Ada yang bilang kena karma. Tapi bila tidak memercayai, tak salah
bila dikatakan ngundhuh wohing pakarti atau menanggung akibat dari
perbuatan sendiri. Itulah yang menimpa Jusuf Kalla saat ini. Bagaimana
bisa wapres ditantang berdebat di depan publik justru oleh Menko
Kemaritiman Rizal Ramli, yang baru ditunjuk menggantikan Indroyono
Soesilo pada 12 Agustus lalu?
Begitu dilantik, Rizal yang setelah lepas dari jabatan menko
perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu menjadi pengamat
langsung mengumbar pernyataan kontroversial;
Pertama, ia meminta proyek
KA cepat Jakarta-Bandung dibatalkan karena banyak pejabat ”bermain”.
Kedua, meminta pemerintah membatalkan rencana pembelian 30 Airbus A350
untuk Garuda Indonesia dengan dalih akan merugikan BUMN itu.
Ketiga,
meminta evaluasi proyek listrik 35.000 mw yang disebutnya proyek
ambisius JK.
Sepintas tak ada yang salah dari kritiknya itu, terutama
substansinya. Masalahnya, kini dia bukan lagi pengamat melainkan menko
sehingga tidak pada tempatnya melontarkan autokritik secara terbuka.
Dalam bahasa JK, tidak etis.
Begitu kritikannya mendapat respons balik dari JK dengan nada keras
yang menyebut Rizal kurang akal dan tidak paham, pria kelahiran Padang
60 tahun lalu yang dipenjarakan rezim Orde Baru semasa jadi mahasiswa
ITB itu melancarkan jurus yang disebutnya ”rajawali ngepret”. Ia
menantang JK berdebat di depan publik soal proyek listrik 35.000 mw yang
ia yakini tidak bakal tercapai.
Bagaimana bisa seorang menteri menantang wapres? Sekali lagi, ini tak
lepas dari filosofi ngundhuh wohing pakarti, sebagaimana diyakini oleh
banyak orang Jawa. Bukankah hati manusia ibarat cermin, apa yang
terpancar bakal memantul?
Saling Kritik
Itulah yang terjadi dengan JK. Selama ini, pernyataan dan sikap JK
kerap berseberangan dengan Jokowi. Misalnya, soal dugaan kriminalisasi
aktivis antikorupsi dan pimpinan KPK, tatkala Jokowi menginstruksikan
Polri jangan ada kriminalisasi, JK justru bersikap sebaliknya. JK
mengkritik Denny Indrayana, Bambang Widjojanto, dan Yunus Husein yang
dianggapnya tidak sportif dengan meminta dukungan masyarakat atas kasus
yang membelit mereka. JK menyebut ketiganya membela diri dengan
membentuk opini publik.
Kedua, soal kisruh PSSI. JK memerintahkan Menpora Imam Nahrawi
mencabut SK pembekuan organisasi itu ketika Jokowi justru memerintah
sebaliknya, bahkan meminta Menpora mempertahankan pembekuan PSSI.
Ketiga, soal revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK: Jokowi menolak
revisi, JK justru mendukung revisi.
Sebelum Pilpres 2014, JK juga pernah menyatakan Indonesia bisa hancur
bila Jokowi jadi presiden. Faktanya, ia bersedia ketika digandeng
Jokowi menjadi cawapres dan kemudian terpilih. Dari sisi transparansi,
sejatinya saling kritik antarmenteri, bahkan antara menteri dan wapres,
sah dan baikbaik saja karena bisa membuka kotak pandora. Segala dugaan
kebobrokan oknum-oknum eksekutif akan terlontar keluar.
Dari sini bisa ketahuan siapa menteri yang punya kepentingan pribadi
dan konflik kepentingan atas kebijakan- kebijakan pemerintah. Seperti
katakanlah beroleh feedback dan kickback, dan mana yang tidak.
Pemerintahan yang bersih dan transparan pun akan terwujud.
Namun dari sisi soliditas, saling kritik antaranggota kabinet akan
menciptakan kegaduhan politik dan inefisiensi kinerja yang berdampak
pada ketidakpercayaan publik. Sebagai eksekutif, seorang menteri adalah
eksekutor kebijakan, bukan pengamat. Jadi, mestinya bukan sepi ing gawe
rame ing pamrih. Pak Rizal harus bisa empan papan(melihat situasi dan
kondisi).
Tampaknya bagi JK patut merenungkan apa yang ditulis Adhie Massardi,
yang kemudian Rizal meminta khalayak membacanya. Dalam esainya, mantan
jubir Gus Dur itu menulis, ”Kalau saja Pak JK hadir sebagai negarawan,
yang tindak-tanduknya hanya demi kemaslahatan rakyat, negara, dan bangsa
serta tidak memiliki konflik kepentingan, tak akan muncul kegaduhan
politik di level kabinet seperti sekarang.
22 Agustus 2015
berita.suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar