Rabu, 16 September 2015

Enam Bulan yang Hambar

Apakah pembaca kaget dengan hasil survei evaluasi enam bulan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dirilis harian ini? 

Saya yakin, mayoritas pembaca akan hadir dengan jawaban yang sama: tidak. Meski terjadi sedikit kenaikan (7,1 persen) di bidang politik dan keamanan, jawaban "tidak" tersebut sulit untuk digeser karena adanya penurunan tingkat kepuasan di bidang-bidang lain.

Khusus di wilayah penegakan hukum, dibandingkan tiga bulan pertama, tingkat kepuasan responden mengalami penurunan melebihi 16,5 persen. Merujuk hasil survei Kompas (27/4), pada tiga bulan pertama, mayoritas responden (59,7 persen) memberikan nilai baik atas kinerja di bidang hukum. Namun tiga bulan berikutnya, penilaian responden menurun tajam menjadi 43,2 persen.

Bagaimana menjelaskan penurunan tajam tingkat kepuasan responden terhadap kinerja bidang hukum pemerintahan Jokowi-JK selama enam bulan pertama berkuasa? Pertanyaan ini menjadi begitu penting karena tingkat kepuasan dalam bidang hukum menurun dua kali lebih besar dibandingkan enam bulan pertama pemerintahan SBY-JK. Hasil survei Kompas (20/4/2010), kepuasan kepada SBY-JK hanya menurun dari 61,2 persen pada tiga bulan pertama menjadi 53,2 persen tiga bulan berikutnya.
Dukungan ke KPK

Dalam posisi sebagai pemerintah baru, duet Jokowi-JK memiliki peluang besar meraih kepuasan masyarakat dalam berbagai bidang, termasuk bidang hukum. Pandangan begini hadir karena 42 prioritas utama penegakan hukum yang tertuang dalam Nawacita Jokowi-JK dapat dikatakan amat padat dan konkret yang sekaligus merupakan jawaban terhadap sebagian besar agenda hukum dan penegakan hukum negeri ini.

Banyak pihak percaya, bilamana Jokowi berupaya dengan keras merealisasikan pohon janji di wilayah hukum dan penegakan hukum sejak awal, tingkat kepuasan responden tidak akan mengalami penurunan. Bahkan, bukan tidak mungkin kepuasan responden pada tiga bulan pertama akan melewati persentase yang pernah diraih SBY-JK.

Namun, selama tiga bulan pertama, Jokowi tidak menunjukkan pergerakan signifikan mewujudkan janji bidang hukum yang tertuang dalam Nawacita. Meskipun demikian, kepuasan responden masih berada di atas angka 50 persen.

Salah satu alasan yang mungkin dapat menjelaskan kepuasan responden masih berada di atas garis merah pada tiga bulan pertama: Jokowi-JK lebih banyak fokus menghadapi tekanan politik karena terbelahnya dukungan dari DPR. Di tengah tekanan politik dari sebagian kekuatan politik di DPR, pasti tidak mudah mewujudkan agenda bidang hukum. Begitu pula sorotan tajam sebagian kalangan dalam pengangkatan Jaksa Agung pun tak mampu menghancurkan kepuasan masyarakat.            
  
Oleh karena itu, sulit dibantah, turunnya tingkat kepuasan masyarakat pada tiga bulan kedua hampir pasti dipicu oleh ketidakmampuan Jokowi-JK merealisasikan janji mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terkait dengan komisi antirasuah ini, Jokowi-JK berjanji mendukung penguatan KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan cara meningkatkan kapasitas kelembagaan dan pendanaan KPK.

Alasan mendasar Jokowi sampai kepada janji itu, dalam praktik pemberantasan korupsi, KPK telah menjadi tumpuan harapan masyarakat. Karena itu, KPK harus dijaga sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh kekuatan politik. Tidak hanya itu, begitu pentingnya posisi dan perannya di tengah desain besar agenda pemberantasan korupsi, Jokowi-JK merasa perlu menegaskan komitmen mereka untuk menolak segala bentuk upaya yang dapat berujung pada pelemahan KPK.

Namun, ketika ujian untuk membuktikan dukungan ke KPK datang, Jokowi-JK tak menunjukkan dan memberikan respons memadai. Buktinya, ketika KPK diobok-obok setelah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka, langkah nyata untuk melindungi KPK tak hadir dengan layak. Padahal, banyak pihak mendesak Jokowi agar bersikap tegas menghentikan kemungkinan pihak-pihak tertentu menggunakan institusi kepolisian melakukan serangan balik kepada KPK. Tidak hanya itu, Jokowi pun diminta menunjukkan sikap tegas mencegah kepolisian melakukan tindakan kriminalisasi terhadap semua elemen KPK.

Mencermati situasi yang melilit KPK setelah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka, tidak keliru menilai bahwa Jokowi-JK gagal melewati ujian pertama pelemahan KPK. Padahal, sekalipun dikatakan ujian pertama, sejauh ini, peristiwa tragis yang dialami KPK sejak pertengahan Januari lalu dapat dikatakan sebagai serangan paling mematikan sejak lembaga ini dibentuk.

Harusnya, membaca komitmen yang tertuang dalam Nawacita, tak ada alasan tidak melakukan langkah darurat menyelamatkan KPK. Namun, entah apa yang sesungguhnya terjadi, langkah nyata penyelamatan yang berpihak kepada KPK dan sekaligus berpihak kepada agenda pemberantasan tidak hadir. Boleh jadi, penyelamatan KPK bukanlah variabel tunggal menurunnya tingkat kepuasan masyarakat. Misalnya, dalam periode tiga bulan kedua, Jokowi juga dihadapkan pada inkonsistensi dalam proses pengusulan calon Kepala Polri. Padahal, dalam Nawacita dinyatakan akan memilih Kepala Polri yang bersih dan antikorupsi. Namun, ketika mengusulkan nama Budi Gunawan ke DPR, komitmen tersebut pantas digugat dan dipertanyakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar