Ratusan masyarakat dari kawasan timur Indonesia (KTI),
mendeklarasikan Solidaritas Jalur Rempah (Spice Routes). Solidaritas
ini akan mengawal agar poros maritim menjadikan jalur rempah sebagai
basis pembangunan maritim Indonesia.
Jalur
ini terbukti mampu mengontrol ekonomi dunia pada masa lalu, ketika
rempah masih menjadi primadona. Jalur ini berbeda dengan Jalur Sutera
(Silk Routes).
Deklarasi
sekaligus diskusi ini digelar di Jakarta, Selasa (23/9). Acara ini
dihadiri sejumlah figur dari KTI, La Ode Ida (Wakil Ketua DPD),
Engelina Pattiasina (Pendiri Archipelagic Solidarity), Kris Siner
Keytimu (Tokoh Petisi 50), Hatta Taliwang (mantan anggota DPR), Phil
Karel Erari (tokoh dari Papua), Immanuel Toebe (sesepuh dari NTT),
dan Marthinus Saptenno (Guru Besar Kelautan Universitas Pattimura).
Engelina
mengatakan, poros maritim yang digagas harus menjadikan KTI sebagai
zona utama. Ini karena KTI telah memiliki tradisi ratusan tahun
memenuhi kebutuhan pasar global. Selain itu, secara
historis-arkeologis-kultural, poros maritim RI dimulai KTI akan
bermanfaat bagi KTI dan daya saing RI abad ke-21. Ini karena luas KTI
berkisar 68 persen dari luas wilayah RI.
Menurutnya,
pembangunan poros maritim RI berbasis Jalur Rempah dari KTI akan
menguntungkan pemerintah RI. Zona-zona ini sejak dulu telah memberi
kontribusi bagi kemajuan dunia. Strategi ini menghasilkan percepatan
pembangunan kawasan tertinggal, atau program pembangunan KTI.
Solidaritas
Jalur Sutera juga meminta Jokowi-JK menjadikan poros maritim berbasis
Jalur Sutera sebagai arah baru pembangunan Indonesia, yang bertitik
pangkal di KTI. “Kami meminta kepada pemerintahan Jokowi-JK untuk
membebaskan KTI dari cengkeraman kapitalis. Hampir semua wilayah kaya
sumber daya alam di KTI telah dikapling pemilik modal, baik wilayah
darat maupun lautan,” ujarnya.
Solidaritas
ini juga memandang sudah waktunya kabinet Jokowi-JK memberikan posisi
startegis bagi kader dari KTI, guna mempercepat pengembangan kawasan
ini. “Tidak ada salahnya kalau lebih dari 50 persen sekalipun. Ini
karena wilayah terluas memang ada di KTI. Masa depan Indonesia itu
ada di KTI,” kata Engelina.
La
Ode Ida mengatakan, sebenarnya sudah terlalu banyak masukan,
permintaan, dan desakan agar pemerintah memperhatikan KTI. Namun,
semua itu hanya dianggap angin lalu. Untuk itu, La Ode menganggap
perlunya semua komponen membangun kerja sama, termasuk dengan
pengambil kebijakan, agar semua kebijakan berpihak kepada
pengembangan KTI.
“Salah
satu yang harus diperhatikan dalam pengembangan maritim ini adalah
ekonomi yang mengembangkan kerajinan etnik. Ini sangat potensial
untuk dikembangkan,” ucapnya.
Menurutnya,
semua pihak perlu mengawal poros maritim yang digagas Jokowi-JK,
sehingga benar-benar membawa manfaat bagi rakyat di KTI. “Namun,
hampir semua potensi dan kekayaan di KTI telah menjadi milik pemodal.
Ini bagaimana?” ujarnya.
Kris
Siner Keytimu mengatakan, pemerintah harus senantiasa diingatkan
terus-menerus untuk secara serius memperhatikan KTI. Untuk itu, perlu
adanya suatu upaya meningkatkan posisi tawar. Kalau tidak, tidak
pernah ada upaya serius untuk memperhatikan kawasan yang memang
sebagian besar terdiri atas maritim.
24 September 2014
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar