Mereka sebenarnya telah tercerabut dari akar kehidupan tradisional
akibat godaan konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis. Warisan ide kolonial yang mengejawantahkan sistem pendidikan di
negeri ini membuat banyak lulusan perguruan tinggi bermimpi menjadi
pegawai dengan gaji bulanan, tunjangan, pangkat, serta gengsi. Riza
menuliskan, generasi muda dengan mentalitas priayi hanya akan menjadi
“manusia kantor”.
Di balik status sosial dan kehormatan, mereka
sebenarnya telah tercerabut dari akar kehidupan tradisional akibat
godaan konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis.
Sayangnya, Riza tidak memaparkan fakta sejarah kolonial yang
menggerakkan para calon priayi datang ke kota. Tulisan ini hendak
melengkapi agar terlihat jelas benang merah sejarahnya.
Kota Jakarta
masih menjadi jujugan (tempat tujuan) utama bagi kaum perantau. Bahkan
sampai ada guyonan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) saja kepincut atau
tergoda meninggalkan tanah Surakarta demi merengkuh mimpi politiknya di
Ibu Kota. Boleh dikatakan, presiden ketujuh republik ini adalah wong
nglembara atau manusia perantau.
Seabad lampau, sebelum
Batavia padat penduduk dan menawarkan gula-gula bagi kaum perantau,
sesungguhnya Kota Solo merupakan daerah favorit warga dusun yang
bersemangat mencari sesuap nasi dan bermobilitas sosial. Dari pembedahan
dokumen sejarah, tergambar kota yang di era kolonial disebut sebagai
“tempat jantung Jawa berdetak” ini ternyata lebih unggul selangkah
dibandingkan Jakarta. Dibilang unggul lantaran ada dua kerajaan
tradisional pewaris Mataram Islam yang pamornya masih kuat, yaitu
Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran.
Lapangan pekerjaan di kota ini
tersedia luas karena lembaga tradisional tersebut rajin merekrut ratusan
pegawai untuk melancarkan roda pemerintahan, didukung fasilitas
perkotaan yang lumayan maju. Semua itu magnet bagi wong ndeso untuk
datang dan mengubah nasib.
Manusia pengembara dari pelosok
Wonogiri, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo, dan Boyolali tempo dulu mbatur
(menjadi pembantu rumah tangga) di keluarga bangsawan dan priayi.
Mereka mengincar profesi sebagai abdi dalem kerajaan selepas melewati
proses nyuwita (magang) di rumah para ndara.
Sedari awal, remaja
kampung diperbolehkan orang tuanya angkat kaki dengan secuil syarat,
yakni tetap memegang teguh ungkapan klasik “ngluyur yo ben anggere
lancur dan mlincur yo ben anggere oleh pitutur”.
Para batur yang
notabene wong cilik ini berangkat ke kota bukan sekadar memenuhi
kebutuhan perut. Mereka hendak pula mengatrol derajat, menimba pitutur,
dan gaya hidup kapriayen orang kota. Dengan cara menjadi pembantu rumah
tangga tadi, mereka keluar dari tatanan adat primordial desa sehingga
dianggap lancur lantaran berhasil mengadopsi tata krama dan gaya hidup
simbol perkotaan. Menurut sejarawan dan sastrawan yang pernah besar di
Solo, Kuntowijoyo (2003), realitas di atas melahirkan tipologi
urbanisasi tradisional.
Dari hasil riset saya dengan metode
sejarah lisan, tersembul fakta apik, yakni menjelang bakda, mereka mudik
naik kereta dari Stasiun Kota dan Purwosari, andong, dan otobus (1930).
Mereka membawa barang bawaan yang dibungkus taplak meja berisi
seperangkat pakaian bagus, sisir rambut kadal menek, dan makanan roti.
Perhiasan menghiasi di tubuh sebagai bukti kesuksesan di rantau alias
pamer diri. Mereka pun mempraktikkan ngadi busana (tata cara bebedan
jarik) dan bahasa krama halus yang ditiru dari ndara-nya.
Sederet
barang dan perilaku tersebut merupakan ragam simbol priayi kota yang
sedapat mungkin diikuti para batur apabila ingin dipandang modern di
abad “kemajoean” itu. Selanjutnya, keluarga bekel (lurah), wedana
(camat), dan bupati menyekolahkan buah hatinya ke kota. Sebubar
mengantongi ijazah dan punya keahlian, mereka menghamba kepada
pemerintah “Walanda” sebagai pegawai kolonial (binnenlands bestuur).
Kedudukan
empuk pangreh praja di birokrasi tuan kulit putih hanya bisa digapai
kelompok cabang atas. Kala itu berlaku diskriminasi di sektor
pendidikan. Fenomena ini kita sebut model urbanisasi modern.
Kemudian
ada model urbanisasi informal untuk memotret perantau yang menjadi
buruh pabrik batik Laweyan, pelayan restoran di Pasar Gedhe, pedagang
bakmi keliling dari Gunung Kidul, bakul hik dari Klaten, dan penjaga
toko Tionghoa. Sebagai kota industri dan niaga, Kota Bengawan merupakan
pilihan terbaik untuk orang-orang yang kalah secara ekonomi, tak
berijazah, dan posisinya paling buncit dalam lapisan sosial.
Mudik
Ketika
bakda dheng (istilah wong Solo menyebut tepat Idul Fitri), mereka telah
menginjakkan kaki di kampung dan diikat kembali pepatah lawas, “mangan
ora mangan kumpul”. Jadi, maklum tradisi mudik menulang sumsum di
masyarakat Soloraya laiknya Presiden Jokowi yang mudik dari Jakarta.
Ingatan
sejarah semasa kecil para (calon) priayi ini dipanggil pulang.
Terkenang tembang lawas yang digandrungi anak-anak setelah Ramadan
rampung, “Dina bakda uwis leren nggone pasa. Padha ariaya seneng-seneng
ati raga. Nyandhang anyar sarta ngepung sega punar. Bingar-bingar mangan
enak nganti meklar. Terjemahan bebasnya, “Di hari Lebaran sudah kita
purnakan puasa. Kita berhari raya, bersenang jiwa dan raga. Berbusana
baru, menyantap bersama sega punar. Riang gembira santap enak hingga
perut kenyang.
Sebetulnya bukan hanya persoalan memanjakan lidah,
pada perayaan spesial setahun sekali ini pemikiran mereka disegarkan
terkait aneka nilai filosofi yang terselip dalam bahan makanan yang
mereka akrabi semasa kecil. Dalam urap yang dipakai untuk tumpengan
penduduk desa, misalnya, terdapat kacang panjang rebus yang dipotong
pendek, taoge, kangkung atau bayam, ikan teri, dan telur rebus.
Kacang
panjang menjadi simbol permintaan supaya dikaruniai umur panjang. Taoge
dalam bahasa Jawa disebut thokolan, bertemali dengan kata thukul
(tumbuh). Asa terpacak, tubuh tumbuh sehat dan diganjar selamat.
Kata
kangkung dari suku kata kung yang terkandung pula dalam kata langkung
(lebih). Unsur ini memikul doa agar rezeki mereka menderas. Kata bayam
mengandung suku kata yem atau ayem yang memancarkan harapan agar hidup
senantiasa diberi ketenteraman, meski jauh dari orang tua.
Setelah
mudik rampung, para priayi akan kembali ke kota untuk memburu materi,
mencari pengalaman, dan memperbaiki nasib. Dulu hingga sekarang,
urbanisasi memang tidak bisa dicegah karena pemerintah acap abai
terhadap pemerataan pembangunan di pedesaan. Wilayah desa hanya
dijadikan tulang punggung kebutuhan pangan dan penyedia tenaga kerja
yang harganya relatif murah. Inilah yang disebut sejarah berulang.
Penulis adalah dosen sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
12 Agustus 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar