Rabu, 16 September 2015

Teguhkan Aspirasi Kebangsaan

Aspirasi ini kembali bergema ketika dua organisasi Islam, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menyelenggarakan musyawarah nasional dalam waktu yang hampir bersamaan. Kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini semenjak kelahirannya sampai sekarang tidak pernah berhenti menggelorakan dan mengamalkan aspirasi kebangsaan.

Aspirasi itu ditujukan untuk kepentingan satu dan  kesatuan bangsa Indonesia. Aspirasi kebangsaan di awal kemerdekaan sangat tebal dalam perjuangan para pemimpin dan rakyat Indonesia. Semua pemimpin dan rakyat kita dijangkiti semangat yang terhormat ini. Namun, sekarang dengan semangat menjalankan sistem demokrasi, rakyat dan pemimpinnya terbelah-belah dalam faksi kepartaian yang lebih menonjolkan aspirasi konstituen partai masing-masing.

Semangat menonjolkan kepentingan partai semakin kelihatan ketika terjadi pemilihan kepala daerah yang hanya diwakili satu kandidat. Partai lainnya tidak mendaftarkan calon karena merasa tidak mampu mengalahkan sang calon tunggal. Semangat kalah menang menjadi pertimbangan aspirasi kepentingan parsial partai masing-masing, bukan untuk kepentingan bangsa yang satu.

Seharusnya partai politik tidak hanya terbatas pada retorika dalam memperjuangkan kepentingan rakyat untuk berkuasa. Demikian pula setelah berkuasa memimpin pemerintahan, semua pejabatnya menjadi petugas partai, bukan abdi bangsa dan negara yang satu.

Calon tunggal

Dalam sistem demokrasi, semua partai politik sepakat mendukung sebagai calon yang ikut dalam pemilihan umum ataupun pemilihan lokal daerah. Pendaftaran calon kepala daerah untuk pemilihan serentak Desember nanti juga seharusnya diikuti oleh semua partai politik.

Akan tetapi, ada partai politik yang tidak mendukung terlaksananya ketentuan tersebut. Pemilu kepala daerah serentak tampaknya mengalami masalah terhadap calon tunggal yang mendaftar. Calon lainnya sampai penutupan pendaftaran tidak ada yang mendaftar, lalu KPU berusaha untuk menundanya barangkali ada calon partai lainnya yang menyusul.

Jika diteliti mengapa calon partai lain tidak mendaftar, ada yang beralasan calon tunggalnya merupakan calon kuat yang sulit ditandingi. Daripada berlomba kalah dan mengeluarkan biaya banyak, lebih baik tidak ikut mendaftar. Ada yang beralasan partai lainnya tidak mempunyai kader yang kompeten dan elektabilitas kuat. Ketika sistem demokrasi dahulu ramai-ramai kita upayakan disepakati, kehidupan partai politik berperan besar dalam sistem itu. Salah satu wujud sistem demokrasi adalah dilaksanakannya pemilihan umum atau pemilihan lokal daerah. Dalam pemilu dan pilkada disepakati pula secara kuat bahwa calon berasal dari partai politik dan calon independen. Kesepakatan itu dalam sistem demokrasi disetujui bersama sebagai aspirasi kesatuan suatu bangsa, wujud dari aspirasi  kebangsaan.

Mengapa sekarang ada calon tunggal, dan mengapa ada partai yang tidak mau mendaftar pemilihan kepala daerah? Kejadian  ini membawa banyak kekhawatiran bahwa aspirasi politik partai masih tampak sangat individual dan parsial, melupakan aspirasi kebangsaan. Seharusnya partai politik yang banyak di Tanah Air ini bisa belajar dan mencontoh dua organisasi Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, dalam dedikasinya untuk bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai.

Aspirasi pejabat negara

Perjalanan demokrasi semenjak era reformasi telah berjalan hampir 17 tahun. Selama ini tampaknya sistem demokrasi yang menata hubungan antara jabatan-jabatan negara dan jabatan politik, antara aspirasi kebangsaan dan aspirasi partialistik dari masing-masing parpol  perlu kiranya ditata dengan sistem yang mengarah terselenggaranya suatu pemerintahan demokrasi yang lebih baik.

Semenjak pemerintahan Presiden BJ Habibie di awal reformasi telah membuka koridor demokrasi dengan mengeluarkan kebijakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan berbeda pendapat dijamin oleh undang-undang. Semenjak itu sampai sekarang kita merasakan bahagianya hidup demokrasi di negara kita. Koridor kedua dibuka pula oleh pemerintahan BJ Habibie dengan mengeluarkan kebijakan Undang-Undang Nomor 2, Nomor 3, dan Nomor 4  Tahun 1999, tentang Partai Politik, Pemilu, serta Susduk MPR, DPR, dan DPPRD. Semenjak itu, lengkaplah sistem demokrasi dijalankan oleh pemerintahan reformasi. Sayangnya, seperti dikatakan di depan, pemerintahan demokrasi yang sudah ditata kebijakan perundangannya itu luput tidak menata hubungan antara jabatan-jabatan negara dan jabatan politik yang dari pejabat partai politik. Lebih jauh lagi kurangnya penekanan pelaksanaan wujud dari aspirasi kebangsaan.

Dengan adanya UU No 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, di awal reformasi itu bermunculan kehidupan partai politik. Di dalam literatur ilmu politik disebutkan bahwa partai politik merupakan suatu organisasi sosial yang distinctive yang tujuan utamanya adalah menempatkan calon-calon pemimpinnya pada jabatan pemerintahan.

Syarat minimal dari suatu partai politik dilihat dari aspek peranan politiknya adalah merancang calon-calon pejabat dari partainya untuk menduduki jabatan di dalam pemerintahan, yang kedua mendulang suara yang mendukungnya (Encyclopedia Americana, 1995). Dari perspektif ini, kehadiran pejabat politik di dalam tatanan administrasi pemerintahan tidak bisa dihindari.

Dikuasai politisi

Bahkan, menurut Guy Peters dan Jon Pierre, editor dari buku hasil penelitiannya akhir tahun 1999, Politicization of the Civil Service, beberapa dasawarsa terakhir ini sektor pemerintahan telah menjadi arena yang dikuasai politisi (politicized).

Hal ini berarti para pejabat dan pegawai pemerintahan harus memberikan perhatian yang lebih besar sebagai pelayan-pelayan politik kepada jabatan-jabatan politik yang memimpinnya. Pertanyaannya sekarang adalah seberapa jauh tiap-tiap parpol yang berkuasa memimpin administrasi negara, menyatu dalam kepentingan suatu kesatuan bangsa, dan tidak menonjolkan dirinya sebagai petugas partai.

Selain jabatan politik, di dalam birokrasi pemerintahan kita dikenal juga jabatan negara. Jabatan negara ini mulai dikenal ketika pemerintahan Presiden Soeharto. Karena tidak menyukai politik, Soeharto tidak menyebut kekuatan politik yang mendukung pemerintahannya  sebagai partai politik, melainkan Golongan Karya. Jabatan negara ini baik sekali dijadikan pengganti jabatan politik, artinya semua jabatan politik yang berasal dari kekuatan partai politik yang memimpin birokrasi pemerintah disebut pejabat negara yang bertugas mewujudkan aspirasi kebangsaan.

Pejabat negara ini adalah pejabat yang menjalankan tugas-tugas negara untuk seluruh rakyat tanpa tersekat  oleh kelompok parpol tertentu yang berkuasa. Kaitan dengan aspirasi kekuasaan dari parpol tertentu yang berkuasa mulai menipis, tetapi aspirasi bangsa dan seluruh rakyat negara mulai menebal. Di dalam ilmu politik pun dikenal semboyan  "When my loyalty to our government begin, my loyalty to my party end".

Rangkap jabatan

Rangkap jabatan antara jabatan pimpinan partai politik dan pejabat negara (pejabat politik) telah lama dikeluhkan. Rangkap jabatan dilihat dari perspektif apa pun, etika, manajemen, sosial, politik, ekonomi , apalagi tuntunan agama, kurang patut. Selain itu juga kurang etis karena rangkap jabatan merupakan saluran untuk berbuat menyimpang atau berkecamuknya konflik kepentingan. Bercampur perkara yang hak dan yang  batal.

Penggunaan fasilitas negara tidak mungkin bisa dihindarkan oleh pejabat tersebut, baik ketika pejabat itu melakukan aktivitas yang sulit dibedakan antara tugas negara atau tugas partai. Aspirasi kebangsaan sengaja dilupakan.

Seorang menteri yang merangkap jabatan pimpinan partai suatu hari meresmikan proyek pembangunan pemerintah di luar Jawa. Sore harinya ia membuka rapat kerja partainya. Bisakah menteri tersebut membedakan tiket dan biaya perjalanan serta akomodasinya? Mana yang dibiayai negara dan  mana yang dibiayai partainya?

Belum lagi kalau presiden sebagai kepala negara yang merangkap ketua umum partai politik dan sedang kampanye untuk partainya. Hal ini baru dilihat dari tiket yang biayanya sedikit. Namun, bagaimana kalau biayanya besar, menggunakan pesawat yang disewa negara, dijaga keamanannya oleh pengawal kepresidenan, dan diiringi para ajudan presiden, menggunakan hotel yang dibiayai negara dan fasilitasnya besar?

Bukankah ini saluran penyimpangan yang seharusnya disadari? Sistem dari suatu perbuatan yang tidak etis ini seharusnya sudah diperbaiki dalam reformasi birokrasi pemerintah karena gejala ini sudah berlaku dalam riwayat birokrasi pemerintah kita sejak Orde Lama dan Orde Baru yang sekarang.

Kalau ini dilakukan, artinya bukan deparpolisasi di dalam birokrasi pemerintah, melainkan menata lebih baik suatu sistem pemerintahan yang lebih baik dan jujur. Suatu sistem kenegaraan dan kepemerintahan yang mengenal beda antara aspirasi sektarian, altruis, individual, parpol, dengan aspirasi kebangsaan.

oleh; Miftah Thoha, Guru Besar UGM   
www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar