Rabu, 16 September 2015

Membaca sebagai Jendela untuk Melihat Dunia

Perhatian kita lebih terarah pada isu-isu aktual yang lain. Sebut saja, misalnya, kini publik sedang penasaran, apakah Presiden Joko Widodo benar-benar akan me-reshuffle Kabinet Kerja yang dibentuk pada 27 Oktober 2014. Menteri mana saja yang akan diganti. Sementara itu, soal buku menjadi perbincangan nomor sekian.

Perbincangan publik soal buku sebenarnya terjadi. Setidaknya dari percakapan di Twitter, salah satu media sosial yang paling aktif memperlihatkan perhatian publik. Namun, selama sehari pada 17 Mei lalu, jumlah cuitan terkait buku masih minim. Dari yang tidak banyak itu, sebagian besar diunggah oleh akun-akun penerbit, bukan khalayak ramai.

Apakah kita cenderung menyepelekan buku? Mungkin tidak sepenuhnya demikian. Soalnya, memang belum ada usaha serius bersama untuk mempromosikan hari penting ini. Apalagi, Hari Buku Nasional cukup muda, baru dicanangkan pada 2010.

Kondisi sepi ini justru menggambarkan keadaan kita senyata-nyatanya. Kita memang belum terlalu serius memuliakan buku. Ini tantangan yang mesti kita jawab dengan aksi nyata.

Penetapan

Sekadar mengingatkan, Hari Buku Nasional ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar pada 2010. Tanggal 17 Mei mengacu pada tanggal pendirian resmi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 1980. Kebijakan itu diambil demi lebih memopulerkan buku kepada masyarakat, meningkatkan daya baca, sekaligus mencerdaskan bangsa lewat buku.

Penetapan ini berangkat dari fakta memprihatinkan terkait minat baca di Indonesia yang masih rendah. Pada 2012, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca.

Perpusnas melansir data serupa terkait jumlah buku yang dibaca masyarakat Indonesia yang sangat rendah dibandingkan negara lain. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN, selain Indonesia, yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun.

Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku per tahun. Saat bersamaan, warga Jepang membaca 10-15 buku setahun.

Masih menurut Perpusnas, Indonesia hanya memiliki terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Ini jumlah kecil dibandingkan penduduk kita yang sekitar 250 juta orang. Artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang. Meski masih perkiraan, angka ini tentu memprihatinkan.

Buku adalah jendela ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan, kita bisa mempelajari berbagai hal serta mengembangkan diri. Buku yang menuntun kita menjelajah berbagai kemungkinan dalam kehidupan ini memandu untuk mengatasi bermacam persoalan, mendorong penemuan, dan membangun peradaban manusia yang lebih maju.

Bangsa yang maju adalah bangsa yang membaca buku. Sebaliknya, kian rendah daya baca masyarakat, kian sulit bangsa itu maju. Ingat saja pernyataan terkenal penyair kelahiran Amerika Serikat yang kemudian hijrah ke Inggris, TS Eliot (1888-1965), "Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca." Dengan demikian, jika ingin Indonesia yang lebih maju, kita perlu meningkatkan daya baca buku.
Rumusan ini mudah diucapkan, tetapi perlu kerja keras untuk diwujudkan. Penyebabnya, meski sudah 70 tahun merdeka, angka melek huruf kita masih rendah. Program Pembangunan PBB (UNDP) merilis, angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sebagai perbandingan, angka melek huruf di negeri jiran kita, Malaysia, mencapai 86,4 persen. Hal ini terkait dengan pendidikan kita yang masih belum maju. Sebagai gambaran, berdasarkan data UNESCO, Indonesia berada di urutan ke-69 dari total 127 negara dalam indeks pembangunan pendidikan UNESCO.

Tantangan kian berat karena masyarakat kita sekarang mulai mengenal teknologi informasi yang semakin canggih dan menawarkan hiburan yang memikat, khususnya televisi dan internet. Sebagian masyarakat lebih tergoda menonton televisi atau berselancar di dunia maya ketimbang membaca buku. Memang ada temuan teranyar, yaitu buku digital, tetapi jumlahnya masih terbatas. Itu pun rata-rata hanya bisa diakses di perkotaan.

Meningkatkan daya baca

Bagaimana cara meningkatkan daya baca masyarakat Indonesia? Ada beberapa program yang layak kita jalankan.

Pertama, kita perlu memperbaiki kualitas dan pemerataan pendidikan agar bisa mendorong tingkat melek huruf yang lebih tinggi. Infrastruktur (fasilitas) dan suprastruktur (sumber daya manusia) perlu dikembangkan hingga menjangkau pelosok Tanah Air. Jangan sampai ada masyarakat di pedalaman Nusantara yang masih sulit belajar gara-gara tidak ada sekolah, kekurangan guru, atau minim fasilitas lain. Negara bertanggung jawab memenuhi fasilitas pendidikan bagi warganya.

Kedua, kita bangun lebih banyak perpustakaan di semua daerah sebagai tempat yang nyaman untuk membaca, jumlah koleksi buku yang banyak, dan menawarkan kegiatan yang menarik. Ketiga, dibutuhkan program-program berkelanjutan untuk lebih memperkenalkan buku dan mendorong minat baca buku ke sekolah dan masyarakat umum. Jangan terpaku pada seremoni, tetapi fokus pada terobosan yang lebih membumi dan memikat kaum muda untuk membaca.

Keempat, dari sisi penerbit, kita dorong agar semakin banyak buku diterbitkan, terutama buku-buku yang berkualitas dari berbagai bidang. Kian banyak tawaran buku menarik, kian banyak alternatif bacaan bagi masyarakat.

Kelima, kita dukung kekuatan masyarakat madani untuk bersama-sama pemerintah dan semua pihak membangun peradaban membaca buku. Bentuknya bisa berupa pendirian taman bacaan hingga ke pelosok Nusantara, program pendorong membaca, atau langkah-langkah lain yang mungkin diambil untuk memprovokasi kaum muda agar mencintai buku.

Para aktivis media sosial, seperti Twitter atau Facebook, juga perlu dirangkul untuk lebih sering mengunggah rangsangan membaca buku. Kita ingatkan bahwa bangsa Indonesia lahir berkat perjuangan para pemimpin setelah melihat realitas kehidupan masyarakat terjajah serta terinspirasi dari gagasan kemerdekaan bangsa yang dibaca dari buku-buku.

Dalam hal ini, buku dianggap sebagai "jimat" yang membuat Mohammad Hatta kuat menjalani tekanan pemerintah kolonial Hinda Belanda saat itu. Bung Hatta pernah berkata, "Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena, dengan buku, aku bebas."

Saat diasingkan di Boven Digoel, pedalaman Papua, tahun 1934, Bung Hatta bahkan menulis buku Alam Pikiran Yunani. Saat menikah, buku itu pula yang menjadi mas kawin Hatta untuk istrinya, Rachmi Rahim.
Salah satu proklamator Republik Indonesia itu telah memberi teladan mencintai buku. Bagaimana dengan kita, bangsa Indonesia, yang menikmati kemerdekaan yang ia perjuangkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar