Dua bulan setelah Presiden Joko Widodo “mengamuk” di pelabuhan berkaitan
kesemrawutan masa tunggu (dwelling time) pengurusan barang impor, kini
kepolisian mulai mengurai simpul-simpul penyebabnya. Polisi bahkan telah
menggeledah kantor pemerintah dan menangkap sejumlah orang yang
dianggap bertanggung jawab.
Menurut rencana, penyelidikan dilanjutkan
ke sejumlah instansi pemerintah karena pengurusan barang di pelabuhan
memang melibatkan beberapa kementrrian. Ternyata, sistem satu atap yang
diterapkan di pelabuhan tidak menutup lubang bagi pihak korup. Polisi
sudah menemukan unsur pidana dalam persoalan dwelling time ini dan akan
mengusutnya lebih jauh lagi.
“Kami berkesimpulan ada tindak
pidana, yaitu penyuapan dan gratifikasi, karena masalah perizinan di
Kemendag saat ini. Tetapi, kami akan mengusut kementerian dan 17
instansi lainnya,” kata Kapolda Metro Jaya, Irjen Tito Karnavian.
Persoalan
di pelabuhan sudah sangat semrawut. “Ada permasalahan sistem di sana.
Ada sistem satu atap, berisi 18 kementerian dan lembaga. Ada namanya
kegiatan pre-clearance yang meliputi kegiatan perizinan, ada clearance
di bea dan cukai, dan baru kemudian post-clearance untuk mengeluarkan
barang. Ada keterlambatan di ketiga bagian ini,” tutur Tito.
Pertengahan
Juni lalu, Jokowi melakukan inspeksi mendadak ke pelabuhan dan
menemukan kesemrawutan tersebut. Ia sangat tidak puas dengan
jawaban-jawaban yang dikemukakan sejumlah pejabat mengenai lambatnya
waktu tunggu untuk bongkar-muat barang. Kenyataan ini sangat merugikan
pengusaha karena peti kemas menumpuk dan biaya tunggu terus bertambah.
Ia
menginstruksikan dwelling time ini harus bisa ditekan. Penurunan
dwelling time merupakan sasaran penting yang harus dicapai pemerintah
untuk membantu dunia usaha mengurangi beban biaya.
Masalah ini
disadari sudah menjadi ganjalan selama bertahun-tahun. Terus-menerus
dikritik, tetapi tidak pernah ditangani dengan serius. Adanya pengurusan
dokumen satu atap ternyata tidak memperbaiki mutu pelayanan, tetap saja
rumit dan berbiaya tinggi.
Selain pembenahan oleh kementrian
terkait, Jokowi juga memerintahkan Polda Metro Jaya menyelidiki masalah
tersebut. Temuan sementara memperlihatkan ada pihak-pihak yang
memanfaatkan sistem satu atap dan mengutip uang dari para importir.
Siapa yang membayar, izin pengeluaran barangnya bisa dipercepat.
Sebaliknya yang tidak mau membayar akan dipinggirkan.
Ini
permainan lama yang menyebabkan efisiensi kita rendah. Itu sebabnya
peringkat kita sangat rendah terkait kemudahan berbisnis seperti dalam
laporan Bank Dunia yang bertajuk “Doing Business 2015”. Kita masih
berada di peringkat 114 dari 168 negara yang disurvei, masih jauh sekali
disbanding tetangga-tetangga kita di ASEAN. Posisi kita bahkan di bawah
negara-negara yang tidak populer sebagai tujuan investasi seperti Papua
Nugini, Trinidad, dan Tobago.
Masalah perijinan yang lama dan
berbelit, maraknya korupsi dan lemahnya penegakan aturan hokum selalu
menjadi sorotan investor karena sangat mengganggu dan menimbulkan
ketidakpastian. Pemerintah sangat menyadari kenyataan ini. Namun, tidak
jelas kenapa sangat sulit memperbaikinya. Salah satu asumsinya karena
korupsi sudah merasuk ke seluruh jajaran pemerintahan di semua
tingkatan, sehingga sangat sulit dari mana memulai memotongnya.
Kita
menyambut tindakan polisi menangkap tiga tersangka dalam rangkaian
penggeledahan kantor Kementerian Perdagangan dan menjadikan mereka
tersangka pidana. Kasus ini bisa dijadikan pintu masuk untuk mengurai
benang kusut dan memotong jaring-jaring mafia yang selama ini bermain di
pelabuhan. Kita percaya polisi memiliki cara untuk menyeledikinya lebih
lanjut sehingga siapapun yang terlibat, baik dari kementerian maupun
operator pelabuhan, harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
Penangkapan
ini bisa menjadi terapi kejut bagi aparat pemerintah yang selama ini
tenang-tenang saja menikmati kenyamanan mereka tanpa ada yang mengusik.
Padahal, kerugian yang diakibatkannya sangat besar. Jokowi bahkan pernah
menyebutkan angka kerugiannya mencapai Rp 780 triliun, meski banyak
pihak yang meragukan angka sebesar itu, namun tentu sangat besar.
Pemerintah
harus tegas menetapkan sasaran kelancaran bongkar muat barang harus
menjadi prioritas di seluruh pelabuhan di Indonesia. Apalagi, pemerintah
ingin meningkatkan konektivitas antar pulau sehingga pembersihan
tersebut harus menjangkau pelabuhan-pelabuhan besar lainnya. Ini masalah
efisiensi distribusi dan arus logistik yang masih menjadi masalah besar
di negeri ini.
Namun, kita mengingatkan pemerintah agar tidak
mengendorkan kewaspadaannya demi alasan kelancaran arus barang. Jangan
sampai prioritas Jokowi ini dimanfaatkan para penyelundup yang justru
bisa lebih leluasa memasukkan barang mereka. Dalam kondisi kita perketat
pun, volume barang selundupan sangat besar, apalagi kalau kita
perlonggar dan sembrono dalam meloloskan barang.
Kewaspadaan
tersebut sangat penting karena kita akan tetap menjadi sasaran empuk
para penyelundup. Pasar kita sangat besar, wilayahnya luas, aparatnya
mudah disogok, peraturan pun bisa diakali. Kewaspadaan harus tetap
ditingkatkan, tanpa mengganggu upaya perbaikan pelayanan kepada dunia
usaha yang memang sangat dibutuhkan.
31 Juli 2015
http://www.sinarharapan.co/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar