Tidak perlu terburu-buru reaksioner atau emosional ketika membaca
pernyataan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang meminta agar
legislatif membuktikan diri bukan sebagai pengemplang uang rakyat alias
koruptor. Secara khusus, Gubernur meminta DPRD benar-benar menjadi rumah
rakyat, bukan sarang pengemplang uang rakyat. Peringatan itu terasa
keras dan tegas, namun sungguh tepat untuk dijadikan landasan refleksi
bagi legislatif.
Stigma koruptor sudah sangat melekat pada anggota legislatif dan
politikus. Temuan-temuan dan ekspose kasus-kasus korupsi dirasakan oleh
publik didominasi para politikus. Publik mempersepsikan bahwa parlemen
adalah sarang koruptor melebihi lembagalembaga lainnya. Para politikus
berkewajiban untuk membersihkan diri dari stigma itu dan tidak ada cara
lain membersihkan parlemen selain dengan menolak setiap tindakan
korupsi.
It takes two to tango, demikian peribahasa untuk menggambarkan
tindakan korupsi. Perbuatan korupsi tidak mungkin dilakukan seorang diri
tetapi selalu harus melibatkan pihak lain. Pembuktian dan pembersihan
korupsi di parlemen seharusnya dapat dijadikan pijakan langkah yang kuat
untuk memberantas korupsi, yang sampai saat ini masih menggurita di
semua sektor dan sulit untuk diberantas sampai tingkat seminimal
mungkin.
Berdasarkan data yang pernah dihimpun oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), anggota DPRD memang menduduki peringkat ketiga terbanyak
sebagai koruptor. Berturut-turut dari yang terbanyak berdasarkan
persentase latar belakang koruptor adalah, eksekutif (34,29%), swasta
(17.96%), legislatif (17,55%), wali kota/ bupati (8,98%), gubernur
(3,27%), komisioner (2,86%), kepala lembaga/ kementerian (2,45%), duta
besar (1,63 %), dan hakim (0,41%).
Sebanyak 10,61 persen berlatar belakang beragam tidak termasuk
sembilan kategori tersebut. Kategori eksekutif pada data KPK tersebut
adalah pegawai negeri eselon I, II, dan III. Apabila digabung dengan
kepala daerah tingkat I dan II, maka persentase menjadi 46,54%. Artinya,
nyaris separo koruptor berasal dari lembaga eksekutif. Makna dari data
itu adalah, eksekutif dan legislatif masih ”layak” untuk menyandang
predikat sebagai sarang koruptor.
Ultimatum pembuktian oleh Gubernur Ganjar Pranowo sangat relevan
untuk pijakan yang kokoh bagi upaya pemberantasan korupsi secara lebih
massif dan intensif. Ketimbang saling tuding kepada pihak-pihak lain
yang masih mendominasi kasus korupsi, lembaga legislatif dapat
memosisikan diri sebagai pusat pemberantasan korupsi. Apabila parlemen
bersih, dapat diyakini bahwa eksekutif dan kelompok-kelompok lain juga
akan dipaksa bersih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar