Dolar AS masih menarik untuk jadi topik pembicaraan. Penguatan dolar
AS, atau dengan kata lain, pelemahan rupiah masih terjadi dan sudah
mengkhawatirkan. Nilai mata uang dolar AS telah menembus batas
psikologis Rp 14.000 dan terus bertengger pada kisaran itu.
Dalam situasi pelambatan ekonomi ini, pemerintah tetap percaya diri
dan optimistis. Sikap optimistis memang perlu agar masyarakat tidak
panik sehingga berakibat krisis makin buruk. Meski demikian, sikap
percaya diri dan optimisme yang diperlihatkan pemerintah tidak berhasil
sepenuhnya menutup suasana kepanikan yang menghinggapi pemerintah.
Semenjak rupiah mengalami keterpurukan, pemerintah sering menuding
faktor eksternal sebagai penyebab utama mata uang Garuda itu loyo, mulai
dari faktor warisan dari rezim masa lalu, krisis Yunani, pelambatan
ekonomi global, hingga kepastian atas keputusan suku bunga Bank Sentral
AS. Semua faktor itu tidak salah dan ikut memberikan andil dalam
dinamika ekonomi dan gejolak finansial.
Namun, terlalu sering menggunakan dalih faktor eksternal dapat
meninabobokkan kita pada persoalan yang seharusnya diprioritaskan.
Seolaholah, persoalannya hanya rupiah versus dolar sehingga banyak yang
lupa bahwa rupiah hanyalah cerminan kondisi perekonomian.
Ketika rupiah terpuruk, itu adalah cermin kelemahan ekonomi. Sangat
disetujui apabila pemerintah terus menyerukan optimisme kendati situasi
riil di masyarakat sudah dirasakan berat. Optimisme itu penting dan
harus.
Tidak terbantahkan bahwa Indonesia masih punya duit, sebagaimana
dikemukakan Presiden Joko Widodo awal pekan ini. APBN masih Rp 460
triliun, APBD Rp 273 triliun, dan BUMN masih punya Rp 130 triliun, belum
termasuk dana pihak swasta. Namun, pegang duit saja belum cukup untuk
memulihkan ekonomi.
Semua dalih dan alasan untuk optimisme, serta daftar penyebab
keterpurukan rupiah itu tidak boleh menjadi imaninasi dan membuat kita
lupa bahwa ada yang salah dengan perekonomian kita. Kesalahan itu harus
diperbaiki dengan cepat oleh tim ekonomi yang kuat dan kreatif.
Kendati sudah agak terlambat, reshuffle kabinet terakhir telah
memperlihatkan komposisi tim ekonomi yang jauh lebih baik dibanding tim
sebelumnya. Artinya, masih ada harapan. Meski tetap harus optimistis,
pemerintah perlu untuk juga jujur dalam menilai situasi yang sedang
berlangsung.
Selain pembenahan terhadap fundamental ekonomi, langkah-langkah
taktis untuk melindungi khalayak miskin harus segera ditempuh. Ekonom
Faisal Basri mengusulkan pengurangan harga bahan bakar minyak. Ada pula
politikus yang menyarankan pembentukan pusat krisis. Apapun itu, kita
sedang menghadapi darurat pembenahan ekonomi.
http://berita.suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar