekutif dan kelompok-kelompok lain juga akan dipaksa bersih.


Sejumlah Agenda Penyempurnaan Konstitusi

“Badan Pengkajian MPR sudah menyepakati sejumlah agenda yang perlu dikaji dan didalami”
ADA hal menarik dari rekomendasi politik Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, 1-5 Agustus 2015. Pertama, partai politik harus menjadi pilar penyehatan demokrasi. Kedua, parlemen harus dikuatkan dan didewasakan dengan sistem perwakilan politik dan daerah yang sama-sama kuat. Ketiga, kembali merumuskan norma hukum yang tidak berakhlakul karimah.

Khusus menyangkut poin kedua selengkapnya berbunyi,” Penguatan dan pendewasaan demokrasi mengandaikan sistem keparlemenan yang menuntut representasi politik dan representasi kedaerahan sama-sama kuat, baik dalam fungsi legislasi, anggaran, maupun pengawasan. UUD 1945 memberikan kewenangan kepada DPD jauh lebih terbatas dibanding DPR sehingga sistem bikameral tidak berjalan dengan semestinya. Karena itu, NU mendorong kepada MPR melakukan amendemen terbatas untuk memperkuat fungsi dan kewenangan DPD sehingga keberadaannya optimal sebagai penyangga sistem ketatanegaraan yang kuat dan efektif.”

Sebagai bagian dari Badan Pengkajian MPR, tentu rekomendasi dari organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini, tak mungkin diabaikan dan tidak ditindaklanjuti. Apalagi dikaitkan hasil seminar MPR bekerja sama dengan UNS di Solo, 6 Agustus 2015. Dalam seminar itu, Analis Senior Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro (Undip), Teguh Yuwono antara lain mengatakan, DPD dalam sistem ketatanegaraan dianggap oleh sebagian akademisi belum maksimal. Karenanya, diperlukan penguatan kewenangan lembaga tersebut melalui amendemen UUD.

Selama ini, lanjut dia, DPD masih berada di bawah bayang-bayang lembaga lain, terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Tak heran, menurut Teguh, sejumlah pihak menganggap DPD sebagai wakil rakyat kelas kedua. îHal ini menjadi pertanyaan besar dalam teori politik kita karena seharusnya fungsi DPD tidak selemah itu.” (SM, 7/8/15).

Sejumlah Agenda

Badan Pengkajian MPR sudah menyepakati sejumlah agenda yang perlu dikaji dan didalami, sehubungan berbagai aspirasi masyarakat yang mengusulkan penyempurnaan UUD 1945. Selain yang menyangkut penguatan DPD, ada usulan mengenai penguatan MPR, penegasan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sumber segala sumber hukum, perumusan kembali konsep pembangunan semacam GBHN, dan sebagainya.

Agenda penguatan MPR misalnya pernah dikemukakan Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputeri. Mantan presiden itu menyebut MPR tak bisa disamakan dengan DPR, DPD, atau lembaga kepresidenan. Mengapa kita tak mengembalikan pada marwahnya, MPR diletakkan sebagai lembaga tertinggi. ”Ketika amendemen UUD 1945 dilakukan, seluruh mata batin kenegaraan seolah dikaburkan oleh kekuatan euforia demokrasi.

Kekuasaan otoriter yang mendadak jebol, tidak memberi kesempatan untuk melihat sejarah dari sumber primer, khususnya keseluruhan gagasan ideal mengenai Indonesia merdeka,” katanya saat berpidato di Lemhannas. (merdeka.com, 28/5/15).

Pikiran Megawati sejalan dengan sikap PBNU yang sudah dirumuskan sejak 2012, antara lain dalam poin ketiga yang menyebut, ”Dalam upaya memperkuat kedaulatan rakyat maka status MPR sebagai lembaga tertinggi negara harus dipulihkan kembali. Karena itu amendemen UUD 1945 yang menempatkan MPR sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi negara lain harus diamendemen ulang.

Keberadaan utusan daerah dan utusan golongan dalam MPR perlu dipulihkan kembali. Dengan demikian MPR benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan negara.”

Aspirasi mengenai pemikiran ulang mengenai posisi MPR dikaitkan penyusunan konsep perencanaan pembangunan semacam GBHN juga diajukan secara resmi oleh Forum Rektor Indonesia (FRI), dilengkapi naskah akademik berjudul ”Mengembalikan Kedaulatan Rakyat melalui Penyusunan GBHN kepada Penyelenggara Negara.”

”Penyerahan naskah akademik bertujuan supaya wacana penyusunan GBHN mendapat telaah. Apabila Presiden, MPR, DPR, dan DPD menerima wacana itu maka beberapa implikasinya adalah memulihkan wewenang MPR dalam penyusunan GBHN dan penetapannya,” kata Ravik Karsidi, saat masih memimpin FRI. (metrotvnews.com, 2/1/15).

Menyambut berbagai aspirasi masyarakat tersebut, Ketua MPR, Zulkifli Hasan tengah mempertimbangkan amendemen UUD 1945, serta penyempurnaan sistem ketatanegaraan. Ia meminta Badan Pengkajian dibantu Lembaga Pengkajian bekerja secara cepat agar dalam waktu dekat sistem ketatanegaraan bisa lebih sempurna. (Okezone. com, 2/7/15).

Sambil menunggu datangnya momentum politik untuk menyempurnakan kembali konstitusi, Badan Pengkajian MPR terus menyerap aspirasi masyarakat, termasuk dari akademisi, tokoh masyarakat, pimpinan partai politik, lembaga negara dan sebagainya.


Kabinet Versus Tantangan Berat Ekonomi

Setelah beberapa waktu ditunggu dan timbul tenggelam di antara isu-isu lain, akhirnya perombakan Kabinet Kerja di bawah komando Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terlaksana juga.

Paling menjadi sorotan adalah menteri-menteri yang bersinggungan dengan persoalan ekonomi, yakni pergantian Menko Perekonomian dari Sofyan Djalil ke Darmin Nasution, Menko Kemaritiman dari Indroyono Soesilo ke Rizal Ramli, Menteri Perdagangan dari Rahcmat Gobel ke Thomas Lembong, serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/- Kepala Bappenas dari Andrinof Chaniago ke Sofyan Djalil.

Tim Komunikasi Presiden menyebutkan perombakan kabinet sebagai respons atas dinamika perekonomian global yang berdampak langsung terhadap ekonomi dalam negeri. Pelambatan perekonomian global memerlukan kecepatan dan kapasitas adaptasi dalam menangani permasalahan yang terjadi untuk memperkuat perekonomian nasional, serta mempercepat program- program pemerintah.

Perombakan kabinet tersebut juga merupakan bagian dari langkah perbaikan manajerial pemerintahan, serta memperkuat sinergi dan koordinasi lintas kementerian. Selama sepuluh bulan bekerja, disadari ada lubang-lubang yang perlu ditambal.

Pergantian menteri, terutama yang menangani bidang ekonomi dianggap sebagai momentum. Semula, peristiwa itu sangat diharapkan mampu membalikkan arah perekonomian menjadi lebih baik. Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta Kabinet Kerjanya memang menghadapi keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan akibat perekonomian global yang cenderung melambat.

Pertumbuhan ekonomi hingga paruh awal tahun ini bergerak lamban, antara lain karena harga komoditas di pasar dunia yang anjlok. Ditambah dengan penyerapan anggaran yang tidak optimal, padahal menjadi faktor pendorong roda ekonomi.

Perombakan pos-pos kementerian bidang ekonomi terjadi dalam situasi regional dan global yang buruk, di antaranya Tiongkok secara sengaja melemahkan nilai tukar mata uangnya dengan tujuan mendorong daya saing ekspor. Depresiasi yuan terhadap dolar AS berdampak terhadap pelemahan mata uang negara-negara di Asia.

Selain itu, menjadi sentimen negatif yang menghantam pasar modal. Pergantian menteri ekonomi ditanggapi dingin oleh pasar; terbukti rupiah melemah kian dalam, begitu juga indeks harga saham gabungan yang kembali terpangkas. Momentum itu seolah tenggelam oleh momentum yang lebih besar.

Menteri baru harus menghadapi persoalan baru yang lebih rumit. Ada gejala perang nilai tukar mata uang negara-negara besar kian meningkat. Menko Perekonomian Darmin Nasution sudah harus berhadapan dengan kemerosotan nilai tukar dan pelemahan pasar. Beruntung, Menko Perekonomian Baru mantan gubernur bank sentral dan pejabat karier di Kementerian Keuangan.

Menko Kemaritiman Rizal Ramli seorang ekonom yang sejak lama akrab dengan segala bentuk dinamika ekonomi. Menteri Perdagangan Thomas Lembong pernah malang melintang di sektor keuangan, antara lain pernah menjadi CEO perusahaan investasi dan bankir.

Tiga sosok baru di kementerian ekonomi dan kemaritiman diyakini memiliki kompetensi dan pengalaman memadai dalam menghadapi gejolak ekonomi. Namun mereka masih harus diuji dalam hal mengelola birokrasi. Di samping menghadapi tekanan eksternal, perekonomian juga digerogoti oleh kinerja domestik yang tak optimal.

Pertemuan antara ketidakpastian global dan pelambatan ekonomi menjadi beban paling berat bagi Kabinet Kerja. Mereka mesti mampu berkomunikasi sekaligus meyakinkan pasar yang ditunjang oleh kebijakan komprehensif. Lebih penting lagi, seluruh anggota kabinet fokus pada realisasi proyek-proyek infrastruktur.


Kado Kebersatuan ASEAN

KADO istimewa dan bersejarah bagi peringatan 48 tahun ASEAN pada 8 Agustus 2015 adalah kebersatuan ASEAN. Ke-10 negara anggota ASEAN bersepakat memasukkan isu Laut Tiongkok Selatan (LTS) ke dalam Komunike Bersama, sebagai hasil dari pertemuan ke-48 para menlu ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia (3-6/8/15). Melalui komunike bersama itu, ASEAN kembali menegaskan kepemimpinan dan sentralitasnya dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian regional di Asia Tenggara, termasuk dalam konflik klaim LTS.

Komunike bersama itu memberikan implikasi mendasar bagi ASEAN. Di satu sisi, kesepakatan itu membuktikan negara-negara anggota mampu mengambil kebijakan regional satu suara dalam mengupayakan penyelesaian atas konflik klaim di LTS. Perbedaan kepentingan antara Kamboja yang pro-Tiongkok dan pengklaim LTS (Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia) bisa diselesaikan atas nama komitmen regional mengenai sentralitas ASEAN.

Di sisi lain, kesepakatan bersama itu menunjukkan keberanian ASEAN mengabaikan Tiongkok. Keberanian ASEAN juga menghilangkan kritik tentang defisit kepercayaan di antara negara-negara ASEAN ketika berhadapan dengan kepentingan Tiongkok di LTS. Untuk kali pertama dalam isu LTS, ASEAN bersatu memperkuat preferensi guna lebih mendorong perundingan regional ketimbang bilateral dalam penyelesaian konflik itu.

Dengan kebersatuan tersebut, ASEAN lebih mudah berunding dengan Tiongkok untuk berpegang pada declaration of conduct (DoC) mengenai LTS yang disepakati bersama sejak 2002. Selanjutnya, Tiongkok dan ASEAN harus segera membicarakan hal-hal teknis dari code of conduct (CoC) sebagai panduan perilaku di LTS. Keduanya jadi dokumen dasar bagi perundingan diplomasi dan panduan di lapangan berkait potensi-potensi kerja sama di LTS, kebebasan navigasi, dan keamanan regional.
Konsistensi Tiongkok

Jalan menuju ASEAN bersatu tidak mudah dicapai. Beberapa faktor dapat mengganggu kesatuan sikap itu. Pertama, kecenderungan Tiongkok ”bermuka dua” ketika berada di forum-forum perundingan multilateral dan kenyataan di lapangan.

Sejak 2002 Tiongkok sebenarnya sudah menyetujui DoC dan CoC tentang LST tetapi ia juga selalu menekankan preferensinya pada perundingan bilateral.

Inkonsistensi itu bahkan berlanjut di luar meja perundingan. Militer Tiongkok lebih sering bertindak agresif dan provokatif di kawasan LTS. Unjuk kekuatan militer itu berpuncak pada pembangunan pulau di wilayah Spratly yang berujung protes negara-negara lain pengklaim wilayah LTS. Malaysia yang selama ini bersikap lunak juga mengecam provokasi militer Tiongkok. Kehadiran militer Tiongkok di LTS merupakan tindakan kontraproduktif bagi stabilitas kawasan.

Kedua, inkonsistensi sikap Kamboja yang mendukung kepentingan Tiongkok. Walaupun Kamboja akhirnya menyetujui Komunike ASEAN yang berisi perhatian mereka mengenai perdamaian di LTS, Kamboja sebenarnya masih mempertahankan dukungannya terhadap kepentingan Tiongkok. Dukungan Kamboja membuat Tiongkok bersikukuh mengklaim kepemilikan hampir 90 persen wilayah LTS. Akibatnya, Tiongkok merasa tetap mampu mengelola konflik dan kerja sama dengan negara-negara ASEAN.

Ketiga, inkonsistensi pada tiap perundingan antara ASEAN dan Tiongkok. Permintaan Tiongkok untuk tidak memasukkan isu LTS ke agenda dan komunike bersama pertemuan ke-48 itu ternyata berbeda dari persetujuannya pada pertemuan sebelumnya. Dalam sidang ke-14 tim kerja sama Tiongkok- ASEAN pada Juni 2015, kedua pihak sebenarnya bersepakat membangun titik kontak bagi komunikasi darurat antarpejabat senior, yang dapat membantu mencegah eskalasi konflik. Kelompok kerja juga setuju menyelesaikan masalah maritim ”dalam semangat bertetangga yang baik” dan sesuai dengan hukum maritim internasional.

Sentralitas dan kepemimpinan ASEAN akan selalu diuji oleh kontinuitas sikap inkonsisten Tiongkok. Inkonsistensi Tiongkok itu, baik di dalam maupun di luar perundingan, memang menjadikan isu LTS makin kompleks. Melalui komunike bersama itu, ASEAN dan Tiongkok diharapkan dapat segera menyusun kerangka kerja riil berdasarkan DoC dan CoC.

Memang DoC dan CoC bukan aturan main untuk penyelesaian konflik klaim mengenai LTS. Resolusi konflik itu masih memerlukan waktu panjang karena berkait kedaulatan wilayah maritim yang tidak bisa ditawar lagi. Namun komunike bersama itu menegaskan bahwa ASEAN dan Tiongkok bersepakat soal aturan perilaku yang menjamin kebebasan berlayar di LTS. Akhirnya, kebersatuan ASEAN tetap diuji untuk mendorong Tiongkok tetap konsisten dengan komunike itu, baik di meja perundingan maupun di lapangan.


Bantuan Hukum Warga Miskin

Ada anggapan bahwa orang miskin tidak dilindungi hukum karena mereka tidak mampu membayar pendampingan hukum oleh advokat atau pengacara. Akibatnya, mereka tak bisa mendapatkan bantuan hukum. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum diharapkan bisa menjangkau seluruh warga miskin yang terjerat masalah hukum.

Negara menjamin hak konstitusi semua warga negara untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum secara adil. Juga perlakuan sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan HAM.

Mengingat di Indonesia masih banyak masyarakat bergolongan menengah ke bawah, bantuan hukum penting bagi mereka. Persoalannya hingga saat ini masih banyak warga miskin tak mengetahui UU tersebut. Tatkala terjerat permasalahan hukum, mereka hanya bisa pasrah pada proses yang berjalan.

Padahal hak-hak mereka kadang terabaikan, bahkan hilang, karena ulah oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan mereka. Pendampingan hukum tak hanya untuk orang miskin yang jadi korban ataupun penggugat. Bantuan serupa bisa diperoleh oleh tersangka ataupun tergugat. Tidak saja untuk kasus pidana tapi juga perdata, dan tak hanya untuk kasus yang bersifat litigasi namun juga bisa nonlitigasi.

Seharusnya hal itu jadi gerakan dinamis dalam membangun sistem hukum yang menjangkau seluruh rakyat. Masing-masing undang-undang punya kriteria anggota masyarakat yang disebut miskin. Namun perbedaan itu jangan sampai jadi birokrasi yang mempersulit orang miskin mendapatkan bantuan hukum. Hambatan dalam pelaksanaan UU itu masih berkutat pada persoalan birokrasi.

Warga Jawa Tengah yang melakukan tindak pidana di Sumatera misalnya, sulit mendapatkan bantuan hukum di daerah itu. Argumennya, dia ber-KTPJateng sehingga harus meminta bantuan hukum di Jateng sesuai dengan dokumen kependudukannya.

Tak Tepat Sasaran

Ada contoh lain dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga. Seorang istri lari dari rumah dan tak membawa apa-apa. Sewaktu ingin mendapatkan bantuan hukum, ia harus mengawali dari kelurahan, sebagai persyaratan. Padahal, si suami telah meminta aparat kelurahan supaya tak mengeluarkan izin perlunya bantuan hukum. Alhasil wanita itu tidak bisa menerima bantuan hukum.

Karena itu, saran dan kritik dari praktisi dan akademisi hukum kepada tim DPR yang pada 25 Juni 2015 memantau pelaksanaan UU tersebut di Jateng bisa menjadi masukan startegis. Anggota parlemen yang bertugas menyusun UU bisa kembali meninjau efektivitas penerapan regulasi tersebut. Permasalahan lain dari efektivitas UU itu kadang pada ketidaktepatan sasarannya, mengingat penerima bantuan hukum ternyata bukan orang miskin.

Selain itu, ada oknum dari lembaga bantuan hukum yang menyalahgunakan ketentuan. Hal itu biasanya berkait langsung pemerintah sebagai penyedia dana kepada pemberi bantuan hukum. Saat ini implementasi dari UU itu adalah ketersediaan pos bantuan hukum di tiap pengadilan, serta lembaga bantuan hukum baik swasta maupun perguruan tinggi, kendati belum efektif.

Namun tetap perlu terus menyosialisasikan kepada warga miskin bahwa mereka berhak mendapat perlindungan hukum cuma-cuma dari negara. Perguruan tinggi hukum pun diharapkan makin berperan memberikan bantuan hukum. Upaya itu bisa dilakukan semisal menugaskan mahasiswa fakultas hukum membantu menyosialiasikan substansi UU tentang Bantuan Hukum dan membuka lembaga konsultasi bantuan hukum bagi warga miskin.

Memang untuk mendapatkan bantuan hukum, ada syarat yang harus dipenuhi warga miskin guna menghindari pihak-pihak yang menyalahgunakan UU itu. Namun bila warga menaati ketentuan, pemberi bantuan hukum bisa berperan aktif secara profesional sesuai etika profesi advokat. Harapannya, pelaksanaan regulasi itu pun tepat sasaran.


Antara Jalan dan Drainase

Pembangunan perkotaan yang terencana matang, dan keterpaduan program antardinas rupanya masih menjadi sesuatu yang langka di Kota Semarang. Ketidakadaan sinkronisasi ini menimbulkan kesan masing-masing dinas berjalan sendiri-sendiri tanpa ada perencanaan bersama. Pada akhirnya, pembangunan yang dilaksanakan dianggap tidak maksimal.

Dampak lain adalah SKPD sulit menjalankan program, sehingga penyerapan anggaran menjadi minim. Dari dahulu sampai sekarang kita sering dibuat jengkel dengan masalah perbaikan jalan. Jalan yang sudah mulus diaspal, kemudian dibongkar lagi untuk memperbaiki saluran atau menanam jaringan kabel. Setelah pekerjaan itu selesai, pembenahan jalan dan pembersihan material terkesan seenaknya.

Mengapa tidak dibuat dahulu saluran atau jaringan itu sebelumnya, baru kemudian jalan diaspal? Mengapa pekerjaan tidak bisa direncanakan dengan baik? Yang terakhir adalah ketidakterpaduan antara pembangunan jalan dengan drainase.

Padahal pembangunan jalan yang baik harus dilengkapi pembenahan sistem drainase agar saat hujan air tidak menggenangi jalan-jalan tersebut. Ketiadaan drainase atau saluran air yang buruk menjadi penyebab banjir dan ketidakmaksimalan kualitas jalan.

Sebaik apa pun jalan yang dibangun, jika terlalu sering terendam air maka dikhawatirkan akan segera kembali rusak. Contoh pembangunan jalan yang tak disertai pembenahan drainase adalah di Kecamatan Genuk, misalnya di Muktiharjo Lor, Jalan Padi Raya, dan Genuksari.

Jalan Muktiharjo di dekat palang pintu kereta api Jalan Kaligawe Raya yang sudah dibeton itu lebih sering terendam air. Air tak bisa mengalir ke mana pun, karena tidak ada saluran memadai dan terhambat dinding pembatas rel. Jalan lain yang segera butuh drainase adalah Jalan Kedungmundu Raya-Jl Tentara Pelajar.

Ketimpangan aktivitas pengerjaan proyek antardinas ini harus segera diantisipasi. Di satu sisi Dinas Binamarga Kota melakukan banyak kegiatan pembangunan dan perbaikan jalan, namun di sisi lain Dinas PSDA-ESDM belum mengimbangi dengan pembenahan saluran dan sungai.

Padahal persoalan rob dan banjir selama ini disebabkan oleh ketidakoptimalan sistem drainase dan fungsi sungai. Banyak sungai mengalami pendangkalan dan sistem drainase yang buruk . Rupa-rupanya diperlukan lembaga yang mampu mengoordinasikan pekerjaan pembangunan perkotaan ini.

Kalau sudah ada, maka fungsi lembaga itu perlu lebih dioptimalkan. Seharusnya Bappeda yang bertindak sebagai leading sector, mampu membangun keterpaduan antarprogram, sejak dari perencanaan yang dilaksanakan oleh lembaga tersebut. Lagi-lagi memang dibutuhkan pemimpin yang kompeten untuk mengurus semua hal ini.


Menghadapi Regulasi Keras

NILAI tukar rupiah terus menyusut, ekspor pun susah didongkrak dan cadangan devisa tidak pernah bertambah, bahkan makin mengecil.

Semua indikator ekonomi seakan-akan tidak banyak memberi harapan perbaikan. Dalam situasi demikian, siapa pun mereka, rakyat jelata atau rakyat bermahkota, pasti berpikir dengan dua opsi: (1) diam menunggu keajaiban hingga ekonomi datang sesuai harapan atau (2) mencari alternatif kekuatan yang bisa mengatasi persoalan.

Opsi mana yang diambil? Tergantung kemampuan kita menganalisis persoalan sehingga ditemukan jalan keluar yang efektif dan signifikan. Potensi yang selalu saya yakini bertahan, bahkan menjadi starter membuat ekonomi reboundadalah industri rokok.

Industri rokok adalah aktivitas ekonomi yang tidak pernah mengenal resesi, output-nya tidak pernah terhantam gelombang krisis ekonomi. Walaupun iklan produksinya makin terbatas, baik jam tayang maupun ruang premium tempat penayangan, serta ruang-ruang publik untuk merokok makin dibatasi.

Tahun 1969, produksi rokok 14,3 miliar batang, 39 tahun kemudian, tepatnya 2008 mencapai 250 miliar batang dan 2014 tidak kurang dari 340 miliar batang. Kontribusi produksi rokok Jawa Tengah berada pada peringkat kedua, setelah Jawa Timur, sebesar 30% terhadap total produksi nasional.

Selain itu, Jawa Tengah produsen tembakau nasional ketiga terbesar, setelah Jawa Timur dan NTB. Berdasarkan data tabel input output 2008, tenaga kerja yang diserap 242 ribu orang, angka itu belum termasuk tenaga kerja di sektor cengkih, tembakau dan industri tembakau bukan rokok. Total tenaga kerja dari empat sektor itu sekitar 414 ribu orang.

Di tingkat nasional, sektor industri rokok beserta pendukungnya, termasuk sektor perdagangan riil, diperkirakan menyerap 6 juta tenaga kerja. Kontribusinya terhadap penerimaan APBN selalu pada kisaran 6%- 6,5%.

Tahun 2014 pendapatan CHT sekitar Rp 118 triliun, 2015 sekitar Rp 125 triliun atau naik 7,2%. Perolehan sebesar itu diharapkan oleh pemerintah dari tiga hal, yaitu peningkatan produksi, kebijakan penyesuaian tarif CHT dan harga dasar barang kena cukai serta extra effort pemberantasan cukai ilegal.

Sejak 2008 pemerintah menerapkan Pasal 66 AUU 39/2007, di mana penerimaan negara dari CHT yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau 2%, yang dikenal dengan istilah dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).

Sumbangan Signifikan

DBHCHT adalah dana yang ditransfer ke pemprov dalam bentuk dana bagi hasil. Tahun 2015 Jawa Tengah mendapat alokasi DBHCHT Rp 544,41 miliar atau 3,2% dari total APBD Jateng 2015 sebesar Rp 17,097 triliun. Sumbangan itu cukup signifikan dalam memperkuat APBD Jawa Tengah.

Bagaimana kuatnya APBD tersebut jika saja pengembalian DBHCHT ke daerah dinaikkan jadi 10% maka APBD Jateng mendapat transfer DBHCHT dari pusat Rp 3 triliun-Rp 3,5 triliun sehingga sangat membantu mewujudkan cita-cita Gubernur Ganjar Pranowo: Jawa Tengah dengan infrastruktur hebat.

Pemerintah sampai hari ini belum meratifikasi konvensi pengendalian rokok dunia (Framework Convention on Tobbaco Control/FCTC) yang diinisiasi WHO dan diteken lebih dari 150 negara.

Pemerintah telah menerbitkan PP109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Aditif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang merupakan penjabaran Pasal 116 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Regulasi itu paling keras sanksinya dibanding regulasi lain yang ada. Jika saja regulasi ini diterapkan ketat, dampaknya akan mendorong penurunan kinerja di sektor industri rokok. Pemerintah harus memikirkan exit strategy jitu untuk mengatasi PHK massal dari industri ini dan turunnya sumbangan CHT bagi penerimaan negara.

Bagi provinsi rokok seperti Jateng dan Jatim, kebijakan yang bersifat kontraproduktif terhadap kinerja industri rokok akan berimplikasi luas dan mendalam bagi perekonomian regional secara keseluruhan.


Rokok, Ekonomi dan Kesehatan

APAyang terjadi apabila pemerintah mengambil kebijakan untuk menurunkan produksi rokok? Langkah apa yang paling tepat agar kebijakan itu efektif diterapkan di lapangan? Hingga saat ini, belum jelas apakah pemerintah sudah mengambil ketegasan dalam pengembangan kebijakan industri rokok atau justru tersandera kebutuhan anggaran pembangunan yang makin besar? Tiga pertanyaan itu menarik diteliti untuk dicari jawabannya.

Salah satu instrumen yang dinilai efektif menurunkan konsumsi rokok adalah pemberlakuan pajak rokok atau lebih dikenal dengan istilah tarif cukai hasil tembakau (TCHT). Filosofi historis penerapannya sangat kondisional bergantung situasi politik dan perekonomian.

Pajak ini kali pertama diterapkan 1794 oleh Menkeu AS Alexander Hamilton pada era pemerintahan Presiden George Washington. Tujuannya membiayai perang sipil dengan Spanyol. Besarnya tarif disesuaikan kebutuhan anggaran dan diperluas pada produk tembakau lainnya dengan tarif yang terus dinaikkan. Di masa sekarang, penerapan pajak rokok di AS selain untuk membiayai penerimaan negara juga untuk reformasi kesehatan.

Banyak alasan yang jadi latar belakang, terutama fakta bahwa dukungan publik terhadap perokok makin menyusut dan dukungan terhadap penerapan pajak rokok yang lebih besar untuk memaksimalkan pendapatan negara, makin meluas.

Di Indonesia, orientasi penerapan pajak rokok sebelum 2007 menurut UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, lebih dominan untuk meningkatkan penerimaan negara. Ketentuan itu secara jelas menyebutkan penerapan cukai rokok harus memperhatikan prinsip netral dalam pemungutan yang tidak menimbulkan distorsi pada perekonomian nasional.

Setelah diterbitkannya UU Nomor 35/2007 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 11/1995, tujuan penerapan cukai pada produk tembakau adalah untuk mengendalikan konsumsi dan peredarannya karena pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Selain itu, pemakaiannya perlu pembebanan negara demi keadilan dan keseimbangan. Dalam kondisi membangun seperti sekarang, kebijakan seperti ini sangat rasional dan dapat dipahami.

Penelitian yang penulis lakukan, khususnya di Jateng, penerapan besaran tarif pajak yang dilakukan pemerintah sebenarnya mampu menurunkan permintaan rokok. Elastisitas harga rokok terhadap permintaan rokok -0,4, artinya jika harga dinaikkan 10% maka permintaan rokok turun 4%.

Bertanggung Jawab

Menggunakan simulasi, dengan mengintegrasikan regresi linier dan tabel input output 2008, penulis menemukan kenaikan tarif rokok 25% yang mendorong harga rokok meningkat 11% berdampak negatif terhadap perekonomian Jateng, output seluruh sektor ekonomi menurun 0,93%.

Penurunan juga terasa menonjol di atas 1% pada sektor-sektor industri kertas dan barang dari kertas (4,42%), industri kimia dan pupuk (2,37%) dan jasa hiburan (1,1%). Sektor-sektor tersebut terkait erat dengan penyediaan bahan baku rokok dan pemanfaatan hasil industri rokok. Kenaikan harga telah menyebabkan jumlah tenaga kerja sektor industri rokok berkurang 12.381.

Semula 241.691 menjadi 229.310 tenaga kerja. Permintaan rokok yang menurun karena kenaikan tarif CHT menyebabkan menurunnya pendapatan sektor industri rokok 5,12%. Melihat aspek filosofis dan historis penerapan cukai, penulis berkesimpulan bahwa dalam jangka pendek, kebijakan pemerintah saat ini dalam pengembangan industri masih perlu terus dilakukan.

Tujuannya agar kontribusi APBN dalam menurunkan kemiskinan, mendorong perbaikan infrastruktur dan mewujudkan kemandirian pangan, bisa terus diperkuat. Ada kepentingan lebih besar yang menuntut kita harus lebih pragmatis namun tetap bertanggung jawab, memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan dari merokok, khususnya bagi kesehatan.

Pengakuan itu secara jelas sudah digambarkan dalam tiap bungkus rokok. Untuk meminimalkan efek merugikan produk hasil tembakau dan menjaga kinerja industri rokok tetap gemerlap, produsen harus didorong menjual sebagian besar produksinya ke negara lain.

Industri rokok di Jateng menjual 70-80% produksinya ke luar provinsi, namun yang diekspor ke luar negeri kurang dari 8%. Ini menunjukkan industri rokok tidak hanya strategis tapi juga mempunyai daya saing tinggi dibanding industri lain di Jawa Tengah.



Mengatasi Pelambatan Belanja Pemerintah

KELAMBATAN perkembangan ekonomi global telah memicu kelesuan investasi, konsumsi, dan ekspor Indonesia. Kondisi itu berimbas pada tidak optimalnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan I tahun ini yang hanya 4,71%.

Seharusnya sebagai fungsi stabilisasi, belanja pemerintah yang bersumber dari APBN dapat mengambil peran sebagai motor penggerak ekonomi. Anggaran pemerintah juga mempunyai fungsi sebagai alat kebijakan fiskal sehingga anggaran dapat digunakan menstabilkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Melalui anggaran publik, dapat dilakukan prediksi-prediksi dan estimasi ekonomi. Namun alih-alih mengambil peran sebagai motor penggerak dan mendorong pertumbuhan ekonomi, kenyataannya penyerapan anggaran pemerintah justru lamban. Salah satu penyebabnya adalah banyak pejabat di daerah diliputi kegamangan.

Belanja pemerintah semester II-2015 bisa terhambat oleh kegamangan pejabat yang berwenang mengeksekusi anggaran karena beberapa kasus hukum. Data Kemenkeu menyebutkan bahwa prediksi penyerapan anggaran belanja pemerintah semester I- 2015 mencapai Rp 773,9 triliun. Nominal itu meningkat 1,8% dibanding realisasi semester I-2014 sebesar Rp 759,9 triliun.

Namun jika dilihat total alokasi anggaran yang mencapai Rp 1.984,1 triliun dalam APBNP 2015 maka kinerja belanja negara di paruh pertama tahun ini jauh dari harapan karena baru terserap 39%. Kegamangan pejabat sebenarnya bukan faktor tunggal penyebab lambannya penyerapan anggaran pemerintah, melainkan terdapat multifaktor yang harus diantisipasi.

Antara lain terlambatnya penetapan perda APBD. Setelah melalui berbagai tahap pembahasan, termasuk evaluasi gubernur, perda APBD dan peraturan kepala daerah (perkada) penjabaran APBD harus sudah ditetapkan paling lambat 31 Desember. Namun sering tahapan-tahapan tersebut molor karena beberapa sebab sehingga penetapan Perda APBD pun molor.

Konsekuensinya berimbas pada molornya penetapan dokumen-dokumen anggaran seperti rencana kerja anggaran dan dokumen pelaksanaan anggaran (RKA-DPA). Dokumen-dokumen itu baru ditetapkan paling cepat pada Maret sehingga pada triwulan I nyaris tidak ada penyerapan anggaran, kecuali untuk membayar gaji dan kebutuhan rutin kantor.

Penetapan organisasi pelaksana kegiatan seperti penunjukan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran (PA/KPA), pejabat pembuat komitmen (PPKom), pejabat pengadaan, pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), serta pejabat penerima hasil pekerjaan (PPHP), juga ikut molor. Dampaknya pelaksanaan lelang/tender terlambat.

Silpa Membengkak

Penyebab lain karena ada beberapa SKPD yang overloadkegiatan. Sumber daya manusia yang dimiliki tak sebanding dengan jumlah kegiatan yang dikelola. Sebagai contoh DPU Kabupaten Tegal pada 2013 mengelola tidak kurang dari 1.500 paket pekerjaan.

Dengan SDM yang ada saat itu, secara rasional disangsikan kegiatan-kegiatan tersebut dapat diawasi dan dilaksanakan secara optimal, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Belum lagi SKPD ini juga bertugas membuatkan gambar teknis dan rencana anggaran dan biaya (RAB) pekerjaan fisik yang diajukan SKPD lain.

Penyebab lain dari lambannya penyerapan anggaran pemerintah adalah seringnya mutasi pejabat sehingga dokumen kegiatan harus direvisi. Selain itu juga kurangnya panitia pengadaan yang memiliki sertifikat keahlian. Kegiatan pengadaan barang dan jasa menjadi terhambat karena pegawai yang ditunjuk menjadi PPKom/PPHPgamang. Banyak yang beralasan upah yang diterima tak sebanding dengan risiko hukum yang mungkin menjerat.

Ada yang trauma melihat rekan PPHP sebuah kegiatan yang menerima honor resmi hanya Rp 150 ribu, tapi masuk bui karena salah membuat berita acara penyerahan pekerjaan. Sekarang ini kegamangan dari pejabat PA/KPA dan PPKom dalam melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa sudah sangat serius. Mereka gamang karena takut berurusan dengan penegak hukum. Tak sedikit pejabat PA/KPA/PPKom yang dikriminalisasi hanya karena faktor sepele.

Mereka harus bolakbalik memenuhi panggilan penegak hukum karena ada surat kaleng. Jika pemerintah tidak segera membuat payung hukum yang mampu mereduksi kekhawatiran mereka dari kriminalisasi, jangan harap anggaran pembangunan cepat dieksekusi. Semua itu membawa konsekuensi sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) akan semakin bengkak di akhir tahun anggaran.


Reshuffle dan Pertumbuhan

PRESIDEN Jokowi akhirnya mengumumkan perombakan kabinet (reshuffle), sebagian besar menteri yang terkait bidang ekonomi, yaitu menko perekonomian, menteri perdagangan, dan menko kemaritiman.

Langkah itu tepat mengingat banyak kritik ditujukan kepada menteri bidang ekonomi karena beberapa indikator ekonomi makro menunjukkan kememburukan. Indikator utamanya kemelambatan pertumbuhan ekonomi, yang pada triwulan II-2015 hanya 4,67%, lebih lambat dibanding triwulan I-2015 sebesar 4,71%. Angka itu bahkan terendah sejak 2011.

Tahun 2011 ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata di atas 6% tiap triwulan. Kondisi saat ini juga diiringi indikator keuangan yang tak menggembirakan. Pada saat pengumuman reshuffle, IHSG masih di tingkat 4.400- an atau turun 10% dibanding awal 2015.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS Rp 13.800 per dolar AS dari nilai wajarnya sekitar Rp 12.500. Ada dua penyebab terus melambatnya pertumbuhan ekonomi kita, yaitu faktor global dan domestik. Faktor global, pertama, melemahnya pertumbuhan ekonomi negara-negara besar dunia.

Padahal ekspor Indonesia menyasar ke sana. Hal itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia juga mengalami pelambatan. Kedua, terus melemahnya harga komoditas primer dunia. Harga minyak mentah dunia misalnya, sekarang kembali turun 47 dolar AS per barel.

Belum lagi harga komoditas primer lain, dan ini memengaruhi pendapatan ekspor kita. Ketiga, terus bergejolaknya pasar keuangan dunia mengingat krisis Yunani yang belum jelas kapan berakhir. Selain itu, spekulasi pembalikan ekonomi AS yang akan diikuti kebijakan The Fed menaikkan suku bunga.

Gejolak ini memengaruhi sektor keuangan Indonesia yang makin terintegrasi dengan pasar keuangan dunia. Keempat, kebijakan devaluasi mata uang yuan 1,9% oleh Tiongkok untuk mendorong ekspornya. Kebijakan tersebut menyebabkan perang mata uang antarnegara, termasuk Indonesia.

Adapun dari faktor domestik (dalam negeri), pertama, penyerapan anggaran di pusat (APBN) dan di daerah (APBD) belum maksimal. Kendala utamanya kegamangan birokrat mengeksekusi anggaran karena takut terjerat risiko hukum. Kedua, gejolak pasar keuangan domestik yang belum teredam, baik oleh pemerintah dan BI yang terindikasikan dari rendahnya IHSG, maupun persoalan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Ketiga, faktor yang tak bisa dielakkan, yakni musim yang tidak menentu. El Nino telah membuat musim kemarau di Indonesia bertambah panjang sampai November 2015. Sebagai negara dengan salah satu sektor dominan pertanian dalam arti luas, tentu ekonomi kita s a n g a t terpengaruh.

Kinerja Menteri

Bagaimana upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia? Salah satu harapannya adalah membaiknya kinerja menteri-menteri bidang ekonomi hasil reshuffle kali ini. Banyak pihak memprediksikan pertumbuhan ekonomi kita terus melambat sampai akhir 2015 tapi awal 2016 kembali naik. Hal itu bisa dipercepat bila kerja dari menteri-menteri hasil reshuffle bisa lebih cepat. Pertama, para menteri baru di bidang ekonomi tinggal memanfaatkan kembali menguatnya kepercayaan masyarakat dan pasar terhadap pemerintah. Tren positif itu karena kebijakan yang sudah terbukti tepat. Misalnya, keberhasilan mengendalikan harga kebutuhan pokok selama Ramadan dan Lebaran 2015, percepatan pembangunan infrastruktur, serta ketegasan di bidang hukum ekonomi (penindakan kasus dwelling time di Tanjung Priok). Para menteri baru tinggal mengakselerasi kebijakan yang arahnya sudah tepat. Kedua, para menteri dan pejabat pusat/ daerah tak perlu ragu mempercepat penyerapan anggaran sebab dalam waktu dekat ada regulasi beserta sanksi hukumnya yang membedakan antara pelanggaran administratif dan korupsi. Kejelasan itu dapat mempercepat penyerapan APBN dan APBD yang selama ini tersendat karena k e – gamangan pejabat terhadap tuduhan korupsi. Ketiga, percepatan pembangunan infrastruktur lebih diakselerasi lagi karena berdampak positif, baik melalui penyerapan tenaga kerja, pemakaian bahan, dan kegiatan yang terkait, maupun mendorong kegiatan ekonomi.

Keempat, para menteri bidang ekonomi harus secara aktif berkomunikasi dengan pelaku pasar dan meyakinkan akan ada kebijakan propasar. Hal itu dapat menahan kepanikan pasar yang biasanya berakibat pada berlanjutnya kemelambatan pertumbuhan ekonomi.



Budaya, Dasar Utama Bela Negara

Negara akan menjadi kuat apabila menjalankan tiga misi utama, yakni hadir bagi rakyat, menerapkan komunikasi emansipatoris, dan dikelola oleh pemerintahan yang bersih.

Ketiga hal itu terkait erat dengan ekonomi dan kesejahteraan tetapi bukan merupakan sebab akibat. Pemahaman itu sangat penting karena konsep negara yang kuat selalu dikaitkan dengan kekuatan militer sehingga program- program militeristik dianggap jalan utama membentuk negara kuat.

Pemikiran tersebut kita kemukakan menanggapi sinyalemen Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bahwa wawasan kebangsaan masyarakat Indonesia mulai menurun dan atas dasar itu direncanakan perekrutan 100 juta kader bela negara. Perekrutan akan dilaksanakan bertahap selama 10 tahun ke depan di 47 kabupaten/kota.

Para pemuda terpilih akan menjalani pendidikan di Resimen Induk Komando Daerah Militer (Rindam). Tujuannya, menurut Menhan agar negara kuat. Sangat kental sekali pola pemikiran militeristik dalam konsep pembentukan negara kuat. Wawasan kebangsaan mungkin memang benar menurun, kendati masih harus dikaji lebih dalam sinyalemen tersebut.

Namun, menerapkan program bela negara beraroma pendidikan militer untuk mengatasi hal itu? Nanti dulu. Program perekrutan bela negara sangat penting, dan bahkan sangat dianjurkan, tetapi dalam konteks sebagai supporting program, bukan jawaban tunggal.

Kekuatan militer hanyalah salah satu bagian dari sistem ketahanan dan pertahanan negara. Kebanyakan pemikiran itu mencontoh Swiss yang dikenal menerapkan sistem wajib militer. UU Wajib Bela Negara di Swiss mengharuskan setiap pemuda usia 19-34 tahun mengikuti latihan militer selama 12 bulan, kendati dapat pula ‘’dicicil’’ setiap bulan per tahun.

Tetapi, banyak orang lupa bahwa Swis terlebih dulu memiliki kekuatan budaya dan intelektualitas. Dengan kekuatan budaya dan intelektualitas, sistem pertahanan semesta yang diterapkan Swiss tersebut memperoleh tempat yang pas. Wajib militer yang diterapkan mampu menghasilkan kekuatan militer apabila dibutuhkan, tetapi tidak lantas membentuk karakter warga dan negara menjadi militeristik.

Indonesia pernah mengalami dominasi militerisme pada era Order Baru yang penuh sesak dengan doktrin, petunjuk, pemagaran berpikir, dan penyeragaman. Tanpa mengurangi aspek penting perekrutan bela negara, ketahanan dan pertahanan negara harus terlebih dahulu membangun kekuatan budaya, intelektualitas, dan spiritualitas.

Paling tidak, pengembangan konsep bela negara harus dibarengi dengan penguatan ketiga elemen tersebut. Budaya tidak hanya melulu bersangkut paut dengan seni, tetapi lebih mencakup kemampuan pola berpikir bangsa. Di situ pula tempat subur menyemai wawasan kebangsaan.


Selimut Kenangan Hilang di ADA Majapahit

Pada hari Rabu,12 Agustus 2015, saya dan anak pergi menyusul ibu saya yang sedang berbelanja di ADA Majapahit sekitar pukul 14.00 dengan menggunakan jasa taksi. Setelah turun di bagian depan pintu ADA, saya membeli teh.

Saat itu selimut anak saya yang berwarna pink bermotif polkadot putih masih saya gunakan untuk menutupi wajah anak saya dari sinar matahari. Setelah saya masuk, payung yang saya bawa dan ditaruh di bagian samping tas saya terjatuh lalu saya ambil.

Dengan masih menggendong anak dan membawa tas serta minuman, saya kerepotan untuk mengambil payung yang jatuh dan menutupi badan anak saya dengan selimut tersebut. Lalu saya selampirkan selimut anak saya di tas yang saya bawa. Setelah itu saya mencari ibu dan adik saya, memutari supermarket dua kali tetapi belum bertemu.

Saya keluar menuju gerai makanan di bagian belakang ADA Majapahit, siapa tahu ibu dan adik saya sedang makan siang di salah satu gerai tersebut. Tetapi ternyata tidak ada. Saya masuk lagi dan bertemu ibu saya di bagian penjualan baju tidur di dekat tangga menuju ke lantai atas.

Waktu itu adik saya mengambil tas saya untuk dibawakan dan saat itu saya belum sadar kalau selimut anak saya ternyata sudah hilang. Baru setelah itu saya, ibu, dan adik saya masuk ke supermarket untuk berbelanja.

Saya baru sadar bahwa selimut anak saya hilang saat berada di kasir dan akan mengambil dompet. Saya segera menuju ke bagian informasi untuk menanyakan apakah ada yang menemukan selimut anak saya, tetapi ternyata tidak ada yan tahu. Saya tinggalkan nomor handphonesaya ke bagian informasi agar dapat menghubungi saya bila ternyata ada yang menemukan.

Melalui surat ini, saya mohon kepada pengunjung dan segenap karyawan ADAMajapahit, bila ada yang menemukan selimut anak saya untuk dikembalikan. Mungkin harganya tidak seberapa, tetapi selimut itu peninggalan dari saya masih kecil sampai sekarang sudah punya anak.

Banyak kenangan di dalamnya. Bagi yang menemukan, saya mohon dengan sangat untuk mengembalikan kepada saya. Terima kasih kepada bagian informasi ADAMajapahit yang sudah menanggapi masalah saya dengan baik.


Gerakan Wirausaha di Pedesaan

Bagi sebagian lulusan perguruan tinggi, hidup di pedesaan merupakan tantangan. Berbagai ide menarik yang dibawa dari kampus tidak sepenuhnya bisa diterima dan mudah diterapkan di tengah masyarakat. Kerap gagasan ideal membangun desa tidak semudah yang dibayangkan. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak gagasan yang diwacanakan lulusan kampus asal pedesaan hanya tinggal angan-angan.

Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional BPS sampai Februari 2015, angka pengangguran mencapai 7,5 juta atau 5,81% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, 3,96 juta penganggur usia muda. Dapat dibayangkan makin bertambah banyak angka pengangguran jika mayoritas masyarakat hanya menunggu lowongan pekerjaan.

Sayang gagasan kewirausahaan belum sepenuhnya disadari sebagian besar masyarakat pedesaan. Kewirausahaan masih belum dijadikan pilihan strategis karena dianggap memiliki masa depan belum pasti. Bisa jadi berhasil atau sebaliknya.

Kemungkinan untuk berhasil dan gagal sama besarnya. Kondisi ini berbeda dari berkerja di kantor atau menjadi pegawai. Seringkali, ketakutan mengambil risiko menjadikan sebagian dari sarjana asal pedesaan enggan berdiam diri di kampung halaman.

Desa dianggap tidak mampu menjadi sarana mengeksplorasi diri. Dibanding perkotaan, wilayah pedesaan secara umum dapat dikatakan masih tertinggal, baik dari segi infrastruktur, fasilitas, keramaian, maupun kemudahan akses informasi. Tidak produktifnya potensi di pedesaan menjadikan desa sepi. Banyak orang harus berkerja di luar untuk mendapatkan nafkah.

Mengatasi permasalahan ini, pemerintah menciptakan berbagai program dengan sasaran utama desa. Wacana dana desa atau pemuda sarjana penggerak pembangunan di pedesaan (PSP3) adalah upaya pemerintah memajukan desa. Program ini dapat diarahkan mengembangkan kewirausahaan di pedesaan yang berlum tergarap. Pasalnya banyak lahan dan potensi di desa yang belum dikelola optimal.

Idealnya, untuk menjadi negara yang sejahtera sedikitnya 2% dari total penduduk sebuah negara adalah pengusaha. Sampai saat ini, Indonesia baru mencapai 1,65%. Jumlah ini jauh tertinggal dengan Malaysia yang sudah mencapai 4% dan Thailand yang mencapai 7% (SM, 28/7/15).

Belum Familiar

Program kewirausahaan ini juga sejalan dengan program Kementerian Ketenagakerjaan yang menargetkan 28 ribu pengusaha di tahun 2015. Bantuan modal, pelatihan dan pendampingan akan difasilitasi kementerian terkait.

Mahasiswa atau sarjana yang memiliki minat berwirausaha serta kepedulian dapat menjadi salah satu penggerak program ini. Rencana ini sudah selayaknya disambut dengan gembira oleh masyarakat. Meski demikian ada beberapa tantangan yang perlu diantisipasi agar program ini dapat berjalan sesuai dengan harapan.

Pertama, belum familiarnya kewirausahaan di pedesaan. Hal ini terjadi karena minimnya akses informasi di pedesaan. Berbeda dari kota di mana informasi dan berbagai bantuan program pemerintah dan swasta mudah didapatkan.

Dampaknya, bagi sebagian masyarakat pedesaan, mindset yang dominan adalah kerja dan kerja. Sangat jarang yang memiliki inisiatif berwirausaha. Selain itu, kondisi masyarakat yang mulai pragmatis menjadikan pertimbangan tersendiri. Jangan sampai batuan yang seharusnya untuk berirausaha justru digunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Kedua, penggalian potensi wilayah. Analisis ini penting dilakukan, agar usaha yang akan dijalankan berjangka panjang. Pemilihan bibit-bibit calon pengusaha, ketersediaan bahan, teknologi dan tenaga ahli juga perlu dipertimbangkan. Jangan sampai rencana usaha hanya menjadi program. Ketiga, penguatan manajemen dan monitoring program.

Kelemahan melakukan evaluasi seringkali menjadikan program tidak berjalan maksimal. Dibutuhkan tolok ukur keberhasilan yang jelas. Sangat disayangkan jika program yang menghabiskan banyak anggaran tidak memiliki hasil maksimal, yakni tercipta 28 ribu pengusaha dan mengurangi angka pengangguran.


Strategi Jalur Samudera Cheng Ho

Apa sesungguhnya keuntungan strategis dari Jalur Samudera Cheng Ho bagi dunia pariwisata Jawa Tengah? Menteri Pariwisata Arief Yahya menegaskan, Kota Semarang menjadi tumpuan utama program wisata berbasis jejak pelayaran Laksamana Cheng Ho itu.

Bahkan dari ”rute samudera” dalam peta pariwisata Nusantara itu, Jateng diharapkan bisa memetik setidak-tidaknya dua juta wisatawan pada tahun ini dibandingkan sebelumnya satu juta orang.

Jalur Samudera Cheng Ho dimulai dari Banda Aceh, Batam, Bangka Belitung, Palembang, Jakarta, Cirebon, Semarang, Tuban, Surabaya, dan berakhir di Bali. Semarang dinilai sebagai titik utama, karena memiliki Kelenteng Sam Poo Kong dengan keterkaitan kekuatan historis sosok Cheng Ho.

Kepala Dinas Pariwisata Jateng Prasetyo Ariwibowo mendukung paket Jalur Samudera dengan rencana membuka konektivitas Kota Semarang dengan daerah lain. Peta wisata yang mengkilas balik perjalanan muhibah Cheng Ho itu, sebenarnya adalah rute yang bersifat konektivitas untuk mengaitkan destinasi wisata di Tanah Air.

Hakikatnya, konektivitas menjadi kunci agar sebuah destinasi wisata tidak berhenti tanpa terproyeksikan terhubung dengan destinasi yang lain. Intinya adalah akses, yang merupakan ”kunci” bagi ”pintu masuk” ke destinasi mana pun yang dipilih sebagai paket oleh para wisatawan.

Spirit Dinbudpar Jateng untuk membuka konektivitas Kota Semarang dengan daerah lain, misalnya dengan Solo dan Yogyakarta yang selama ini terelasi lewat Joglosemar, sejatinya juga mewacanakan pentingnya penguatan akses.

Yakni dari dan ke Ibu Kota Jawa Tengah ini. Diskusi publik tentang tuntutan peningkatan infrastruktur, terutama di kalangan pelaku ekonomi dan pegiat pariwisata, merupakan salah satu realitas yang dihadapi.

Posisi strategis Semarang dalam peta pelayaran Cheng Ho, pada 2014 sebenarnya juga sudah menjadi proyeksi menteri pariwisata (waktu itu) Marie Elka Pangestu. Kelenteng Sam Poo Kong, apabila dipromosikan lewat paket-paket yang masif dan efektif, merupakan magnet untuk menarik wisatawan terutama Tiongkok.

Di sini tentu termasuk memperkuat sisi- sisi pendukung seperti kemudahan visa dan jaminan kenyamanan fasilitas teknologi informasi. Maka Jalur Samudera Cheng Ho tidak cukup hanya menjadi peta imajiner dalam pemasaran pariwisata Indonesia.

Kementerian Pariwisata, bersama seluruh stakeholder, perlu segera bergerak membuka akses dan konektivitas destinasi di semua titik dari Aceh hingga Semarang, Tuban, dan Bali dengan penyiapan komprehensif semua yang berbau Sang Laksamana. Lagi-lagi, konsep mestinya harus mampu mendorong pamaujudan infrastruktur.


Realistiskah Target Pertumbuhan Ekonomi?

Realistis dan optimistis adalah dua kata yang paling tepat untuk menilai paparan kebijakan ekonomi pemerintah, sebagaimana diungkapkan Presiden Joko Widodo dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 beserta nota keuangannya pada sidang paripurna DPR 14 Agustus 2015. Realistis karena pemerintah tidak mematok angka yang terlalu tinggi untuk pertumbuhan ekonomi namun tetap optimistis.

Dalam pengantar nota keuangan yang disampaikan Presiden, pemerintah menjanjikan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen pada 2016. Sementara pada saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dan hanya mencapai 4,67 persen, janji pemerintah untuk mencapai pertumbuhan 5,5 persen itu dipandang sebagian kalangan sebagai janji-janji kosong belaka yang akan sulit terpenuhi. Pandangan pesimistis itu muncul karena hanya melihat pada kondisi saat ini.

Namun, mencermati asumsiasumsi yang disampaikan pemerintah, sikap realistis pemerintah merupakan modal besar untuk mencapai optimisme pertumbuhan ekonomi. Dalam RUU APBN 2016, dicantumkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah Rp 13.400 per dolar AS. Meski kondisi riil pasar saat ini sudah pada angka Rp 13.700-an. Tim ekonomi yang baru hasil perombakan ikut menambah optimisme pemerintah dan masyarakat bahwa target dapat tercapai.

Sikap realistis tercermin dari perkiraan inflasi 4,7 persen pada 2016 dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti perkembangan harga komoditas pangan dan energi dunia, pergerakan nilai tukar rupiah, serta perubahan iklim. Asumsi harga minyak dunia 60 dolar AS per barel juga cukup realistis sebagai patokan prediksi ekonomi pada 2016. Namun, semua asumsi dan prediksi itu tidak ada gunanya apabila tidak didukung stabilitas politik.

Stabilitas politik tidak lagi dicapai melalui represi dan rezim otoriter seperti dialami Indonesia pada era pemerintahan sebelumnya. Stabilitas politik hanya dapat dicapai apabila para aktor politik di negeri ini mengubur ego masing-masing. Presiden mengingatkan para pengelola media massa misalnya, untuk tidak melulu mengejar rating sehingga mengabaikan peran media massa sebagai pemandu publik untuk kebijakan bersama.

Di sisi lain, target pertumbuhan itu tidak ada artinya apabila kesejahteraan masyarakat belum merata. Seperti dikemukakan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, nikmat kemerdekaan selama ini belum dirasakan semua masyakarat karena hanya 20 persen warga yang betul-betul merasakan kesejahteraan. Jadi, selain mengejar pertumbuhan ekonomi, tugas negara adalah meningkatkan kesejahteraan bagi 80 persen warga masyarakat.


http://berita.suaramerdeka.com/

Merdeka Melalui Pendidikan

ADA dua masalah kebangsaan yang belum sepenuhnya terselesaikan oleh bangsa Indonesia pada hari jadinya yang ke-70 tahun ini, yaitu kemiskinan dan kebodohan. Dalam konteks pembangunan, penyelesaian masalah itu dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas manusia.

Meskipun mengecil, jumlah penduduk miskin Indonesa masih cukup besar. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013 mencatat, setidaktidaknya 28 juta atau 11,47% penduduk hidup miskin.

Kemiskinan sebagaimana dipetakan para sosiolog, dapat dikategorikan dalam dua jenis. Pertama, kemiskinan alami yang disebabkan keterbatasan sumber daya alam. Kondisi ini lazim terjadi di wilayah dengan kondisi alam ekstrem yang tak memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan produktif untuk mengakumulasi hasil produksi.

Kedua, kemiskinan struktural, yang terbentuk akibat struktur sosial yang timpang dan tidak berkeadilan. Berbeda dari kemiskinan jenis pertama, kemiskinan struktural dapat terjadi di mana pun.

Keserakahan dan regulasi yang tidak sehat membuat sumber daya alam hanya dapat diakses segelintir orang. Dua jenis kemiskinan itu dapat diatasi dengan keandalan SDM. Pada kemiskinan jenis pertama, mereka bisa mengembangkan teknologi untuk merekayasa proses produksi.

Dengan teknologi, kondisi alam yang ekstrem dapat disiasati sehingga tetap produktif. Kemiskinan jenis kedua dapat diatasi dengan mereformasi regulasi, baik melalui jalur legislatif, yudikatif, maupun terobosan eksekutif. Struktur yang timpang kembali ditata sehingga keserakahan tidak memperoleh tempat dalam sistem ekonomi sebuah negara.

Prinsip dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat ditegakkan secara de jure dan de facto. Ketika kali pertama memimpin Singapura, Lee Kuan Yeuw konon merasakan khawatir rakyatnya terancam kemiskinan jenis pertama. Wilayah yang sempit hampir membuat negara itu tak memiliki apa pun.

Jangankan tanah pertanian yang subur, jumlah air bersih pun terbatas di negara pulau itu. Kesadaran itu membuat Lee bekerja keras mendidik rakyatnya agar senantiasa belajar dan bekerja keras. Negara rela tombok supaya rakyatnya bisa menikmati pendidikan berkualitas.

Pada saat yang sama, rakyat rela bekerja keras, menambah jam kerja, bahkan hingga 16 jam per hari. Hasilnya, negara yang luasnya hanya satu kabupaten di Indonesia itu tumbuh jadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.

Selain menjadi jalur perdagangan internasional yang super sibuk, Singapura tumbuh menjadi pusat finansial dunia. Belakangan negara ini juga tampil sebagai motor kemajuan teknologi informasi. Sementara itu, ada puluhan negara di dunia yang berkelimpahan potensi alam namun rakyatnya hidup miskin.

Kekayaan alam justru menjadi sumber bencana karena mendatangkan imperialis asing, memantik konflik sosial, bahkan perang saudara berkepanjangan. Rakyat hidup kelaparan bagaikan tikus mati di lumbung padi. Melihat anatomi kemiskinan tersebut, Indonesia cenderung mengalami masalah pada jenis kedua.

Senjata Ampuh

Untuk konteks saat ini, saya percaya pendidikan tetap menjadi senjata ampuh untuk melawan kemiskinan. Namun, itu hanya bisa berhasil jika dikelola dengan strategi yang benar. Pertama, pendidikan harus mampu memfasilitasi supaya manusia tumbuh seutuhnya.

Manusia utuh adalah manusia badaniah sekaligus batinian, individual sekaligus sosial. Manusia yang utuh memiliki otonomi untuk mengaktualisasikan diri pada ruang sosial yang dikehendakinya. Kedua, pendidikan perlu didesain agar memungkinkan pembelajar mengenali struktur sosial yang bekerja pada diri dan ruang sosial yang dihuninya.

Dengan cara itu pembelajar dapat mengenali power yang bekerja pada ruang sosial tertentu sekaligus mengidentifikasi ketidakadilan yang dimunculkannya. Ketiga,akses pendidikan harus dibuka seluas mungkin untuk setiap masyarakat. Perhatian terhadap aksebilitas harus diberikan megingat rata-rata tingkat pendidikan mayoritas penduduk masih sekolah dasar (SD), dengan angka partisipasi kasar (APK) 98%. Adapun APK SMP 78% dan SMA 58%.

Adapun partisipasi penduduk dalam pendidikan tinggi hanya 28,57%. Hasil gerakan yang ditanam melalui pendidikan memang tidak langsung tampak dan dapat dinikmati. Pendidikan merupakan investasi kebangsaan yang harus terus dilakukan. Hanya melalui pendidikan, kemerdekaan Indonesia bisa terus terjaga, bersamaan dengan terjaganya kemerdekaan manusia Indonesia dari kemiskinan dan kebodohan.


http://berita.suaramerdeka.com/

Perilaku Hati-hati seperti Pendiri Bangsa

TUJUH puluh tahun bangsa ini mencecap kemerdekaan. Keterbentukan negara yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu tidaklah serta merta. Butuh perjuangan dan pengorbanan tidak sedikit demi lepas dari cengkeraman penjajah. Bahkan para pendiri bangsa kita saat itu mengalami kegelisahan dan pergulatan batin. Mereka harus memantapkan diri untuk berani memerdekakan bangsa ini.

Termasuk ke depannya harus siap memikirkan dan mengelola dengan baik negara merdeka itu. Berbagai kegalauan yang berkecamuk tentu membutuhkan pengendapan guna mengambil keputusan atas dasar pertimbangan matang. Dalam ajaran Hindu, bisa dimaknai sebagai wiweka, guna menemukan jalan terbaik.

Wiweka dapat diartikan perilaku hati-hati sebelum mengambil keputusan supaya tindakan yang dilakukan sesuai kehendak Tuhan. Mengambil keputusan penting yang menentukan nasib dan masa depan bangsa tentu membutuhkan terang yang tidak semata-mata mengandalkan kemampuan diri.

Menjelang proklamasi dapat dibayangkan para pendiri negara kita menajamkan intuisi. Melalui wiweka itulah mereka meneliti batin masing-masing untuk menemukan yang terbaik bagi bangsa ini sebagai kehendak Tuhan. Pengakuan terhadap hal ini terlihat dalam alinea ke-3 Pembukaan UUD 1945.

Para pendiri negara kita menyatakan keyakinannya bahwa kemerdekaan ini terwujud atas berkat rahmat Tuhan. Kemerdekaan yang diraih sejak lama telah menjadi cita-cita luhur bangsa namun bagaimanapun tak bisa lepas dari kehendak Tuhan. Kesadaran terhadap kehendak Tuhan yang selalu baik lebih dari sekadar kriteria moral.

Pengelolaan negara ini yang didasarkan pada Pancasila, dengan tegas mengungkapkan pengakuan terhadap Tuhan YME dalam sila pertama. Driyarkara dalam telaahnya mengenai Pancasila merumuskan bahwa sila pertama inilah yang menjiwai sila-sila lainnya.

Sikap kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan seluruhnya harus didasari oleh kehendak baik yang bersumber dari Tuhan. Episode wiweka kebangsaan dalam jejak langkah pertama perjalanan republik ini semestinya jangan berhenti.

Wiweka menawarkan jalan untuk mengatur kehidupan, termasuk hidup berbangsa dan bernegara. Wiweka merupakan tindakan iman yang diperhitungkan, dipertimbangkan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Wiweka diharapkan menjadi jawaban atas tiap persoalan bangsa dewasa ini.

Bahan Refleksi

Sudahkah kini para penyelenggara negara berwiweka sebelum mengambil keputusan untuk rakyat? Pembukaan UUD 1945 telah mengatur cita-cita bernegara yang jadi tugas bersama, terutama pemerintah, untuk mewujudkannya. Dalam usia yang tak lagi muda, 70 tahun, negara ini sepakat dengan tujuan kesejahteraan rakyat.

Tidak sekadar tercukupinya pangan, sandang, dan papan sebagai kebutuhan primer namun juga perlindungan atas hak-hak asasi, persamaan hukum, keadilan, dan demokrasi. Ada berbagai hal yang selama ini dianggap sebagai kebenaran bagi banyak orang namun tidak mendatangkan kebaikan. Ini dapat diandaikan karena kebenaran itu tidak diperoleh dari berwiweka.

Walhasil ada benar yang tidak baik, benar yang tidak bersumber dari Tuhan. Dewasa ini kegagalan hukum, pengambilan keputusan tanpa pikir panjang, menjustifikasi sesama penyelenggara negara karena konflik politis, kemenguatan intoleransi, penghinaan terhadap simbol- simbol negara, dan berbagai hal kontraproduktif dalam bernegara makin merebak.

Pola berpikir sekenanya yang hanya mengandalkan kehebatan diri dan kekuatan kelompok lebih ditonjolkan ketimbang berusaha menghadirkan Tuhan dalam karya. Bukan menghadirkan Tuhan dalam arti sempit, seperti kecenderungan sekarang ini yang jika mungkin justru menelikung Tuhan demi pembenaran atas kebenaran yang diyakininya sendiri. Wiweka kebangsaan bisa menjadi bahan refleksi untuk menemukan kembali kehendak Tuhan bagi bangsa ini.

Dalam usia yang tidak lagi muda, bukan berarti penyakit dan kerapuhan makin menggerogoti. Justru saatnya bertambah matang dan dewasa menghadapi berbagai persoalan. Melalui wiweka kebangsaan berarti berani berjumpa dengan Tuhan secara sungguh dalam penyelenggaraan negara atas dasar Pancasila dan UUD 1945.


http://berita.suaramerdeka.com/

Mari Kita Satukan Tujuan

Peringatan Hari Kemerdekaan Ke- 70 Republik Indonesia, 17 Agustus kemarin, mengetengahkan momentum beberapa segi keprihatinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Utamanya dalam menyatukan visi membangun kehidupan bidang ekonomi, penegakan hukum, pendidikan, dan relasi sosial di bawah baju moralitas karakter bangsa. Pencapaian membanggakan seperti apa yang menonjol hingga 70 tahun kemerdekaan ini?

Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo mengekspresikan suarasuara dan wajah keprihatinan itu, namun dengan optimisme untuk bergerak menuju perbaikan. Hanya, optimisme itu membutuhkan syarat-syarat yang merupakan iktikad membangun kekuatan karakter. Kita membutuhkan visi kesatuan. Perbedaan adalah keniscayaan dalam kehidupan demokrasi, namun dengan tujuan yang satu, yakni perbaikan dan peningkatan taraf hidup rakyat.

Perekonomian yang pada satu sisi merupakan pantulan tekanan kondisi global, berada pada titik ikhtiar mendorong perbaikan melalui perombakan Kabinet Kerja Jokowi. Sektor krusial lain, penegakan hukum memperlihatkan moralitas yang justru mengancam pencarian rasa keadilan, ketika tafsir atas kesalahan tergantung pada kemauan lembaga tertentu. Kekompakan antarlembaga merupakan tuntutan mutlak untuk kembali menata moralitas komitmen.

Titik tujuh dasawarsa merdeka patut menggugat kemunduran cara pandang kita terhadap demokrasi. Kriminalisasi para tokoh kritis yang menjadi pilar-pilar pendorong transparansi dan akuntabilitas, jelas memanggungkan sejarah buruk penegakan hukum. Bagaimana kita menghidupkan nurani kejernihan berpikir, berpihak pada keadilan, dan memerangi korupsi, ketika justru muncul kecenderungan pembungkaman bagian dari cita-cita kemerdekaan?

Perjuangan untuk kembali meniupkan ruh kesantunan, kepribadian, dan karakter seperti diimpikan lewat pidato Presiden Jokowi, kita pandang sebagai tugas bersama untuk menegakkan trek perjalanan kemerdekaan. Mereka yang merongrong kekayaan negara dengan berbagai justifikasinya layak disebut sebagai pencoleng demokrasi yang membelokkan cita-cita reformasi. Kita sudah banyak melihat dan merasakan gejala-gejala memuakkan itu.

Revolusi mental dan Nawacita sebagai fundamen janji kampanye Jokowi mesti diwujudkan sebagai kekuatan bangsa menuju perbaikan di semua bidang. Pendidikan karakter, transformasi dan internalisasi kehidupan berbhineka, serta kesantunan dalam interaksi kebangsaan adalah elemenelemen yang secara konsisten mesti kita perjuangkan. Kita sudah terlalu menjauh dari tata krama yang selama ini kita banggakan sebagai karakter keindonesiaan.



Memelihara Pasal Karet

PRO-KONTRA tentang pasal penghinaan kepala negara dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih terus bergulir. Presiden Jokowi baru-baru ini mengatakan, masuknya pasal itu dimaksudkan untuk memberi perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang mengkritisi dan mengawasi pemerintah. Bila tidak ada ketentuan pasal itu dikhawatirkan mereka dapat dipidana dengan pasal karet.

Apakah masih diperlukan pasal itu masuk dalam revisi UU KUHP? Apalagi tahun 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut pasal penghinaan kepala negara karena dinilai bertentangan dengan konstitusi? Bukankah putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga bila pasal ini dipaksakan masuk RUU KUHP, apakah tidak muncul masalah? Dalam draf revisi KUHP yang diserahkan pemerintah kepada DPR tercantum Pasal 263 dan 264 tentang tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Disebutkan, tiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden akan dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 400.000).

Yang dimaksud penghinaan adalah menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan dan gambar, serta memperdengarkan rekaman kepada umum berisi penghinaan terhadap kepala negara. Draf ini tengah dibahas DPR dan tiap fraksi di Komisi III sedang menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM). Kalau nanti DPR menyetujui pasal tersebut, itu berarti kemunduran mengingat pasal penghinaan kepala negara ini bermasalah. Artinya tahun 2006 MK telah membatalkan pasal ini dengan substansi sama.

Mahkamah Konstitusi menghapus Pasal 134, 136, dan 137 KUHP karena dianggap mengancam kebebasan berpikir dan berpendapat, serta prinsip kesetaraan hukum dalam kehidupan demokrasi. Mungkin masih jelas dalam ingatan kita kejadian masa lalu, betapa banyak aktivis dijerat dengan tuduhan menghina presiden, semisal Sri-Bintang Pamungkas, Nuku Sulaiman, Yenny Rosa Damayanti, Mochtar Pakpahan dan sebagainya.

Tapi berkat permohonan para aktivis, pasal itu akhirnya gugur dalam sidang MK 2006. Pasal ini sering disebut pasal karet dan ampuh untuk menangkap demonstran yang mengkritik presiden. Selain itu ampuh untuk membungkam lawan politik presiden melalui polisi dan kejaksaan. Untuk itu, atas nama rasa keadilan dan kemanusiaan, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden sudah tak diperlukan lagi.

Termasuk mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai sosial dalam masyarakat demokrasi sehingga delik penghinaan tidak boleh dibiarkan untuk menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah (presiden). Karena itu, menarik melihat kembali putusan MK tahun 2006 yang telah menghapus peluang penggunaan Pasal 134, 136, dan 137 KUHP.

Pada pemerintahan Presiden SBY, ada dua kasus terkait penggunaan pasal itu, yakni kasus yang menimpa Herman Saksono dan Eggi Sudjana. Dalam kasus Herman, blogger asal Yogyakarta itu harus berurusan dengan polisi lantaran dituding menghina presiden. Herman merekayasa foto Mayangsari berpose bersama Bambang Trihatmodjo kemudian diganti wajah Presiden SBY dan sejumlah figur populer.

Jalani Pemeriksaan

Akibatnya, Herman harus menjalani pemeriksaan di kantor polisi meski SBY tidak berkeinginan memperpanjang masalah itu. SBY hanya berpesan bahwa perbuatan itu tidak bermaksud menghina, Herman cukup dinasihati. Rupanya pesan SBY berpengaruh terhadap proses pemeriksaan. Setelah Herman bersedia menghapus foto hasil rekayasanya itu, pemeriksaan polisi pun berhenti.

Kemudian Eggi dianggap menghina Presiden SBY lantaran Eggi menemui Ketua KPK Taufiequrachman Ruki guna mengklarifikasi adanya rumor pemberian hadiah beberapa mobil dari seorang pengusaha kepada SBY dan orang di Istana. Masalah ini muncul ketika Eggi menyampaikan rumor tersebut kepada wartawan. Setelah menjalani proses pemeriksaan di kepolisian, Eggi disidang dalam perkara pidana berkenaan penghinaan terhadap Presiden SBY.

Dalam konteks itu, MK telah menorehkan sejarah dalam proses demokrasi dan demokratisasi. Delik penghinaan terhadap presiden merupakan delik biasa, artinya sepanjang unsur deliknya terpenuhi maka lengkaplah tindak pidana yang dilakukan seseorang atau sekelompok untuk tindak pidana tersebut.

Presiden tak perlu membuat pengaduan untuk memproses tindak pidana itu. Kepolisian dari sisi hukum bisa memproses langsung tanpa harus menunggu persetujuan presiden. Delik ini memang sering dipakai polisi untuk memproses aktivis demokrasi yang mengkritik pemerintah. Pasal ini berdasarkan epistemologi hukum, sejatinya dibuat untuk melindungi pemerintah Hindia Belanda dari kritikan pejuang kemerdekaan terhadap praktik busuk kolonialisme di Nusantara.

Tidak heran, bila setelah kemerdekaan hingga Orde Baru, penggunaan pasal penghinaan terhadap kepala negara mendapat kecaman luas, seperti reformasi sekarang.

Kalau berpijak pada argumen bahwa berpolitik adalah bernegara dan bernegara adalah berkonstitusi maka delik penghinaan terhadap presiden tidak perlu lagi untuk membungkam aktivis yang mengkritik kebijakan pemerintah.

Karena arti penghinaan itu, menurut Prof JE Sahetapy dan Prof Mardjono Reksodiputro, harus menggunakan pengertian dalam Pasal 310-321 KUHP sehingga tidak perlu ada delik penghinaan terhadap presiden-wakil presiden. Jika pasal itu kembali dihidupkan dalam revisi KUHP yang dibahas DPR, ini merupakan kemunduran pemerintahan Jokowi dan bertentangan dengan spirit demokrasi era reformasi.


http://berita.suaramerdeka.com/

Jalan Kekerasan di Timur Tengah

“Kekerasan telah menjadi pilihan sebagian pihak karena saluran demokrasi benar-benar tertutup”

JALAN kekerasan makin menjadi opsi di banyak tempat di Timur Tengah (Timteng) sebagai cara mencapai tujuan. Subwilayah-wilayah yang semula dipandang aman sekarang juga menjadi sasaran. Kawasan Teluk yang dikenal aman, bahkan dengan keberhasilan pembangunan yang dramatik, kini terus dilanda ancaman bom.

Berita terkini, masjid di Abha, kota Saudi dekat Yaman, diledakkan oleh militan yang mengaku pengikut Islamic State. (6/8/15). Dilaporkan 15 orang tewas termasuk sejumlah anggota pasukan khusus Saudi. Sebelumnya, masjid Syiíah di Provinsi Timur juga diledakkan oleh kelompok militan dengan korban jauh lebih besar.

Rangkaian aksi teror juga terjadi di Kuwait. Bom bunuh diri dilakukan di tengah jamaah shalat tepat saat gerakan sujud di Masjid al-Imam al-Shadiq (26/6/15). Korban meninggal tak kurang dari 30 orang, dan 200 lebih lainnya luka. Islamic State (IS) mengklaimbertanggung jawab atas aksi tersebut.

Pada saat hampir bersamaan, penyerangan terhadap para turis terjadi di Arab Barat, tepatnya di Tunis, ibu kota Tunisia. Korban meninggal sudah 38 orang, bahkan angka ini masih mungkin bertambah. Kebanyakan korban dari Eropa. terutama Inggris. Beberapa pihak diduga terkait dengan aksi itu baik dari luar seperti IS atau ìorganisasiî teroris lokal di Tunisia.

Selang tiga hari setelah dua peristiwa itu, aksi kekerasan terjadi di Mesir (29/6/15). Korbannya jaksa agung Negeri Piramid itu, yakni Hisyam Barakat di samping sejumlah pengawalnya yang tewas dan luka. Kelompok yang menamakan diri al- Muqawamah al-Syaíbiyyah Bil Jizah (Perlawanan Rakyat Giza) mengklaim bertanggung jawab.

Usai aksi itu, rangkaian kekerasan berupa penembakan aparat keamanan dan pengeboman terjadi di berbagai wilayah di Mesir seperti di Hilwan, Bani Suwaif, Alexandria, dan lain-lain. Aksi teror juga terjadi di Turki yang selama ini relatif steril dari aksi kekerasan massif kendati dekat dengan wilayah konflik. Tepatnya di Suruc, kota yang berbatasan dengan Suriah, seorang remaja melakukan aksi bom bunuh diri yang menewaskan 32 orang dan melukai seratusan lainnya (20/7/15).

Peristiwa ini sekaligus menandai mulai masuknya militer Turki dalam perang melawan IS. Mengapa jalan kekerasan makin menjadi pilihan di kawasan itu? Kendati kawasan ini seolah lekat dengan aksi kekerasan, sepertinya ada intensitas yang meningkat signifikan dan perluasan kelompok pelaku, dimensi, dan sasarannya pada waktu belakangan ini.

Saluran Demokrasi

Demokratisasi di Timur Tengah (sebagian negara Arab) melalui gerakan protes rakyat bisa dikatakan gagal saat ini. Pipa-pipa saluran aspirasi rakyat yang puluhan tahun tersumbat memang sontak terbuka lebar seiring penguatan gerakan protes rakyat yang kita kenal dengan Musim Semi Arab yang meletus di sejumlah negara kawasan itu. Namun, dalam waktu cepat pula saluran-saluran itu kembali ditutup dengan paksa.

Kekerasan telah menjadi pilihan sebagian pihak karena saluran demokrasi itu benar-benar tertutup. Rangkaian kekerasan yang menimpa polisi, tentara, dan aparat hukum di Mesir, terutama di Sinai dan Kairo, meskipun sangat pahit, sepertinya relevan dibaca dalam kerangka ini. Demikian pula sebagian peristiwa kekerasan di Palestina-Israel.

Namun ‘’anehnya’’, di Libya, Irak, dan Yaman, terbuka lebarnya saluran aspirasi rakyat justru seperti membawa petaka. Jatuhnya rezim militer-despotis menciptakan euforia kebebasan yang berakibat fatal. Politik sektarian baik yang berbasis sekte keagamaan maupun kabilah menguat drastis. Situasi itu kemudian justru memecah dan menciptakan konflik tak terkendali di tiga negara itu hingga saat ini.

Pertanyaan yang sangat klasik bahkan sudah diajukan para pemikir Arab pada 1980-an kembali muncul, apakah sistem demokrasi cocok untuk masyarakat Timur Tengah (Maogoto dan Colemen; 2014)? Kegagalan proses demokratisasi dan terjerumusnya kawasan dalam lingkaran kekerasan saling balas sekitar 4 tahun terakhir memberikan jawaban skeptis atas pertanyaan tersebut.

Waktu-waktu tertentu yang diagungkan kebanyakan umat Islam untuk memperkuat ibadah dan amal kebajikan terhadap sesama seperti hari Jumat atau bulan Ramadan, justru menjadi pilihan bagi kelompok IS untuk melakukan kekerasan. Pelaku kekerasan di masjid Kuwait dan di pantai Tunisia memilih waktu itu untuk menjalankan aksi dan saat kematian mereka


http://berita.suaramerdeka.com/