MUNAS IX Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Surabaya menjadi momen
strategis atau bahkan kritis, setelah NU dan Muhammadiyah menggelar
muktamar. Dalam muktamar lalu, Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan KH Ma’ruf
Amin sebagai rais aam dan KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum PBNU. Adapun Muhammadiyah menetapkan Haedar Nashir sebagai ketua umum Pengurus
Pusat Muhammadiyah.
Kali ini munas MUI mengusung tema ”Islam untuk Dunia yang Berkeadilan
dan Berkeadaban”, di tengah hegemoni dan ”konspirasi” negara-negara
yang merasa besar yang kian ”pongah” ingin menguasai negara-negara
sedang berkembang. Negara-negara yang dihuni sebagian besar muslim jadi
sasaran neokolonialisasi baru.
Penganut dari ajaran Islam yang sejak lahir visioner, membawa kasih
sayang bagi seluruh alam, sering mendapat perlakuan tidak adil dan tidak
beradab. Misal muslim Rohingnya Myanmar, yang jadi korban genosida,
dibakar hidup-hidup, rumah dan hartanya dibakar, justru atas hasutan
seorang biksu dengan simbol busana keagamaannya.
Kasus Tolikara Papua pada 1 Syawal 1436 H juga menguras kesedihan dan
keprihatinan warga muslim. Mereka yang sudah menjadi warga Tolikara
sejak Indonesia merdeka, mendapat perlakuan tidak adil dan tidak beradab
justru pada saat mennjalankan shalat Idul Fitri, merayakan hari besar
setelah sebulan berpuasa.
Masih banyak kasus lain yang menghiasi media. Ironisnya, dunia nyaris
tidak berdaya. Mengapa jika yang menjadi korban umat Islam, selalu
tidak ada penyelesaian yang fair, adil, dan beradab? Seandainya oknum
muslim melakukan semacam itu, sudah pasti dicap sebagai teroris.
Di sisi lain, negara-negara muslim di Timur Tengah, seperti Yaman
sampai sekarang masih labil, masa depan Palestina pun makin suram.
Apalagi setelah Masjidil Aqsha yang menjadi kebanggaan warganya, kini
dalam genggaman kekuasaan Israel. Syria dan Irak masih dikuasai kelompok
teroris yang mengaku kelompok Islam Sunny, Islamic State (IS), yang
kerap mengumbar kekerasan.
Namun apakah keberadaan kelompok IS kreasi mereka atau buatan
Amerika dan Israel dengan sekutunya yang lain agar mereka mendapatkan
alibi dan selamat dari tudingan dunia internasional. Uraian itu adalah
sekelumit daftar tantangan global, serta politik luar negeri mereka yang
sarat kepentingan ekonomi dan kekuasaan.
Tidak bisa dimungkiri, muslim merupakan warga mayoritas dan mereka
telah menjalankan toleransi dengan sangat baik. Namun ketika menjadi
kelompok minoritas, mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil, tidak
beradab, dan sering tidak manusiawi.
Memberi Makna
Dalam perspektif internal, MUI memang sering menjadi cibiran dan
bahkan sasaran kemarahan. Apalagi pada saat NU dan Muhammadiyah
menggelar muktamar, ramai di media persoalan BPJS yang katanya tidak
halal dan belum sesuai denga syariah. Sebagian masyarakat berkomentar
sinis kepada MUI.
Tetapi pemerintah justru merespons secara positif, dan menggodok
persiapan pembukaan BPJS syariah. Persoalan lain yang tidak kalah
penting, adalah angka pengangguran yang makin hari makin besar,
sementara lapangan pekerjaan yang tersedia tidak mampu menampung.
Tetapi tampaknya, political will Presiden Jokowi lebih senang
menerima tenaga kerja dari Tiongkok, sampai-sampai menghilangkan
persyaratan keterampilan berbahasa Indonesia. Dari hasil Munas IX MUI,
wajar bila muslim menaruh harapan, bagaimana MUI bisa mengikhtiarkan
Islam benar-benar memberi makna bagi keterwujudan dunia yang berkeadilan
dan berkeadaban.
Pertama, MUI perlu merumuskan program besar, strategis,
dan diplomatis, untuk bersama-sama pemerintah supaya umat dan negara
muslim, mendapatkan posisi tawar setara dengan negara besar dan maju.
Kedua, merumuskan program pemberdayaan ekonomi umat yang berbasis
korporasi dengan melibatkan pengusaha muslim yang kuat sehingga dapat
membuka banyak lapangan pekerjaan.
Ketiga, menyiapkan program berupa roadmap pembuatan payung hukum bagi
lembaga keuangan syariah yang hingga kini masih didominasi lembaga
keuangan konvensional. Masyarakat sering bereaksi negatif namun hal itu
disebabkan oleh kekurangpahaman mereka.
Keempat, terus menyosialisasikan
Islam versi Indonesia yang moderat dan inklusif ke berbagai belahan
dunia.Upaya itu supaya model keberislaman yang garang, penuh kekerasan
menjadi tidak laku, bahkan tidak ada lagi IS dan sejenisnya karena semua
itu tidak sejalan dengan Islam yang rahmatan lil alamin.
Ahmad Rofiq
http://berita.suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar