APAyang terjadi apabila pemerintah mengambil kebijakan untuk
menurunkan produksi rokok? Langkah apa yang paling tepat agar kebijakan
itu efektif diterapkan di lapangan? Hingga saat ini, belum jelas apakah
pemerintah sudah mengambil ketegasan dalam pengembangan kebijakan
industri rokok atau justru tersandera kebutuhan anggaran pembangunan
yang makin besar? Tiga pertanyaan itu menarik diteliti untuk dicari
jawabannya.
Salah satu instrumen yang dinilai efektif menurunkan konsumsi rokok
adalah pemberlakuan pajak rokok atau lebih dikenal dengan istilah tarif
cukai hasil tembakau (TCHT). Filosofi historis penerapannya sangat
kondisional bergantung situasi politik dan perekonomian.
Pajak ini kali pertama diterapkan 1794 oleh Menkeu AS Alexander
Hamilton pada era pemerintahan Presiden George Washington. Tujuannya
membiayai perang sipil dengan Spanyol. Besarnya tarif disesuaikan
kebutuhan anggaran dan diperluas pada produk tembakau lainnya dengan
tarif yang terus dinaikkan. Di masa sekarang, penerapan pajak rokok di
AS selain untuk membiayai penerimaan negara juga untuk reformasi
kesehatan.
Banyak alasan yang jadi latar belakang, terutama fakta bahwa dukungan
publik terhadap perokok makin menyusut dan dukungan terhadap penerapan
pajak rokok yang lebih besar untuk memaksimalkan pendapatan negara,
makin meluas.
Di Indonesia, orientasi penerapan pajak rokok sebelum 2007 menurut UU
Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, lebih dominan untuk meningkatkan
penerimaan negara. Ketentuan itu secara jelas menyebutkan penerapan
cukai rokok harus memperhatikan prinsip netral dalam pemungutan yang
tidak menimbulkan distorsi pada perekonomian nasional.
Setelah diterbitkannya UU Nomor 35/2007 yang merupakan perubahan atas
UU Nomor 11/1995, tujuan penerapan cukai pada produk tembakau adalah
untuk mengendalikan konsumsi dan peredarannya karena pemakaiannya dapat
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Selain
itu, pemakaiannya perlu pembebanan negara demi keadilan dan
keseimbangan. Dalam kondisi membangun seperti sekarang, kebijakan
seperti ini sangat rasional dan dapat dipahami.
Penelitian yang penulis lakukan, khususnya di Jateng, penerapan
besaran tarif pajak yang dilakukan pemerintah sebenarnya mampu
menurunkan permintaan rokok. Elastisitas harga rokok terhadap permintaan
rokok -0,4, artinya jika harga dinaikkan 10% maka permintaan rokok
turun 4%.
Bertanggung Jawab
Menggunakan simulasi, dengan mengintegrasikan regresi linier dan
tabel input output 2008, penulis menemukan kenaikan tarif rokok 25% yang
mendorong harga rokok meningkat 11% berdampak negatif terhadap
perekonomian Jateng, output seluruh sektor ekonomi menurun 0,93%.
Penurunan juga terasa menonjol di atas 1% pada sektor-sektor industri
kertas dan barang dari kertas (4,42%), industri kimia dan pupuk (2,37%)
dan jasa hiburan (1,1%). Sektor-sektor tersebut terkait erat dengan
penyediaan bahan baku rokok dan pemanfaatan hasil industri rokok.
Kenaikan harga telah menyebabkan jumlah tenaga kerja sektor industri
rokok berkurang 12.381.
Semula 241.691 menjadi 229.310 tenaga kerja. Permintaan rokok yang
menurun karena kenaikan tarif CHT menyebabkan menurunnya pendapatan
sektor industri rokok 5,12%. Melihat aspek filosofis dan historis
penerapan cukai, penulis berkesimpulan bahwa dalam jangka pendek,
kebijakan pemerintah saat ini dalam pengembangan industri masih perlu
terus dilakukan.
Tujuannya agar kontribusi APBN dalam menurunkan kemiskinan, mendorong
perbaikan infrastruktur dan mewujudkan kemandirian pangan, bisa terus
diperkuat. Ada kepentingan lebih besar yang menuntut kita harus lebih
pragmatis namun tetap bertanggung jawab, memperhatikan dampak negatif
yang ditimbulkan dari merokok, khususnya bagi kesehatan.
Pengakuan itu secara jelas sudah digambarkan dalam tiap bungkus
rokok. Untuk meminimalkan efek merugikan produk hasil tembakau dan
menjaga kinerja industri rokok tetap gemerlap, produsen harus didorong
menjual sebagian besar produksinya ke negara lain.
Industri rokok di Jateng menjual 70-80% produksinya ke luar
provinsi, namun yang diekspor ke luar negeri kurang dari 8%. Ini
menunjukkan industri rokok tidak hanya strategis tapi juga mempunyai
daya saing tinggi dibanding industri lain di Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar