Rabu, 16 September 2015

Politik Membaik, Ekonomi Memburuk

Enam bulan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, tensi politik berangsur mulai mereda. Ketegangan antarelite dan antarlembaga hukum negara yang sempat memanas menunjukkan tanda-tanda melunak. Sayangnya, perbaikan bidang politik belum berdampak pada ketahanan ekonomi dan kekuatan hukum.

Persepsi masyarakat terhadap kinerja pemerintah di bidang politik dan keamanan memperlihatkan gejala membaik. Dibandingkan dengan tiga bulan lalu, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla di bidang politik dan keamanan menunjukkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Hasil survei Litbang Kompas di 33 provinsi yang dilakukan terhadap 1.200 responden menunjukkan, kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah di bidang politik dan keamanan pada tiga bulan lalu 60,7 persen, kini naik menjadi 67,8 persen.

Walaupun masih menyisakan sejumlah pertanyaan di bidang hukum, meredanya ketegangan antara lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian RI, DPR, dan Presiden memberikan suasana kehidupan bernegara yang lebih sejuk. Segregasi politik antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) juga semakin menipis.

Meski demikian, pemerintah belum bisa menahan memburuknya ekonomi masyarakat. Kenaikan harga barang dan jasa yang sebagian dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Persepsi yang ditimbulkan oleh kenaikan harga BBM ini sangat kuat memengaruhi penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Persoalan BBM menjadi pemicu yang sangat dominan menurunkan popularitas pemerintahan di era reformasi ini.

Tercatat, dalam enam bulan ini pemerintahan Jokowi-Kalla telah dua kali menaikkan harga BBM meski sempat dua kali menurunkan harga. Pada 17 November 2014, kurang dari sebulan setelah dilantik sebagai presiden, Jokowi mengumumkan harga premium dan solar masing-masing naik Rp 2.000 per liter. Kurang dari 1,5 bulan kemudian, 1 Januari 2015, harga premium diturunkan dari Rp 8.500 menjadi Rp 7.600 dan untuk solar dari Rp 7.500 menjadi Rp 7.250. Dua minggu kemudian, pada 16 Januari, pemerintah kembali menurunkan harga premium menjadi Rp 6.600 per liter dan solar menjadi Rp 6.400 per liter. Namun, pada 28 Maret, pemerintah kembali menaikkan harga BBM menjadi Rp 7.400 untuk premium dan Rp 6.900 untuk solar.

Gejolak akibat kebijakan menaikkan harga BBM meningkatkan ketidakpuasan masyarakat, terutama terhadap kinerja pemerintahan di bidang perekonomian. Kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla menurun drastis dibandingkan dengan tiga bulan lalu, dari 43 persen menjadi 25,4 persen.

Gejala penurunan kepuasan akibat menaikkan harga BBM sebenarnya tidak hanya terlihat pada pemerintahan Jokowi-Kalla, tetapi juga pada awal-awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri. Ketika pemerintahan SBY pada 1 Maret 2005 menaikkan harga premium sebesar 32 persen, pengaruhnya langsung terasa pada perekonomian. Melambungnya harga barang kebutuhan telah memperbesar ketidakpuasan masyarakat kepada pemerintahan. Kepuasan masyarakat, sebagaimana terekam dalam jajak pendapat Kompas pada enam bulan pemerintahannya, menunjukkan penurunan cukup tajam dari 47 persen menjadi 35 persen. Demikian pula pada masa pemerintahan Megawati, akibat kebijakan menaikkan harga BBM, kepuasan masyarakat turun dari 43 persen menjadi 22 persen pada masa enam bulan pemerintahannya.

Penghapusan subsidi BBM memang belum dapat diterima oleh masyarakat. Rata-rata pemerintahan baru memang membutuhkan cadangan keuangan yang besar untuk menjalankan berbagai program pembangunannya, tetapi ketika menyentuh soal penghapusan subsidi BBM, reaksi masyarakat selalu negatif. Penolakan tersebut tergambar jelas dari hasil survei ini, 79,2 persen responden menolak langkah presiden dalam hal menghapus subsidi BBM. Penolakan ini tidak saja disuarakan oleh kelompok sosial kelas bawah, tetapi juga kelas menengah dan kelas atas. Untuk membenahi citra pemerintahan, selain dibutuhkan kerja keras mengendalikan harga, tampaknya pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi yang lebih kreatif dan transparan guna menjelaskan manfaat penghapusan subsidi BBM.

Buruknya penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi, selain disebabkan persoalan BBM, tampaknya juga dikarenakan sejumlah hal, terutama memburuknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Walaupun penurunan nilai tukar mata uang menjadi gejala di banyak negara, pemerintah yang kurang aktif mengambil tindakan cenderung dinilai sebagai pihak yang tak berdaya. Memburuknya kondisi ekonomi juga disebabkan oleh melambungnya harga beras, sayuran, dan komponen daging. Diperlukan strategi pangan yang jitu untuk mengatasi persoalan beras saat impor akan dihentikan, cuaca masih tak menentu, dan panen raya yang tak signifikan menurunkan harga beras di pasaran.

Popularitas 

Memasuki enam bulan pemerintahannya, citra Jokowi sebagai presiden cenderung merosot. Jika pada triwulan sebelumnya 89,9 persen responden memandang citranya baik, kini turun menjadi 65,2 persen. Perubahan paling drastis terjadi pada responden yang dalam Pemilu 2014 memilih pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Kelompok pemilih ini tadinya mulai bisa menerima Jokowi sebagai presiden dan yang memandang citra Jokowi baik sebesar 78,8 persen. Sekarang, hal itu mulai berbalik dan penilaian baik hanya disuarakan 46,1 persen. Perubahan juga terjadi pada pemilih Jokowi-Kalla dalam memandang sosok Jokowi. Tiga bulan lalu, sebanyak 95,7 persen memandang citra Jokowi baik, tetapi kini menurun jadi 75,2 persen. Meski kepercayaan dari pendukungnya masih tinggi, hilangnya inklusivitas dari sumber-sumber dukungan lain dapat menutup peluang selanjutnya.

Berkurangnya dukungan kepada Jokowi sekaligus memunculkan kembali potensi rivalitas yang pada tiga bulan sebelumnya sempat terkubur. Hal ini mulai tampak pada enam bulan pemerintahan Jokowi, popularitasnya untuk dipilih jika pemilu dilakukan hari ini memang masih tertinggi, tetapi cenderung turun. Kalau sebelumnya dukungan mencapai 42,5 persen, kini menjadi 31 persen.

Sebaliknya, popularitas Prabowo kian naik, dari 13,8 persen menjadi 23,4 persen. Sosok yang juga memiliki peluang besar adalah presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono. Dukungan untuknya sekarang tercatat 3,6 persen, paling tinggi di luar nama Jokowi dan Prabowo. Sementara nama Wakil Presiden Jusuf Kalla didukung 1,1 persen suara. (Litbang Kompas)


BAMBANG SETIAWAN
www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar