Tanda-tandanya sudah tampak kini. Dengan apa yang dikenal luas sekarang
dengan sebutan Twitter, orang tak perlu berpikir keras sebelum
mengutarakan sesuatu. Cukup secara spontan dan segera: nyeletuk. Yang berkuasa adalah ucapan yang paling banyak, bukan truth, kasunyatan,
kesejatian, yang memang sering tak terucap. Tak ada suaranya, seperti
angin. Kita hanya melihat kehadirannya lewat daun yang bergerak.
Mengutip sajak Darmanto Jatman di masa lalu: ”...seperti lidah, di mulut tak terasa/seperti jantung, di dada tak teraba.”
Dunia kini melulu dikuasai keberisikan, bukan keheningan berpikir. Praktisnya: ngomong dulu berpikir kemudian. Tanda tangan dulu, berpikir belakangan. Kerja, kerja, kerja. Lha, berpikirnya mana. Jadi ingat, kata-kata para editor koran di masa lalu. Kepada reporter,
mereka mengingatkan: ketika kalian pulang ke kantor, tulisan harus sudah
jadi.
Maksudnya bukan kami disuruh menyerahkan kertas berisi tulisan yang
telah beres begitu sampai kantor, di zaman mesin ketik itu. Melainkan,
proses eksplorasi dan pencarian berita adalah proses gagasan. Saat naik
bus kota atau mengendarai Vespa pulang ke kantor usai tugas lapangan,
hasil wawancara, pengamatan, dan lain-lain telah kami olah dan
sintesiskan dalam pikiran kami. Struktur tulisan telah terbentuk di
otak. Dengan kata lain, sebelum mengetik, tulisan telah selesai. Kami
cepat dan akurat, dalam zaman teknologi yang lelet, lambat, tidak
sebergegas sekarang.
Itu pula ironinya. Di zaman dengan teknologi informasi yang
memungkinkan orang melakukan segala sesuatu serba cepat—bercinta pun
dengan tergopoh-gopoh—berita justru tidak selesai. Bukan saja tidak
selesai sebelum ditulis, bahkan belum selesai setelah terpublikasikan.
Persis berbagai keputusan yang memiliki implikasi serius terhadap
kehidupan publik. Banyak keputusan minus pemikiran. Dalam dunia politik,
tak ada lagi pergulatan ideologi. Yang ada perebutan kekuasaan. Kajian
politik menyangkut ideologi dan pemikiran digantikan talk show berisi gosip politik. Untung dulu tak jadi susah-susah kuliah ilmu politik.
Terus terang, dengan surutnya kebiasaan membaca buku, saya melulu
melihat hal-hal yang bakal hilang, belum menemukan apa yang bakal
menjadi gantinya. Proses membaca buku berbeda dengan proses membaca di
layar laptop
atau berbagai perangkat digital canggih sekarang. Membaca melalui layar
komputer, istilahnya hiperteks, berbeda prosesnya di otak dibanding
dengan membaca buku, dalam hal ini disebut pembacaan secara linear.
Pada pembacaan hiperteks, orang meloncat ke sana-kemari, tidak fokus ke
satu hal. Belum lagi kalau kita bicara cara kerja saraf-saraf sensorik
tubuh. Dalam pembacaan dengan teknologi digital, sistem sensor dan
kognitif kita berubah karena stimulus yang bersifat repetitif, intensif,
interaktif, dan adiktif (membuat kecanduan). Lihat sendiri: kalau
pasangan Anda kecanduan peranti digital, susah dia diajak ngomong. Sadarkan dia, bukan buru-buru cari ganti.
Menggalakkan kebiasaan membaca (buku) kini menemukan signifikansi baru.
Dia bukan hanya upaya memberantas iliterasi, tetapi juga menyelamatkan
otak. Kenangan Desember lumayan, jadi ingat diri penyanyi Arie Kusmiran. Kalau membaca dan berpikir tinggal kenangan, kita kehilangan diri.
www.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar