Rabu, 16 September 2015

Penyelesaian Beban Sejarah

Akhirnya, saya baca, pemerintah serius menuntaskan berbagai pelanggaran hak asasi manusia berat lama dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Komisi tersebut terdiri dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kejaksaan Agung; Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia; Badan Intelijen Negara; dan Komnas HAM.

”Tim gabungan ini dibentuk sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia berat pada masa lalu. Ini agar tak lagi ada beban sejarah yang menjadi tanggungan generasi selanjutnya,” demikian pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo pada Selasa, 21 April (Kompas, 22/4).

Sesuai data Komnas HAM, ada tujuh berkas pelanggaran HAM berat masa lalu yang akan ditangani Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Kasus peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Talangsari di Lampung (1989), penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, serta peristiwa Wasior dan Wamena (2003).

Kalau memang pemerintah, sesuai pernyataan Jaksa Agung,akan membentuk KKR dalam waktu singkat, saya menyambut dengan gembira. Saya membayangkan para korban yang rata- rata sudah uzur sepertimendapatharapan kembali. Di antaranya, saya ingat, Pak Bedjo Untung dari YPKP (peristiwa 1965-1966), ibu Sumarsih, Hera Tetty, Karsiah, ibu Hoo Kim Ngo (Trisakti, Semanggi I dan II), Azwar Kaili (Talangsari, Lampung, 1989), Paian Siahaan dan ibu Tuti Koto (penghilangan orang secara paksa 1997-1998), dan banyak lagi.

Sehubungan dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu itu, saya akan memberikan pokok-pokok pikiran sebagai berikut.

Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu harus berdasarkan etika. Dasar etika ini mengacu pada wawasan persatuan bangsa seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD RI 1945 yang secara khusus terkait dengan tujuan kemerdekaan Indonesia dan tanggung jawab negara melindungi dan melayani masyarakat bangsa Indonesia. Juga solidaritas kebangsaan yang telah menjadi spirit utamakemerdekaan Indonesia. Solidaritas ini terbentuk bukan karena kesamaan ikatan etnik, agama, ideologi-politik, ataupun ikatan lain, melainkan karena ikatan kebersamaan untuk mencapai keadaban kemanusiaan.

Kemudian, politik yang mengacu pada era reformasi. Dasar politik ini membuka peluang bagi negara dan pemerintah untuk melakukan koreksi berbagai kesalahan dan kelalaian masa lampau. Namun, saya mencatat, peluang ini belum dimanfaatkan secara tuntas dan efektif oleh para pemimpin politik selama ini. Sejumlah pernyataan kebijakan (policy statements) yang berimplikasi pada pembuatan peraturan perundang-undangan telah dilakukan, tetapi belum seluruhnya terlaksana secara tuntas dan ditegakkan dengan efektif.

Lalu, hukum. Bidang hukum ini merupakan instrumen sah untuk menegaskan bahwa tindakan-tindakan negara tidak sewenang-wenang dan keadilan dapat ditegakkan. Peraturan perundang-undangan pada masa-masa awal reformasi, dan sudah tentu konstitusi UUD RI Tahun 1945, memberikan landasan hukum yang cukup memadai untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dalam hal ini, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyebutkan ”bahwa tak ada orang-orang yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia akan menikmati impunitas atau bebas dari hukum” menjadi dasar hukum penyelesaian pelanggaran hukum.

Juga Tap MPR No V/2000 yang memberi mandat penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara ”pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat”.

Masukan lembaga

Perlu diperhatikan, saran-saran resmi dari berbagai lembaga, antara lain: (a) Putusan MK atas persepsi Jaksa Agung dalam penerapan UU No 26 Tahun 2000 Pasal 43 Ayat (1) berkenaan penolakan melakukan penyidikan terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM berat. Juga (b) Surat Ketua MA No KMA/403/VI/2003 tertanggal 12 Juni 2003 perihal permohonan rehabilitasi kasus HAM masa lalu yang selanjutnya disarankan oleh DPR RI agar ditindaklanjuti oleh Presiden RI melalui Surat DPR KS.02/2947/DPR-RI/2003.

Kemudian, (c) Putusan MK No 001-017/PUU-I/2003 tertanggal 24 Februari 2004 yang menyatakan Pasal 60 Huruf g UU No 12 Tahun 2003 tentang pemilihananggota DPR, DPD, DPRD inkonstitusional karena diskriminatif terhadap para pemohon korban 1965, yang terhambat pelaksanaannya karena belum dicabutnya Keppres No 28 Tahun 1975. Selain itu, (d) usulan DPR RI kepada Presiden RI pada 28 September 2009 perihal pembentukan pengadilan HAM ad hoc bagi kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998, pencarian korban 13 orang hilang, pemberian rehabilitasi dan kompensasi bagi keluarga korban, serta perlunya ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa.

Dengan demikian, satu aspek penting dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah pemulihan hak-hak dasar korban melalui kompensasi dan rehabilitasi. Pemulihan itu menjadi tanggung jawab negara untuk mengurus dan menyelesaikannya. Di sini, pemulihan hak-hak dasar korbandilakukan melalui, pertama, kompensasi (ganti rugi). Dalam proses pemberian kompensasi ini tidak mudah karena keterbatasan keuangan negara, tuntutan para korban, kesulitan mengidentifikasi korban, dan lain-lain. Saya pikir, kompensasi itu harus tetap diusahakan antara lain melalui mekanisme hukum dengan menunjuk UU No 26 Tahun 2000.

Kedua, dilakukan pemulihan (rehabilitasi) hak-hak perdata korban. Ketiga, memberikan tunjangan sosial kepada para korban, dan lain-lain.

Pokok pikiran saya yang terakhir adalah berupa pengampunan (amnesti) para pelaku. Sehubungan dengan itu, saya berpendapat, pengampunan terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi bagian penting dari penyelesaian masalah tersebut. Dalam perspektif tanggung jawab negara, asumsi utama yang menjadi rujukan adalah negara mengambil alih semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh mereka yang dianggap sebagai pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Dengan dasar perspektif ini, ada tiga pendekatan (model) pengampunan (amnesti). Pertama, Kepala Negara sebagai representasi kepercayaan masyarakat memberi pengampunan secara umum terutama kepada mereka yang didakwa (diduga) telah melakukan pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang saat ini telah meninggal dunia.

Kedua, pengampunan berupa amnesti oleh Kepala Negara diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah dinyatakan bersalah oleh proses peradilan yang jujur dan bertanggung jawab. Ketiga, pengampunan secara sosial-budaya yang dilakukan anggota dan/atau kelompok masyarakat dengan difasilitasi oleh negara. Pendekatan ini merupakan rekonsiliasi sosial yangmemberi tanda (makna) penghentian konflik sosial masa lalu.

Pelanggaran HAM berat masa lalu harus dituntaskan penyelesaiannya secara adil dan bertanggung jawab. Bukan demi melupakan masa lalu, melainkanmengambil pelajaran dari pengalaman buruk masa lalu (Presiden SBY menyebutnya A burden of history) untuk dijadikan kekuatan menggalang kemajuan dan keadabanbangsa Indonesia di masa mendatang.
oleh; Albert Hasibuan
www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar