Sabtu, 29 Agustus 2015

Parlemen Pengemplang Uang Rakyat

Tidak perlu terburu-buru reaksioner atau emosional ketika membaca pernyataan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang meminta agar legislatif membuktikan diri bukan sebagai pengemplang uang rakyat alias koruptor. Secara khusus, Gubernur meminta DPRD benar-benar menjadi rumah rakyat, bukan sarang pengemplang uang rakyat. Peringatan itu terasa keras dan tegas, namun sungguh tepat untuk dijadikan landasan refleksi bagi legislatif.

Stigma koruptor sudah sangat melekat pada anggota legislatif dan politikus. Temuan-temuan dan ekspose kasus-kasus korupsi dirasakan oleh publik didominasi para politikus. Publik mempersepsikan bahwa parlemen adalah sarang koruptor melebihi lembagalembaga lainnya. Para politikus berkewajiban untuk membersihkan diri dari stigma itu dan tidak ada cara lain membersihkan parlemen selain dengan menolak setiap tindakan korupsi.

It takes two to tango, demikian peribahasa untuk menggambarkan tindakan korupsi. Perbuatan korupsi tidak mungkin dilakukan seorang diri tetapi selalu harus melibatkan pihak lain. Pembuktian dan pembersihan korupsi di parlemen seharusnya dapat dijadikan pijakan langkah yang kuat untuk memberantas korupsi, yang sampai saat ini masih menggurita di semua sektor dan sulit untuk diberantas sampai tingkat seminimal mungkin.

Berdasarkan data yang pernah dihimpun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), anggota DPRD memang menduduki peringkat ketiga terbanyak sebagai koruptor. Berturut-turut dari yang terbanyak berdasarkan persentase latar belakang koruptor adalah, eksekutif (34,29%), swasta (17.96%), legislatif (17,55%), wali kota/ bupati (8,98%), gubernur (3,27%), komisioner (2,86%), kepala lembaga/ kementerian (2,45%), duta besar (1,63 %), dan hakim (0,41%).

Sebanyak 10,61 persen berlatar belakang beragam tidak termasuk sembilan kategori tersebut. Kategori eksekutif pada data KPK tersebut adalah pegawai negeri eselon I, II, dan III. Apabila digabung dengan kepala daerah tingkat I dan II, maka persentase menjadi 46,54%. Artinya, nyaris separo koruptor berasal dari lembaga eksekutif. Makna dari data itu adalah, eksekutif dan legislatif masih ”layak” untuk menyandang predikat sebagai sarang koruptor.

Ultimatum pembuktian oleh Gubernur Ganjar Pranowo sangat relevan untuk pijakan yang kokoh bagi upaya pemberantasan korupsi secara lebih massif dan intensif. Ketimbang saling tuding kepada pihak-pihak lain yang masih mendominasi kasus korupsi, lembaga legislatif dapat memosisikan diri sebagai pusat pemberantasan korupsi. Apabila parlemen bersih, dapat diyakini bahwa eksekutif dan kelompok-kelompok lain juga akan dipaksa bersih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar