Dalam literatur
kependudukan, inilah yang disebut migrasi berantai (chain migration).
Kisah manis para perantau menyebabkan orang-orang berbondong-bondong ke
kota untuk mengikuti jejak kesuksesan mereka. Permasalahannya, para
pendatang baru tersebut tidak semuanya memiliki skill memadai dan bekal
pendidikan yang mumpuni. Kehadiran orang-orang yang tergolong unskilled
worker, sebab miskin ekonomi dan kapabilitas, hanya menambah jumlah
penganggur dan kemiskinan di kota. Ditambah beragam ekses negatif
migrasi lainnya, semisal meluasnya permukiman kumuh, munculnya masalah
estetika, serta meningkatnya angka kriminalitas.
Realitas
di atas mengindikasikan bahwa urbanisasi di Indonesia lebih bersifat
urban involution; pertumbuhan sektor informal yang begitu pesat
dibanding sektor industri menjadi faktor utama kemunduran kota. Dengan
bekal pendidikan dan keterampilan yang rendah, tenaga kerja dari desa
tidak mampu bersaing di sektor formal. Asal mendapat uang, apa pun jenis
pekerjaannya dilakukan. Bahkan, tak jarang mereka rela mengorbankan
martabat dan harga diri. Ini merupakan solusi yang realistis agar kaum
migran tetap bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan kota yang
serbakeras. Saat proses involusi sektor pertanian di desa menjadikan
lapangan kerja menyempit, sektor informal adalah pilihan paling logis.
Sejumlah
kajian menyimpulkan, kehadiran kaum migran di kota-kota besar merupakan
respons terhadap pembangunan antardaerah yang kurang merata, meluasnya
tingkat pengangguran, dan merebaknya kemiskinan di pedesaan. Dengan
demikian, perkembangan jumlah migran di berbagai kota besar lebih
merupakan imbas terjadinya bias urban dalam pembangunan daripada faktor
internal dalam diri mereka sendiri (Bagong Suyanto, 2014).
Di
samping mengundi nasib dan memperbaiki status sosial, ada juga penduduk
desa yang bermigrasi ke kota untuk melanjutkan studi di perguruan
tinggi. Kelompok terakhir inilah yang menjadi tumpuan bagi berkembangnya
desa. Sebagai migran berpendidikan, mereka sebenarnya mampu menggali
akar kemunduran tanah kelahiran untuk kemudian mengadakan perbaikan.
Sayangnya, setelah mengantongi ijazah, mereka justru bertahan di kota
dan enggan kembali ke desa. Selama ini, pendidikan secara tidak langsung
turut membentuk mentalitas priayi. Warisan ide kolonial yang
mengejawantah pada sistem pendidikan di negeri ini membuat banyak
lulusan perguruan tinggi bermimpi menjadi pegawai dengan gaji bulanan,
tunjangan, pangkat, serta gengsi.
Saat ini, kaum
terpelajar terperangkap oleh paradigma bahwa kebahagiaan dan kesuksesan
diukur dari kekayaan materi dan hidup di kota. Kerja merupakan tujuan
akhir studi. Kerja menjadi indikator utama pendidikan yang berhasil.
Narasi pendidikan melihat bahwa mereka yang sukses dalam pendidikannya
adalah pekerja bergaji tinggi. Meskipun dalam kenyataannya, ketimbang di
desa, biaya hidup di kota relatif lebih mahal (Junaidi Abdul Munif,
2013). Menetapnya kaum terpelajar di kota berimplikasi pada semakin
berkurangnya sumber daya manusia (SDM) di pedesaan. Mereka yang didaulat
sebagai aktor utama pembangunan desa justru tergiur dengan peluang
kerja serta tingginya gaji di perkotaan.
Generasi
muda dengan mentalitas priayi hanya akan menjadi “manusia kantor”. Di
balik status sosial dan kehormatan, mereka sebenarnya telah tercerabut
dari akar kehidupan tradisional akibat godaan konsumerisme materialistis
dan rasionalisme sekularistis. Hal ini diperparah dengan anggapan bahwa
kota adalah masa depan. Kota merupakan komunitas imajiner (imagined
community) yang merepresentasikan kekayaan, kemajuan, dan kemewahan.
Orang-orang yang menghirup udara perkotaan adalah mereka yang berikhtiar
meninggalkan kemiskinan, kemunduran, dan keterbelakangan.
Revitalisasi Desa
Kebijakan
pemerintah daerah dalam meredam laju migrasi penduduk desa ke kota
terbukti kurang efektif. Program Operasi Bina Kependudukan (OBK) di
Jakarta, misalnya. Kebijakan yang bertujuan membatasi pergerakan migran
dari luar kota tersebut berangkat dari asumsi bahwa migrasi merupakan
penyebab membeludaknya jumlah penduduk Jakarta sebesar 10,1 juta jiwa
(tahun 2015) yang rentan memancing problematika kependudukan. Melarang
migran tinggal di kota tentu bukan solusi yang menyentuh akar persoalan.
Selama ini, mayoritas kebijakan pemerintah daerah terkait migrasi
hanyalah siasat “pemadam kebakaran” yang manfaatnya tidak dapat
dirasakan dalam jangka panjang. Gejala-gejala ketimpangan pembangunan
antara daerah perkotaan dan pedesaan masih ditemukan, urbanisasi
merupakan proses alami yang tak bisa dimungkiri. Oleh sebab itulah,
pembangunan desa merupakan keniscayaan.
Revitalisasi
desa harus diagendakan demi mewujudkan cita-cita UU No 6/2014 tentang
Desa: membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat desa dalam
negara kesatuan. Revitalisasi desa dapat membendung arus urbanisasi.
Hasrat penduduk desa merantau ke kota melemah. Keinginan para sarjana
untuk tinggal di kota meredup. Jumlah kaum terpelajar priayi menurun.
Lebih jauh, simbol kemandirian, kenyamanan, dan kesejahteraan melekat
pada desa. Dengan revitalisasi, desa menjadi kanal pemberdayaan yang
mampu mendongkrak taraf hidup dan kesejahteraan penduduk desa. Dalam
merealisasikannya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama,
setiap kota/kabupaten tidak boleh memupuk egoisme. Koordinasi yang
intens antarpemerintah daerah harus terjalin demi penyediaan lapangan
kerja dan perencanaan ketenagakerjaan yang matang. Kedua, perekonomian
pedesaan harus diperbaiki dengan menggenjot aktivitas ekonomi di luar
usaha tani (off-farm). Menjamurnya usaha kecil-menengah, perdagangan,
dan jasa di desa berdampak pada meningkatnya diversifikasi sumber
pendapatan penduduk desa. Dengan demikian, terdapat penghasilan lain di
samping ekonomi usaha tani (on-farm) (Kadir, 2014). Ketiga, sebagian
Alokasi Dana Desa (ADD) yang begitu besar sebaiknya dialokasikan untuk
“menghidupkan” dan “menghidupi” Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang
menjadi katalisator pertumbuhan produktivitas penduduk desa.
Pengembangan 69.000 BUMDes yang menjadi cita-cita pemerintahan Jokowi-JK
tidaklah mustahil.
Jika ketiga hal di atas menjadi
agenda bersama, baik para pemangku kebijakan, stakeholder, maupun semua
elemen masyarakat, desa mampu merintis fondasi peradaban yang darinya
lahir insan-insan genial.
Penulis adalah esais, peneliti, dan dosen STAI Attanwir Bojonegoro.
07 Agustus 2015 oleh:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar