Debat soal isu pasal penghinaan presiden sudah muncul sejak inisiatif
itu mencuat. Revisi UU KUHP dan KUHAPtentang pasal tersebut sudah
diajukan kepada DPR sejak 2009. Ketika itu, banyak pihak, termasuk pula
para politikus dari ”partai oposisi” PDIPmenolak keras usulan revisi
tersebut. Saat itu banyak yang menyebut apabila pasal tersebut akan
mengakibatkan kemunduran birokrasi dan memunculkan penjilat-penjilat.
Jika kemudian saat ini muncul lagi inisiatif revisi atas pasal
kontroversial itu, tentu harus pula dirunut lagi dengan jernih, mengapa
pasal yang sudah pernah menjadi kontroversi itu harus ”dikontroversikan”
lagi alias dimunculkan lagi? Jika dahulu ditolak, tentu sudah ada
alasan- alasan, argumen, kajian, dan solusi- solusi atas ketidakhadiran
pasal itu dalam KUHP dan KUHAP. Dari sisi itu saja, debat saat ini
terasa konyol.
Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 yang disiapkan pemerintah menyebutkan
bahwa ”setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil
presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Ayat selanjutnya menjelaskan, ”tidak merupakan penghinaan jika
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk
kepentingan umum atau pembelaan diri.” Kritik pertama harus diajukan
kepada para politikus yang tidak konsisten dan hanya berprinsip pada
kepentingan rezim yang dibelanya.
Ketidakkonsistenan itu tidak hanya terjadi pada perdebatan terkait
isu pasal penghinaan presiden, tetapi juga pada banyak hal menyangkut
kebijakan publik. Negara seperti selalu mulai dari nol untuk setiap
persoalan sehingga sulit untuk bergerak maju karena hanya berdasarkan
kepentingaan sesaat.
Terkait pasal penghinaan presiden, ada kecurigaan cukup kuat apabila
keinginan revisi itu muncul karena lingkaran kekuasaan tidak tahan lagi
menyaksikan, mendengar, atau membaca komentar-komentar yang ditujukan
kepada Presiden Joko Widodo.
Perkembangan komunikasi melalui media sosial ikut mendorong perilaku
komunikasi yang kebablasan, kebebasan berpendapat tidak dilandasi etika
dan kesantunan. Itulah pokok persoalannya. Dinamika komunikasi dewasa
ini membutuhkan penanganan yang komprehensif.
Penggunaan kekuatan hukum boleh-boleh saja, tetapi perlu diperkuat
dengan pendekatan sosiologis. Pada era keterbukaan informasi yang tidak
terbatas saat ini, penerapan pasal penghinaan bakal dikritik sebagai
tameng diktatorial. Para penghujat atau penghina itu sebaiknya cukup
ditindak dengan UU yang berlaku. Penerapan pasal karet lebih banyak
merugikan demokrasi.
http://berita.suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar