Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta 2015 mencatat usai
Lebaran tahun 2015 ada 50.593 pendatang baru, sebagian besar dari Jawa
dan Sumatera, memadati Ibu Kota. Perkembangan terakhir urbanisasi di
Indonesia, berdasarkan catatan sensus 2014 mencapai 45,3%, dan
diproyeksikan mencapai 56,2% tahun 2025.
Akankah arus besar urbanisasi itu menjadi ancaman hilangnya generasi
petani di pedesaan? Ada dua alasan utama mengapa masyarakat pedesaan
rela meninggalkan kampung halamannya. Pertama, industri komoditas
kearifan lokal (food, beverage, fashion, kerajinan, hasil
bumi/pertanian) tidak berjalan lancar, bahkan mengalami kebangkrutan
massal.
Sejumlah periset membuktikan bahwa urbanisasi besar warga Desa Jetis
Sukoharjo ke Jakarta dan kota besar lain tahun 1970-an disebabkan,
pertama macetnya industri tenun yang merupakan kreasi asli desa itu.
Tahun 1962 di Jetis terdapat 365 perusahaan tenun (sekitar 550 unit alat
tenun) yang mempekerjakan sekitar 750 buruh. Kedua, penyempitan lahan
pertanian.
Areal sawah di Jawa misalnya, dalam satu dekade terakhir rata-rata
konversi 13.400 ha hingga 22.500 ha per tahun (Irawan; 2014). Konversi
itu dalam bentuk penggunaan lahan persawahan pertanian untuk industri,
dan perumahan. Dalam jangka panjang banyak petani, terutama petani
gurem, kehilangan ladang garapan. Untuk bisa survive mereka mengadu
nasib ke kota menekuni profesi nonpertanian.
Ketiga, input produksi bahan pangan kurang tersedia dan harganya
sangat mahal serta kerap terjadi kelangkaan barang. Persoalan faktor
produksi seperti pupuk, seringkali menyulitkan petani dalam upaya
meningkatkan produksi, karena distrubusi di lapangan yang kurang lancar,
sehingga berakibat kenaikan harga pupuk yang tidak wajar.
Keempat, rendahnya harga komoditas pertanian yang menyebabkan tingkat
kesejahteraan petani menurun. penelitian penulis dan tim peneliti
(2014) tentang profitabilitas usaha tani bawang merah menyimpulkan
keuntungan bersih petani sangat kecil. Bahkan belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi rumah tangga.
Kelima, kurangnya akses permodalan. Petani di desa apalagi desa
tertinggal kurang mendapatkan akses modal untuk membiayai input
produksi. Sektor jasa keuangan, khususnya bank, kurang berpihak pada
usaha tani yang tergolong usaha mikro. Tidak hanya sebatas itu, tingkat
bunga pinjaman yang dibebankan kepada petani pun sangat tinggi.
Beralih Profesi
Kita bisa mengajukan hipotesis bahwa ada korelasi urbanisasi dengan
kemerosotan populasi rumah tangga petani di pedesaan. Terlepas hipotesis
itu terbukti benar atau tidak, faktanya banyak petani yang beralih
profesi menjadi pekerja di sektor lain di kotakota besar.
Data Kementan (2014) menunjukkan tiap tahun ada 500.000 rumah tangga
petani beralih pekerjaan di bidang lain, dengan alasan usaha taninya
mereka selalu merugi. BPS (2014) juga mencatat bahwa pada 2003 ada 31
juta angkatan kerja di sektor pertanian, satu dekade kemudian, yakni
2013 menurun drastis jadi 26,5 juta.
Kondisi itu diperparah lagi dengan fenomena yang terjadi saat ini,
lebih banyak lulusan sarjana pertanian yang bekerja di sektor
nonpertanian (sosial, pendidikan dan jasa). Dikti Kemdikbud (2014)
mencatat 85% sarjana atau ahli madya pertanian, perikanan dan perikanan
tidak menekuni keahliannya di sektor itu.
Hilangnya generasi petani, juga mengancam Sragen. Dalam 10 tahun
terakhir, populasi rumah tangga petani di kabupaten itu menyusut cukup
tajam, yakni dari 193.095 keluarga pada 2003 menjadi 142.187 keluarga
pada 2013.
Bila dihitung ratarata per hari, populasi petani di Sragen menyusut
14 keluarga. Pemerintah pusat dan daerah perlu mengambil kebijakan yang
memungkinkan generasi muda nyaman dan bangga menjadi petani. Perlu
menciptakan sektor ekonomi produktif pedesaan berbasis produk pertanian
yang bersifat kearifan lokal, antara lain industri pangan khas desa,
minuman tradisional, dan hasil kerajinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar