Tidak sedikit kalangan yang berkeyakinan, ini hanyalah fenomena gunung
es dalam jagat peradilan. Jika benar, dapat dipastikan bahwa korupsi
yudisial di negeri ini mungkin lebih parah daripada yang diperkirakan.
Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangkap
tangan tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera
Utara, yang sedang menerima suap dari pengacara. Ketiga hakim tersebut
adalah Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro; serta anggota majelis
hakim Amir Fauzi dan Dermawan Ginting. Penyidik KPK juga menangkap
Panitera Sekretaris PTUN Medan, Syamsir Yusfan dan seorang pengacara
bernama Yagari Bhastara.
Operasi itu berujung dengan
ditangkapnya pula advokat kawakan, OC Kaligis. Sebagaimana diaporkan
media, jasa OC Kaligis digunakan oleh Kepala Biro Keuangan Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara, Ahmad Fuad Lubis.
Itu saat
Ahmad menggugat pemanggilan dirinya oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati)
Sumatera Utara terkait perkara dugaan korupsi dana bantuan sosial
(bansos) Pemprov Sumatera Utara tahun anggaran 2012-2013.
Sebagian
gugatan itu dikabulkan majelis hakim yang dipimpin Tripeni Irianto
Putro. Sejatinya, ini bukan kali pertama KPK berhasil menangkap tangan
aparatur penegak hukum yang menerima suap. KPK sebelumnya pernah
menangkap tangan beberapa hakim lain yang menerima suap terkait
kasus-kasus yang sedang ditangani. Tentu saja, penangkapan tiga hakim
PTUN Medan itu bisa semakin menebalkan penilaian publik ihwal betapa
korupnya sistem hukum negeri ini.
Seperti halnya bidangbidang
kehidupan lainnya di Tanah Air, sektor hukum kita nyatanya sama sekali
tidak kebal serangan virus korupsi. Dalam ranah hukum, yang dilakukan
para hakim kita yang menerima uang sogokan—dan karena apes, lantas
tertangkap tangan KPK—dapat dikategorikan sebagai korupsi yudisial
(judicial corruption).
Secara definisi, korupsi yudisial
merupakan setiap tindakan yang tidak sepantasnya dilakukan pihak
tertentu untuk memengaruhi kemandirian penegakan hukum dalam sistem
peradilan. Terdapat dua bentuk korupsi yudisial. Pertama, korupsi lewat
campur tangan politik dalam penegakan hukum. Campur tangan politik itu
bisa dilakukan eksekutif maupun legislatif.
Kedua, korupsi lewat
penyuapan atau pemberian gratifikasi. Hal ini bisa dilakukan siapa saja,
sepanjang memiliki kekuatan finansial untuk memengaruhi penegakan
hukum. Berdasarkan kajian yang dilakukan Tranparency International di 32
negara, korupsi yudisial dapat terjadi karena beberapa faktor.
Pertama,
sistem perekrutan dan pengangkatan hakim tidak berdasarkan kemampuan,
prestasi, dan kinerja (merit system). Perekrutan semacam ini rentan
menelurkan hakim-hakim yang minim integritas dan korup. Kedua, gaji
kurang layak serta kondisi kerja yang tidak menunjang, seperti proses
promosi jabatan dan penempatan tugas yang tidak adil dan sarat aroma
kolusi serta nepotisme. Ketiga, kurangnya pendidikan dan pelatihan yang
berkesinambungan untuk para hakim.
Ini juga mempermudah para
hakim terjerumus ke sejumlah perilaku yang tidak elok, termasuk menerima
suap dan gratifikasi. Faktor keempat, kurang atau bahkan tidak ada
penegakan disiplin yang tegas kepada para hakim yang korup. Ini
menjadikan korupsi yudisial menjadi lingkaran setan yang terus berulang
dan sulit diberantas. Kelima, faktor kurangnya transparansi.
Peradilan
yang kurang transparan kerap menyulitkan media serta publik luas guna
memantau aktivitas penegakan hukum sejumlah kasus. Hal tersebut
menyebabkan sulit menemukan ada tidaknya korupsi yudisial dalam
keputusan yang diambil para hakim. Fenomena Gunung Es Kembali ke kasus
penangkapan tiga hakim PTUN Medan, tidak sedikit kalangan yang
berkeyakinan, ini hanyalah fenomena gunung es dalam jagat peradilan.
Jika benar, dapat dipastikan bahwa korupsi yudisial di negeri ini
mungkin lebih parah daripada yang diperkirakan. Sulit rasanya bagi kita
untuk mampu memberantas virus korupsi secara tuntas jika sistem
penegakan hukum di negeri ini amburadul. Salah satunya ditandai dengan
kotornya tangan-tangan para aparatur penegak hukum.
Berkali-kali,
pemerintah menegaskan komitmennya dalam pemberantasan korupsi di negeri
ini. Komitmen sudah barang tentu harus bisa dibuktikan dengan
keberadaan para aparatur penegak hukum yang benar-benar bersih dan
mandiri. Kasus kembali tertangkap tangannya aparatur penegak hukum yang
sedang menerima uang sogokan seharusnya menjadi pelecut untuk kesekian
kali.
Pemerintah mesti segera mengambil langkah evaluasi serta
preventif secara lebih konkret untuk menangkal praktik-praktik korupsi
yudisial di negeri ini. Bagaimanapun, upaya pemberantasan dan pencegahan
korupsi di negeri ini hanya bisa berjalan mulus apabila dibarengi para
aparatur penegak hukum yang bersih dan mandiri. Tentunya itu dalam
sebuah sistem hukum yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.l
Penulis adalah kolumnis dan alumnus Universitas Padjadjaran.
23 Juli 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar