Negara akan menjadi kuat apabila menjalankan tiga misi utama, yakni
hadir bagi rakyat, menerapkan komunikasi emansipatoris, dan dikelola
oleh pemerintahan yang bersih.
Ketiga hal itu terkait erat dengan ekonomi dan kesejahteraan tetapi
bukan merupakan sebab akibat. Pemahaman itu sangat penting karena konsep
negara yang kuat selalu dikaitkan dengan kekuatan militer sehingga
program- program militeristik dianggap jalan utama membentuk negara
kuat.
Pemikiran tersebut kita kemukakan menanggapi sinyalemen Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu bahwa wawasan kebangsaan masyarakat
Indonesia mulai menurun dan atas dasar itu direncanakan perekrutan 100
juta kader bela negara. Perekrutan akan dilaksanakan bertahap selama 10
tahun ke depan di 47 kabupaten/kota.
Para pemuda terpilih akan menjalani pendidikan di Resimen Induk
Komando Daerah Militer (Rindam). Tujuannya, menurut Menhan agar negara
kuat. Sangat kental sekali pola pemikiran militeristik dalam konsep
pembentukan negara kuat. Wawasan kebangsaan mungkin memang benar
menurun, kendati masih harus dikaji lebih dalam sinyalemen tersebut.
Namun, menerapkan program bela negara beraroma pendidikan militer
untuk mengatasi hal itu? Nanti dulu. Program perekrutan bela negara
sangat penting, dan bahkan sangat dianjurkan, tetapi dalam konteks
sebagai supporting program, bukan jawaban tunggal.
Kekuatan militer hanyalah salah satu bagian dari sistem ketahanan
dan pertahanan negara. Kebanyakan pemikiran itu mencontoh Swiss yang
dikenal menerapkan sistem wajib militer. UU Wajib Bela Negara di Swiss
mengharuskan setiap pemuda usia 19-34 tahun mengikuti latihan militer
selama 12 bulan, kendati dapat pula ‘’dicicil’’ setiap bulan per tahun.
Tetapi, banyak orang lupa bahwa Swis terlebih dulu memiliki kekuatan
budaya dan intelektualitas. Dengan kekuatan budaya dan intelektualitas,
sistem pertahanan semesta yang diterapkan Swiss tersebut memperoleh
tempat yang pas. Wajib militer yang diterapkan mampu menghasilkan
kekuatan militer apabila dibutuhkan, tetapi tidak lantas membentuk
karakter warga dan negara menjadi militeristik.
Indonesia pernah mengalami dominasi militerisme pada era Order Baru
yang penuh sesak dengan doktrin, petunjuk, pemagaran berpikir, dan
penyeragaman. Tanpa mengurangi aspek penting perekrutan bela negara,
ketahanan dan pertahanan negara harus terlebih dahulu membangun kekuatan
budaya, intelektualitas, dan spiritualitas.
Paling tidak, pengembangan konsep bela negara harus dibarengi dengan
penguatan ketiga elemen tersebut. Budaya tidak hanya melulu bersangkut
paut dengan seni, tetapi lebih mencakup kemampuan pola berpikir bangsa.
Di situ pula tempat subur menyemai wawasan kebangsaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar