Rabu, 16 September 2015

Menjaga Pancasila Tetap Terbuka

Rabu malam tanggal 12 September 1984 menjadi malam tergelap di Tanjung Priok, Jakarta. Suara tembakan tak henti-hentinya memecah kesunyian malam. Benar-benar menjadi malam mencekam ketika korban-korban berjatuhan bergelimpangan di bawah berondongan senjata api aparat keamanan. Tablig akbar yang memang rutin berubah menjadi tragedi berdarah. Itulah peristiwa Priok, sebuah kisah tragis tentang pembungkaman, pembantaian, dan pelanggaran hak asasi manusia. Peristiwa Priok 1984 merupakan puncak "perlawanan" rakyat terhadap penguasa otoriter, salah satunya penolakan terhadap penerapan asas tunggal Pancasila, yang dianggap meminggirkan umat Islam.

Di tangan penguasa otoriter, sesuatu yang baik pun bisa mengerikan. Pancasila yang sejak merdeka 1945 menjadi dasar negara dan falsafah bangsa berubah menjadi doktrin kaku yang dipaksakan. Tidak becermin pada penguasa Orde Lama yang menjadikan Pancasila kaku dan indoktrinasi, penguasa Orde Baru malah membuat keputusan politik lebih mengerikan lagi dengan menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal tahun 1985. Pancasila dijadikan sebagai instrumen politik bagi penguasa untuk memperkuat kekuasaan dan mempertahankan status quo. Sepanjang kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun, Pancasila mengalami proses mistifikasi.

Wacana asas tunggal Pancasila berembus setelah Presiden Soeharto berpidato di depan DPR pada 16 Agustus 1982. Soeharto menyatakan bahwa semua partai politik (parpol) atau organisasi kemasyarakatan (ormas) harus berasaskan Pancasila. Hal itu kemudian dilegalkan dalam Ketetapan MPR Nomor II Tahun 1983. Pemerintah kemudian membuat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 yang menyatakan, semua partai politik dan Golkar harus berasaskan Pancasila. UU tersebut diterbitkan pada 19 Februari 1985. Lalu, peraturan untuk ormas dikeluarkanlah UU No 8/1985 pada Juni 1985. Kontan asas tunggal Pancasila menimbulkan gejolak.

Mengganti asas, terutama bagi parpol atau ormas yang berlandaskan Islam, merupakan pilihan yang sangat pahit. Meskipun demikian, tidak berarti tanpa perlawanan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan wadah partai-partai Islam sempat goyah karena Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) memilih keluar. Organisasi seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), misalnya, juga lebih memilih bergerak "di bawah tanah". Kooptasi penguasa Orde Baru terhadap parpol dan ormas memang luar biasa. Implikasi krisis politik tahun 1965 membuat penguasa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto sangat khawatir. Soeharto tidak ingin kekuasaannya terancam atau didongkel. Maka, setelah Pemilu 1971 Soeharto berhasil membangun sistem politik yang tertutup dan di bawah kontrol ketat dirinya. Sistem multipartai yang memang sering membuat politik tidak stabil di zaman demokrasi parlementer tidak lagi ditemukan.

Pada 1973, partai politik benar-benar dikerdilkan dan dikucilkan. Penguasa Orde Baru melakukan restrukturisasi partai politik. Hanya ada tiga kekuatan sosial politik yang terdiri atas dua parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan satu Golongan Karya (Golkar). Partai-partai Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Pergerakan Tarbiyah Indonesia (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dikerangkeng dalam PPP. Partai-partai berideologi nasionalis dan Kristen/Katolik disangkarkan di dalam PDI, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Ketika dua parpol diawasi ketat, Soeharto justru membangun Golkar sebagai "mesin politik" Orde Baru. Padahal, parpol semestinya menjadi jembatan antara pihak yang memerintah (the rulers) dan mereka yang diperintah (the ruled) (Budiardjo, 1994).

Namun, di era Orde Baru dua parpol tersebut bukan saja tidak mampu menjalankan fungsinya secara benar, melainkan juga benar-benar tak berkutik. Demokrasi seperti antara "ada dan tiada". Instrumen-instrumen demokrasi seperti pemilu atau lembaga legislatif memang ada, tetapi tak lebih dari prosedural, jika tidak ingin disebut sebagai demokrasi tipu-tipu. Dan, ketika asas tunggal Pancasila diterapkan, bukan demokrasi makin melemah, melainkan di sisi lain justru terjadi ketegangan dan kekerasan karena beberapa pihak melakukan perlawanan, baik terang-terangan seperti dalam kasus Priok maupun diam-diam bergerak "di bawah tanah".

Di bawah cengkeraman kekuasaan Soeharto, semua pihak yang menentang dianggap subversif dan inkonstitusional. Bahkan, pers pun dibuat tak berkutik. Meskipun dalam tekanan dan ancaman pemberedelan, pers seperti berupaya menggunakan kekuatan tersisa: mengkritisi secara proporsional penerapan asas tunggal Pancasila. Dalam headline di halaman utama edisi 28 September 1983, Kompas terlihat "menggugat" dan memberi warning dengan memberi judul "Penerapan Asas Tunggal Tidak Mengarah pada Proses Monolitik". Tiga narasumber kompeten dikutip, yaitu Ketua DPP Golkar R Sukardi, Ketua Umum DPP PDI Soe-nawar Soekowati, dan Wakil Ketua Umum DPP PPP H Nuddin Lubis, yang semuanya juga pimpinan DPR. Seperti lazimnya perilaku di era Orde Baru, nyaris tiada yang bersuara keras. Mereka menyatakan, penerapan asas tunggal Pancasila tidak akan mengarah pada tumbuhnya proses monolitik. Tidak akan terjerumus pada sistem partai tunggal karena terbuka kesempatan luas untuk memperjuangkan program masing-masing dengan penekanan berbeda.

Di bawah rezim Soeharto yang kuat, dengan memilih angle tersebut, Kompas mengingatkan bahwa asas tunggal Pancasila agar tidak dijadikan alat menuju kekuasaan tunggal (monolitik). Pilihan sudut pandang ini tentu saja bukan tanpa kecemasan mengingat dalam nuansa mistifikasi Pancasila, ideologi itu dianggap tabu. Tak hanya itu, posisi Kompas juga sangat berisiko mengingat lima tahun sebelumnya (1978) pernah diberedel dan tidak terbit beberapa hari.

Namun, dalam situasi tersebut secara sadar Kompas tetap menjadi pemberi informasi edukatif, kontrol sosial yang konstruktif, dan penyaluran aspirasi rakyat dalam komunikasi dan partisipasi publik. Bagaimanapun juga, menurut Roth (2001), pers telah memainkan peran penting dalam memberikan pengawasan internal pemerintah, kebebasan pers yang semakin baik menjadi prasyarat dan indikator utama demokrasi, pembangunan yang efektif dan berkelanjutan, serta tata kelola pemerintahan yang baik. Barangkali pers-khususnya Kompas di usia 50 tahun ini-jangan berhenti menjaga Pancasila sebagai ideologi yang hidup, terbuka, dan dinamis!

www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar