ADA saatnya kita hanya ingin sendiri, berteman lagu-lagu kesedihan
lalu tanpa sadar meneteskan air mata-karena ada kenangan yang muncul
begitu sempurna dalam dada. Entah itu perihal sahabat, orang tua, serta
orang-orang terkasih terutama menyangkut kebersamaan yang belum kita
nikmati secara utuh, dimulai tawa, tatapan mata, hingga
percakapan-percakapan yang mencipta sesuatu penanda perihal ‘rasa’.
Lalu terpikir satu harap sederhana, ‘andai aku bisa mengulang itu
semua …’ Perlahan kita menghela napas, sambil memejamkan mata dan sekali
lagi kita hanya mampu menuliskan segalanya lewat tetes air mata.
Begitulah yang semakna dengan cinta; setelah pergi baru ada sesal
yang mengoyak jiwa, kesepian menjadi-jadi. Padahal saat melewati
kebersamaan kita kerap merasa biasa saja, harusnya kita menyadari
sesuatu yang sederhana kadang jauh lebih berharga dari segalanya.
Contohnya saat orang yang dicinta berujar, ‘aku lelah,’ itu bukan
keluhan tetapi upaya untuk melibatkanmu dalam segala hal menyangkut
hidupnya bahwa sebaik-baik tempat berbagi hanya kepada orang yang
dicintai. Dan kadang untuk perkara sederhana ini saja kita kurang
memahaminya.
Cinta itu memberi peluang orang yang dicinta untuk membuat nyaman,
jadi kenyamanan itu dimulai dari kesanggupan kita mendengar cerita orang
yang kita cintai-apapun itu, meski sekadar remeh temeh. Namun itulah
cara yang disediakan oleh orang yang kita cintai untuk kita masuki
kebijaksanaan, keluhuran, dan kesantunan hati yang membahagiakannya.
Percayalah, sesuatu yang kita maknai kesempurnaan justru kekurangan
yang diberikan pasangan untuk kita lengkapi. Sebab kesempurnaan itu
tercipta apabila kita menerima sesuatu yang belum sempurna dengan cara
sempurna-yakni melengkapinya melalui kerja ahlak dan tindak diri kita
sepenuh jiwa
30 Juli 2015 oleh: Arief Siddiq Razaan
https://www.islampos.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar