Fokus ke pencegahan ketimbang penindakan. Tepatkah pilihan sikap
Presiden Joko Widodo ini dalam memerangi korupsi? Aspek-aspek yang
mengarah agar bukan penindakan yang lebih dititikberatkan, mewarnai
opini elite kekuasaan, misalnya lewat pernyataan skeptik, ”sudah banyak
menteri, gubernur, bupati/ wali kota, anggota DPR, dan pejabat yang
diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi nyatanya
kejahatan itu masih jalan terus”.
Pernyataan berikut kita catat dalam pertemuan Jokowi dengan para
gubernur, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi di
Bogor, Senin lalu.
Di antara penyebab rendahnya penyerapan anggaran, katanya, karena
pejabat daerah takut dikriminalkan ketika membuat kebijakan. Upaya
terobosan atau percepatan pelaksanaan pembangunan tidak boleh dibuat
takut; tetapi silakan dipidanakan sekeras-kerasnya kalau terbukti
mencuri.
Antara pencegahan dan penindakan sesungguhnya merupakan sikap yang
berdiri sendiri-sendiri, namun bisa dipertautkan untuk saling menopang.
Pencegahan bisa dilakukan melalui penindakan, sebagai refleksi atau
pengaruh yang bersifat penjeraan.
Sebuah langkah penindakan dengan gema yang kuat akan menebarkan
ketakutan bagi para calon pelaku korupsi, menimbulkan efek peminimalan
kemungkinan terjadinya repetisi perbuatan. Atau, pencegahan dilakukan
dengan memperkuat sistem. Dari regulasi, revitalisasi kelembagaan, dan
penguatan sumberdaya manusia. Semua celah ditutup untuk mencegah
penyelewengan atau niat melakukan.
Akan tetapi, apakah sistem dan kelembagaan yang sekarang ada tidak
cukup mampu menjadi pencegah? Apakah dengan demikian kita menyimpulkan
SDM di dalam sistem dan kelembagaan yang menjadi sumber masalah?
Atmosfer ketakutan dalam menggunakan anggaran hakikatnya merupakan sikap
preventif. Namun menjadi tidak produktif dari sisi orientasi
pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Kegesitan birokrasi dalam menyelesaikan persoalan, karena
pertimbangan ketakutan mengambil keputusan, pasti akan terpengaruh. Lalu
apakah temuan Badan Pemeriksa Keuangan bisa dilihat secara cermat dari
aspek ”niat” dan ”bakat” untuk korupsi? Yang sesungguhnya sedang
berlangsung sekarang adalah gegar budaya birokrasi dalam tema reformasi:
menuju transparansi dan akuntabilitas.
Ada zona nyaman yang terusik oleh ketatnya regulasi dan bentuk-bentuk
pertanggungjawaban, sementara satu kaki masih berada di zona kultur
lama. Permintaan Presiden Jokowi kepada KPK dan lembaga-lembaga hukum
yang lain, kita posisikan sebagai pertimbangan dengan melihat proporsi
dan urgensinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar