Eksistensi partai politik pasca Orde Baru dianalisis dalam dua pendekatan utama yakni perspektif
institusional dan perspektif kartel. Perspektif institusional digunakan untuk melihat dinamika perkembangan pelembagaan partai politik. Sementara perspektif kartel digunakan untuk menganalisis kecenderungan partai politik yang mengalami deideologisasi dan lebih berpikir secara pragmatis memperoleh kekuasaan sebagai tujuan utama.
institusional dan perspektif kartel. Perspektif institusional digunakan untuk melihat dinamika perkembangan pelembagaan partai politik. Sementara perspektif kartel digunakan untuk menganalisis kecenderungan partai politik yang mengalami deideologisasi dan lebih berpikir secara pragmatis memperoleh kekuasaan sebagai tujuan utama.
La Palombara (1996) menyebutkan bahwa institusionalisasi partai politik sendiri ada empat fungsi pelembagaan partai politik, yakni berburu kekuasaan, menuai dukungan publik secara luas dan menyeluruh, berorientasi agar panjang umur, dan memiliki struktur yang jelas. Dalam melakukan komparasi institusionalisasi partai politik Indonesia dengan negara lainnya, Mietzner menitikberatkan pada indikator struktur dan dukungan sebagai unit analisis.
Melalui pendekatan kuantitatif yang dikembangkan IDEA dan IFES serta juga pendekatan kualitatif, Mietzner mengambil kesimpulan bahwa institusionalisasi partai politik di Indonesia ”lebih baik” dibandingkan kasus negara-negara Eropa Timur, Amerika Latin, maupun Thailand dan Filipina. Nilai plus institusionalisasi partai di Indonesia terletak pada dukungan partai yang berasal dari organisasi sosial-tradisional masyarakat dan struktur partai yang mengedepankan paternalistik sebagai patron partai.
Institusionalisasi partai di Indonesia memiliki kemiripan dengan pengalaman Amerika Latin yang memiliki akar institusionalisasi partai dari gereja dan buruh. Namun demikian yang membedakan adalah nilai-nilai dukungan tradisional tersebut tidak memainkan peranan penting dalam pelembagaan partai karena kuatnya figuritas seperti halnya kasus Thailand dan Filipina.
Kartelisasi partai
Pembahasan kartelisasi yang dikemukakan oleh kedua akademisi tersebut hanya mengerucut pada kompetisi antarpartai. Hal itulah yang dianggap oleh Mietzner masih kurang dalam membahas kartelisasi dalam skop yang lebih luas. Melalui empat parameter Katz & Mair tersebut, Mietzner mulai menguliti kajian kartelisasi partai di Indonesia yang kemudian menurunkan beberapa temuan krusial.
Pertama, isu pembiayaan partai. Kajian pembiayaan partai ini merupakan titik krusial bagi partai dalam menjaga sumber aliran dana masuk ke kas partai. Dalam hal ini upaya penjagaan aliran dana tersebut dilakukan dengan cara menaikkan threshold, menempatkan kader dalam jabatan strategis pemerintahan, dan melakukan ceruk politik terhadap instansi pemerintahan tertentu.
Kedua, relasi ideologis berupa ”politik aliran” sendiri masih relevan dalam membahas relasi partai dengan masyarakat. Tumbuhnya partai-partai pasca Orde Baru memiliki ikatan ideologis dengan partai-partai politik sebelumnya dan juga memiliki ikatan kultural dengan organisasi massa. Kondisi tersebut menciptakan adanya patronase politik antara negara dan masyarakat.
Ketiga, faksionalisasi internal partai berlangsung secara laten di mana diferensiasi kepentingan antarelite partai dapat menumbuhkan partai satelit dan mendirikan kelompok oligarki kolektif dalam tubuh partai. Keempat¸ kompetisi antarpartai tidak berlangsung secara kompetitif, tetapi diselesaikan secara ”harmoni” dengan kekuasaan sebagai tujuan utama.
Secara garis besar, substansi buku Mietzner dalam menggambarkan secara makro kontekstualisasi dan eksistensi partai politik di Indonesia dari sudut pandang institusionalisasi maupun juga kartelisasi cukup baik. Namun demikian, pendalaman isu terhadap ketiga topik krusial Mietzner yakni uang, kuasa, dan ideologi belum didiskusikan secara mendalam.
Pembiayaan partai atas negara masih dimaknai sebagai bentuk penyanderaan negara oleh partai seperti yang tercermin dalam kasus politik kekinian. Analisa Dwipayana (2011) menunjukkan bahwa pembiayaan partai politik (kasus PDI Perjuangan) sendiri dibiayai oleh kader melalui skema pembiayaan gotong-royong. Selain itu, kajian pembiayaan partai sendiri juga belum membahas secara komprehensif mengenai pork barrel policy yang selama ini menjadi pintu masuk korupsi partai politik.
Relasi partai dengan organisasi massa sebenarnya sudah menjadi analisa klasik. Temuan menarik yang belum disentuh dalam substansi buku ini adalah munculnya gejala politik voluntarisme yang mengarah pada sikap partisan dan bukan bagian dari satuan organik partai. Mietzner mengkaji relasi masyarakat dengan partai dalam relasi organisasi sayap partai di masyarakat. Selain itu, dalam masalah ideologi, kontestasi nasionalis dan agamis tidaklah menjadi isu penting dalam mengkaji ideologi partai kekinian. Kini, publik lebih melihat program partai daripada sisi ideologinya.
Pada akhirnya, Mietzner membuka cakrawala baru terhadap kajian partai
politik di Indonesia pasca Orde Baru yang selama ini didominasi analisa
skeptis dan pesimis. Perlu adanya perspektif alternatif lainnya selain
kartelisasi dan institusionalisasi. Semoga kajian partai politik
mendapat banyak kajian lebih mendalam dan komprehensif.
22 Februari 2015
oleh; WASISTO RAHARJO JATI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar