PRO-KONTRA tentang pasal penghinaan kepala negara dalam revisi Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih terus bergulir. Presiden Jokowi
baru-baru ini mengatakan, masuknya pasal itu dimaksudkan untuk memberi
perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang mengkritisi dan mengawasi
pemerintah. Bila tidak ada ketentuan pasal itu dikhawatirkan mereka
dapat dipidana dengan pasal karet.
Apakah masih diperlukan pasal itu masuk dalam revisi UU KUHP? Apalagi
tahun 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut pasal penghinaan
kepala negara karena dinilai bertentangan dengan konstitusi? Bukankah
putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga bila pasal ini
dipaksakan masuk RUU KUHP, apakah tidak muncul masalah? Dalam draf
revisi KUHP yang diserahkan pemerintah kepada DPR tercantum Pasal 263
dan 264 tentang tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil
presiden. Disebutkan, tiap orang yang di muka umum menghina presiden
atau wakil presiden akan dipidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 400.000).
Yang dimaksud penghinaan adalah menyiarkan, mempertunjukkan,
menempelkan tulisan dan gambar, serta memperdengarkan rekaman kepada
umum berisi penghinaan terhadap kepala negara. Draf ini tengah dibahas
DPR dan tiap fraksi di Komisi III sedang menyusun daftar inventarisasi
masalah (DIM). Kalau nanti DPR menyetujui pasal tersebut, itu berarti
kemunduran mengingat pasal penghinaan kepala negara ini bermasalah.
Artinya tahun 2006 MK telah membatalkan pasal ini dengan substansi sama.
Mahkamah Konstitusi menghapus Pasal 134, 136, dan 137 KUHP karena
dianggap mengancam kebebasan berpikir dan berpendapat, serta prinsip
kesetaraan hukum dalam kehidupan demokrasi. Mungkin masih jelas dalam
ingatan kita kejadian masa lalu, betapa banyak aktivis dijerat dengan
tuduhan menghina presiden, semisal Sri-Bintang Pamungkas, Nuku Sulaiman,
Yenny Rosa Damayanti, Mochtar Pakpahan dan sebagainya.
Tapi berkat permohonan para aktivis, pasal itu akhirnya gugur dalam
sidang MK 2006. Pasal ini sering disebut pasal karet dan ampuh untuk
menangkap demonstran yang mengkritik presiden. Selain itu ampuh untuk
membungkam lawan politik presiden melalui polisi dan kejaksaan. Untuk
itu, atas nama rasa keadilan dan kemanusiaan, pasal penghinaan presiden
dan wakil presiden sudah tak diperlukan lagi.
Termasuk mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai sosial dalam
masyarakat demokrasi sehingga delik penghinaan tidak boleh dibiarkan
untuk menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah (presiden). Karena
itu, menarik melihat kembali putusan MK tahun 2006 yang telah menghapus
peluang penggunaan Pasal 134, 136, dan 137 KUHP.
Pada pemerintahan Presiden SBY, ada dua kasus terkait penggunaan
pasal itu, yakni kasus yang menimpa Herman Saksono dan Eggi Sudjana.
Dalam kasus Herman, blogger asal Yogyakarta itu harus berurusan dengan
polisi lantaran dituding menghina presiden. Herman merekayasa foto
Mayangsari berpose bersama Bambang Trihatmodjo kemudian diganti wajah
Presiden SBY dan sejumlah figur populer.
Jalani Pemeriksaan
Akibatnya, Herman harus menjalani pemeriksaan di kantor polisi meski
SBY tidak berkeinginan memperpanjang masalah itu. SBY hanya berpesan
bahwa perbuatan itu tidak bermaksud menghina, Herman cukup dinasihati.
Rupanya pesan SBY berpengaruh terhadap proses pemeriksaan. Setelah
Herman bersedia menghapus foto hasil rekayasanya itu, pemeriksaan polisi
pun berhenti.
Kemudian Eggi dianggap menghina Presiden SBY lantaran Eggi menemui
Ketua KPK Taufiequrachman Ruki guna mengklarifikasi adanya rumor
pemberian hadiah beberapa mobil dari seorang pengusaha kepada SBY dan
orang di Istana. Masalah ini muncul ketika Eggi menyampaikan rumor
tersebut kepada wartawan. Setelah menjalani proses pemeriksaan di
kepolisian, Eggi disidang dalam perkara pidana berkenaan penghinaan
terhadap Presiden SBY.
Dalam konteks itu, MK telah menorehkan sejarah dalam proses demokrasi
dan demokratisasi. Delik penghinaan terhadap presiden merupakan delik
biasa, artinya sepanjang unsur deliknya terpenuhi maka lengkaplah tindak
pidana yang dilakukan seseorang atau sekelompok untuk tindak pidana
tersebut.
Presiden tak perlu membuat pengaduan untuk memproses tindak pidana
itu. Kepolisian dari sisi hukum bisa memproses langsung tanpa harus
menunggu persetujuan presiden. Delik ini memang sering dipakai polisi
untuk memproses aktivis demokrasi yang mengkritik pemerintah. Pasal ini
berdasarkan epistemologi hukum, sejatinya dibuat untuk melindungi
pemerintah Hindia Belanda dari kritikan pejuang kemerdekaan terhadap
praktik busuk kolonialisme di Nusantara.
Tidak heran, bila setelah kemerdekaan hingga Orde Baru, penggunaan
pasal penghinaan terhadap kepala negara mendapat kecaman luas, seperti
reformasi sekarang.
Kalau berpijak pada argumen bahwa berpolitik adalah bernegara dan
bernegara adalah berkonstitusi maka delik penghinaan terhadap presiden
tidak perlu lagi untuk membungkam aktivis yang mengkritik kebijakan
pemerintah.
Karena arti penghinaan itu, menurut Prof JE Sahetapy dan Prof
Mardjono Reksodiputro, harus menggunakan pengertian dalam Pasal 310-321
KUHP sehingga tidak perlu ada delik penghinaan terhadap presiden-wakil
presiden. Jika pasal itu kembali dihidupkan dalam revisi KUHP yang
dibahas DPR, ini merupakan kemunduran pemerintahan Jokowi dan
bertentangan dengan spirit demokrasi era reformasi.
http://berita.suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar