Apresiasi terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang cukup
terjaga di periode sembilan bulan pemerintahannya tidak hanya tampak
dari pendapat masyarakat umum. Kalangan pengguna media sosial (netizen)
yang berciri masyarakat perkotaan, golongan menengah, dan didominasi
kelompok muda juga menyiratkan pola opini serupa. Isu ekonomi dan
pemberantasan korupsi menjadi perhatian terbesar.
Hasil analisis percakapan media sosial yang dilakukan lembaga pemerhati media sosial Provetic bekerja sama dengan Litbang Kompas
menjadi dasar kesimpulan. Tak kurang dari 3,6 juta percakapan tentang
Presiden Jokowi berhasil dirangkum selama sembilan bulan terakhir.
Artinya, setiap hari rata-rata sekitar 13.000 percakapan membahas
aktivitas pemerintahan.
Perhatian netizen tentang kiprah
Presiden Jokowi terpolarisasi pada sentimen positif atau negatif. Pola
polarisasi itu tidak jauh berbeda dengan dinamika persepsi publik hasil
survei tatap muka terhadap 1.200 responden yang dilakukan Litbang Kompas.
Hasil
survei itu menunjukkan ada penurunan tingkat kepuasan responden dari
61,7 persen pada triwulan pertama menjadi 53 persen pada triwulan kedua
pemerintahan. Namun, terjadi peningkatan pada triwulan ketiga (Juli)
menjadi 57 persen.
Pola yang sama tergambar pada hasil analisis
percakapan media sosial. Terdapat 60 persen percakapan positif selama
tiga bulan pertama, lalu turun menjadi 57 persen pada triwulan kedua dan
naik kembali menjadi 60 persen pada triwulan terakhir.
Dua model
kajian dengan kesimpulan serupa itu menunjukkan adanya perhatian yang
sama dari setiap kalangan masyarakat. Apresiasi terhadap pemerintahan
Jokowi beranjak positif. Persamaan ini juga ditemukan saat
menelusuri isi opini publik yang diekspresikan. Hasil analisis media
sosial menunjukkan, isu stabilitas ekonomi dan pemberantasan korupsi
menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan. Demikian juga pada
hasil survei tatap muka.
Namun, terkait problem keseharian, ada perbedaan arah kecenderungan prioritas isu. Bagi para netizen,
isu ketersediaan energi atau bahan bakar minyak lebih diperhatikan
dibandingkan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Sebaliknya, bagi
masyarakat umum, stabilitas harga kebutuhan pokok menjadi persoalan
utama. Perbedaan ini wajar lantaran karakter pengguna media sosial
cenderung didominasi oleh kelompok masyarakat menengah dan perkotaan.
Sementara survei tatap muka menjaring lapisan masyarakat lebih luas,
mayoritas responden dari kelas menengah ke bawah.
Hasil pencermatan media sosial juga menunjukkan, ada program kerja Jokowi yang mencuri perhatian netizen,
yaitu program "kartu sakti" dan wacana revolusi mental. Namun,
sayangnya, tiga "kartu sakti" Jokowi berupa Kartu Indonesia Sehat, Kartu
Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera lebih banyak disikapi
negatif, khususnya terkait dengan aspek kesiapan, sosialisasi, serta
kesimpangsiuran pelaksanaan di lapangan.
Selain itu, masalah pemberantasan korupsi juga paling banyak mendapat sorotan negatif. Lebih dari 90 persen percakapan netizen
tentang korupsi lekat dengan persepsi negatif, khususnya isu konflik
KPK-Polri awal tahun lalu. Topik ini memuncaki intensitas percakapan
tertinggi kedua setelah isu kenaikan harga BBM, November lalu.
Namun, sejumlah program pemerintahan Jokowi juga mendapat apresiasi cukup baik dari netizen, yaitu rencana pembangunan tol laut dan poros maritim. Jargon "Kerja, Kerja, Kerja" juga bernada positif. Opini netizen dan masyarakat yang cenderung selaras makin mengukuhkan eksistensi para netizen
dalam perbincangan isu-isu publik dan pemerintahan. Kondisi ini kian
signifikan mengingat penetrasi penggunaan media sosial semakin luas.
Jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat. Data Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet (APJI) menyebutkan, pengguna internet pada
2014 tak kurang dari 88,1 juta atau sekitar 35 persen dari total
penduduk di negeri ini.
Mayoritas masyarakat mengakses internet melalui telepon genggam. Survei Litbang Kompas
pada Juni 2015 di 15 kota (di luar Jakarta) dengan 6.000 responden
menunjukkan, 4 dari 10 responden mengaku memiliki perangkat ponsel
pintar. Sekitar 85 persen di antaranya aktif mengakses internet via
ponsel. Tak kurang dari 61 persen responden juga mengaku lebih banyak
mengakses media sosial.
Fakta itu menunjukkan media sosial telah menjadi ruang publik baru perbincangan sosial politik. Meski riuh dengan tone penyikapan yang berubah-ubah, ia telah menjadi instrumen kontrol sosial masyarakat terhadap kinerja pemerintahan.
(SUWARDIMAN/LITBANG KOMPAS)
3 Agustus 2015
www.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar