SELAMA pelaksanaan pemilu, baik pilpres, pileg, maupun pilkada, belum
pernah terjadi pelaku percobaan politik uang dijerat pidana. Padahal
bila itu diterapkan, secara teori bisa mengeliminasi perilaku masif
praktik politik uang. Dalam UU Nomor 8 Tahun 2015, pelaku politik uang
tidak dikenai pidana tapi hanya dibatalkan pencalonannya bila terbukti
di persidangan.
Banyak kasus politik uang tidak bisa dibuktikan, baik saat dimintakan
klarifikasi oleh panwas maupun digelarperkarakan oleh penegak hukum
secara terpadu. Unsur material dalam rumusan tindak pidana politik uang,
menjadi persoalan pembuktiannya.
Unsur itu, yakni memberi sesuatu barang oleh peserta pemilu, disertai
janji serta penyampaian visi misi yang bersifat kumulatif. Sebenarnya
banyak hal bisa dilakukan guna menyiasatinya. Namun belum pernah
sekalipun pihak-pihak yang sulit dijerat pasal politik uang tadi, dicoba
dijerat dengan pasal percobaan.
Menurut R Soesilo dalam Penjelasan KUHP (Politeia Bogor; 1991),
anasir dari percobaan perbuatan pidana yang bisa menjerat pelaku adalah
perbuatan itu sudah masuk kategori pelaksanaan. Percobaan, bila masih
tahap perencanaan belum bisa dijerat dengan Pasal 53 KUHP, sebagai
percobaan tindak pidana.
Pasal 53 KUHPAyat (1) berbunyi,’’ mencoba melakukan kejahatan bisa
dipidana jika niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan,
dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri.’’
Dalam konteks percobaan tindak pidana politik uang, misalnya
seseorang kedapatan di mobilnya ditemukan sejumlah uang, ada stiker,
spanduk, dokumen visi misi hingga foto calon, atau alat peraga kampanye
lainnya. Hal itu diketahui oleh massa yang kemudian melaporkan ke panwas.
Dengan paradigma hukum progresif, ia bisa dijerat sebagai pelaku
percobaan tindak pidana politik uang.
Contoh kasus lain yang sering terjadi dan selama ini lepas dari
proses hukum adalah ketika seseorang anggota tim sukses atau
setidak-tidaknya simpatisan calon tertentu, kedapatan akan
membagi-bagikan suatu barang ke massa. Namun belum sempat membagikan, ia
tertangkap massa. Orang tadi dipaksa oleh massa membuat pernyataan
bahwa barang-barang tadi akan dibagikan kepada pemilih.
Terhadah contoh kasus seperti itu, bila penegakan hukum masih
berparadigma nonprogresif, perkara itu akan dihentikan. Banyak unsur
yang dijadikan alasan bahwa perbuatan politik uang itu belum terjadi dan
penggunaan pasal percobaan tidak disentuh. Padahal, anasir utama dari
terbuktinya sebuah percobaan adalah ‘’kegagalan perbuatan itu karena
orang lain, bukan karena dirinya sendiri.’’
Di Luar UU
Ada beberapa hal yang bisa mengindikasikan hal itu percobaan tindak
pidana politik uang. Misalnya massa menangkap basah seseorang yang
kedapatan membawa bahan atau alat peraga kampanye, dan sejumlah uang.
Selain itu, ada petunjuk yang menguatkan ia akan memberikan kepada calon
pemilih sehingga bisa memengaruhi orang yang menerima pemberian tadi
dalam menggunakan hak pilihnya.
Penerapan hukum secara progresif, menurut Prof Satjipto Rahardjo,
harus berangkat dari hati nurani yang didorong spirit supaya tercipta
harmonisasi dan keadilan di masyarakat. Persepsi seperti itulah yang
harus dibangun dan dikuatkan oleh kita semua. Artinya, kita bersepakat
bahwa hakikat berdemokrasi yang dicerminkan melalui kebebasan memilih,
tak boleh dicampuri oleh politik uang.
Jadi, hasil dari pelaksanaan demokrasi berupa pilkada adalah pemimpin
yang benarbenar amanah serta berorientasi kerja demi kepentingan
masyarakat. Penerapan pasal percobaan terhadap pelaku yang mencoba-coba
mempraktikkan politik uang, tidak sekadar sepaham dengan semangat
progresivitas hukum.
Upaya itu juga diletakkan pada iktikad untuk mencari salah satu
solusi mengeliminasi praktik politik uang yang makin tidak diakomodasi
dalam kemudahan pembuktiannya oleh para legislator. Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 yang tidak mencantumkan sanksi pidana bagi pelaku politik
uang jadi salah satu bukti ‘’konspirasi’’tersebut.
Menghadapi kondisi itu, penegak hukum harus mengeksplorasi
ketentuan-ketentuan hukum di luar UU tentang Pilkada, dengan kembali
pada ketentuan hukum yang bersifat umum sebagaimana diatur KUHP. (10)
Herie Purwanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar