KASUS di Karubaga, salah satu distrik di Kabupaten Tolikara,
sekitar 265 kilometer arah barat daya Kota Jayapura, Papua, Jumat
(17/7), menyadarkan kita bahwa ternyata selama ini ada yang keliru dalam
memandang provinsi di wilayah paling timur negara republik ini.
Kita
tidak ingin masuk dalam persoalan gesekan antaragama di Karubaga. Kita
hanya ingin berkaca dan mengoreksi diri atas segala rentetan kejadian
yang muncul selama ini di Bumi Cenderawasih. Dari hati yang paling dalam
kita tidak ingin Papua selalu bergejolak dan memunculkan gesekan yang
sebenarnya tidak ingin kita kehendaki bersama, kecuali jika memang ada
yang menghendaki itu.
Kita masih ingat bagaimana
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyerukan untuk memberi hati
terhadap rakyat Papua. Namun yang terjadi ketika itu dan menurut
penilaian rakyat di sana: pemerintah belum sepenuhnya memberi hatinya
untuk Papua. Kekerasan apa pun bentuknya masih terjadi. Kini
ketika Jokowi menjadi presiden, perhatian terhadap Papua juga digiatkan.
Kita mencatat beberapa kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi
Papua di luar kampanye pemilihan presiden (pilpres). Jokowi bahkan ikut
merayakan Natal Nasional di Bumi Cenderawasih pada 27 Desember 2014. Keputusan
untuk ikut merayakan Natal di Papua berbeda dengan kebiasaan sebelumnya
bahwa Perayaan Natal Nasional selalu diadakan di Jakarta, ibu kota
negara.
Pada Juni 2015, Presiden Jokowi juga kembali
mengunjungi Papua. Dalam kunjungannya kali ini, Jokowi meresmikan
pengoperasian infrastruktur sistem jaringan tulang punggung pita lebar
(broadband) serat optik Sulawesi Maluku Papua Cable System (SMPCS) di
Manokwari, Papua Barat. Jokowi juga secara resmi telah
mencabut larangan jurnalis asing meliput di Papua. Hal menarik lainnya
adalah pemberian grasi kepada lima tahanan politik di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Abepura, Papua, pada 9 Juni 2015. Presiden bahkan
memberi jaminan keselamatan kepada eks tahanan politik Papua tersebut.
Kelima tahanan politik yang diberi grasi itu, yakni Apotnalogolik
Lokobal, Numbungga Telenggen, Kimanus Wenda, Linus Hiluka, dan Jefrai
Murib.
Tanpa hendak memihak dalam kasus bentrok berdarah,
Jumat pekan lalu di Karubaga, faktanya adalah muncul penembakan yang
dilakukan aparat terhadap rakyat di sana. Satu warga tewas dan belasan
lainnya dilaporkan luka-luka terkena peluru, walau ada klaim bahwa
tembakan diarahkan ke atas. Faktanya, ada korban yang tewas dan terluka
akibat terkena peluru.
Pascakejadian itu, Presiden
Jokowi memerintahkan penegak hukum untuk menyelesaikan persoalan di
Karubaga, membangun kembali fasilitas yang rusak di sana. Untuk itu,
Jokowi memberikan bantuan Rp 1 miliar. Kepala negara juga meminta semua
pihak sama-sama menenangkan situasi di Karubaga.
Kita
menyampaikan apresiasi dengan apa yang baru akan ditempuh presiden.
Paling tidak perhatian kepala negara itu bisa memberi suasana sejuk bagi
masyarakat Papua yang jujur saja selama ini merasa selalu ditinggalkan
pemerintah di Jakarta. Tidak cuma itu, teror dan intimidasi telah
menjadi bagian yang agaknya sulit terpisahkan dari masyarakat di sana.
Dalam
kaitan ini kita juga mengingatkan agar kebijakan Presiden Jokowi itu
patut ditindaklanjuti secara benar, terutama bagi aparat keamanan yang
bertugas di Papua. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan
(Kontras) mencatat sepanjang 2014, sedikitnya 27 kasus kekerasan di
Papua dilakukan aparat kepolisian; sedangkan militer terlibat dalam 14
peristiwa kekerasan dan pihak-pihak tidak dikenal sebanyak 21 peristiwa.
Sekali lagi kita meminta aparat keamanan yang
bertugas di Papua mengedepankan tindakan yang lebih humanis ketimbang
represif. Kita berharap ke depan tidak ada lagi tindakan tidak pantas
yang dilakukan aparat keamanan yang bertugas di Papua. Tidak ada lagi
aksi penembakan atau apa pun namanya yang melukai rakyat Papua. Di
samping hal itu, kita juga mengajak pemerintah di Jakarta untuk peka
terhadap persoalan kesejahteraan rakyat Papua. Perlu terobosan ekonomi
dari pemerintah pusat untuk membenahi persoalan perut di Papua.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) agaknya menjadi perhatian khusus. Dengan kualitas SDM yang mumpuni, kita berharap dana otonomi khusus (otsus) tidak terbuang begitu saja tanpa sasaran yang jelas. Intinya, untuk memecahkan permasalahan di Papua tidak hanya bisa dijawab dengan dialog dan langkah persuasif. Semua pihak harus menggunakan hati untuk membangun Papua. Jika mereka ada hati dan menganggap orang Papua sebagai orang Indonesia yang hidup di negeri Indonesia, mereka harus membangun dengan cinta kasih. Dengan demikian, kecemburuan-kecemburuan politik dan sosial jangan dibangun lagi di Papua dalam bentuk kekerasan.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) agaknya menjadi perhatian khusus. Dengan kualitas SDM yang mumpuni, kita berharap dana otonomi khusus (otsus) tidak terbuang begitu saja tanpa sasaran yang jelas. Intinya, untuk memecahkan permasalahan di Papua tidak hanya bisa dijawab dengan dialog dan langkah persuasif. Semua pihak harus menggunakan hati untuk membangun Papua. Jika mereka ada hati dan menganggap orang Papua sebagai orang Indonesia yang hidup di negeri Indonesia, mereka harus membangun dengan cinta kasih. Dengan demikian, kecemburuan-kecemburuan politik dan sosial jangan dibangun lagi di Papua dalam bentuk kekerasan.
Kasus di Karubaga menjadi catatan kekerasan terakhir di Bumi Cenderawasih. Jangan ada lagi yang menjadikan Papua sebagai “ladang permainan”, apalagi untuk tujuan politik adu domba; merobek-robek kebinekaan kita sebagai bangsa.
24 Juli 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar