KELAMBATAN perkembangan ekonomi global telah memicu kelesuan
investasi, konsumsi, dan ekspor Indonesia. Kondisi itu berimbas pada
tidak optimalnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan I tahun ini yang
hanya 4,71%.
Seharusnya sebagai fungsi stabilisasi, belanja pemerintah yang
bersumber dari APBN dapat mengambil peran sebagai motor penggerak
ekonomi. Anggaran pemerintah juga mempunyai fungsi sebagai alat
kebijakan fiskal sehingga anggaran dapat digunakan menstabilkan dan
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Melalui anggaran publik, dapat dilakukan prediksi-prediksi dan
estimasi ekonomi. Namun alih-alih mengambil peran sebagai motor
penggerak dan mendorong pertumbuhan ekonomi, kenyataannya penyerapan
anggaran pemerintah justru lamban. Salah satu penyebabnya adalah banyak
pejabat di daerah diliputi kegamangan.
Belanja pemerintah semester II-2015 bisa terhambat oleh kegamangan
pejabat yang berwenang mengeksekusi anggaran karena beberapa kasus
hukum. Data Kemenkeu menyebutkan bahwa prediksi penyerapan anggaran
belanja pemerintah semester I- 2015 mencapai Rp 773,9 triliun. Nominal
itu meningkat 1,8% dibanding realisasi semester I-2014 sebesar Rp 759,9
triliun.
Namun jika dilihat total alokasi anggaran yang mencapai Rp 1.984,1
triliun dalam APBNP 2015 maka kinerja belanja negara di paruh pertama
tahun ini jauh dari harapan karena baru terserap 39%. Kegamangan pejabat
sebenarnya bukan faktor tunggal penyebab lambannya penyerapan anggaran
pemerintah, melainkan terdapat multifaktor yang harus diantisipasi.
Antara lain terlambatnya penetapan perda APBD. Setelah melalui
berbagai tahap pembahasan, termasuk evaluasi gubernur, perda APBD dan
peraturan kepala daerah (perkada) penjabaran APBD harus sudah ditetapkan
paling lambat 31 Desember. Namun sering tahapan-tahapan tersebut molor
karena beberapa sebab sehingga penetapan Perda APBD pun molor.
Konsekuensinya berimbas pada molornya penetapan dokumen-dokumen
anggaran seperti rencana kerja anggaran dan dokumen pelaksanaan anggaran
(RKA-DPA). Dokumen-dokumen itu baru ditetapkan paling cepat pada Maret
sehingga pada triwulan I nyaris tidak ada penyerapan anggaran, kecuali
untuk membayar gaji dan kebutuhan rutin kantor.
Penetapan organisasi pelaksana kegiatan seperti penunjukan pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran (PA/KPA), pejabat pembuat komitmen
(PPKom), pejabat pengadaan, pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK),
serta pejabat penerima hasil pekerjaan (PPHP), juga ikut molor.
Dampaknya pelaksanaan lelang/tender terlambat.
Silpa Membengkak
Penyebab lain karena ada beberapa SKPD yang overloadkegiatan. Sumber
daya manusia yang dimiliki tak sebanding dengan jumlah kegiatan yang
dikelola. Sebagai contoh DPU Kabupaten Tegal pada 2013 mengelola tidak
kurang dari 1.500 paket pekerjaan.
Dengan SDM yang ada saat itu, secara rasional disangsikan
kegiatan-kegiatan tersebut dapat diawasi dan dilaksanakan secara
optimal, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Belum lagi SKPD ini
juga bertugas membuatkan gambar teknis dan rencana anggaran dan biaya
(RAB) pekerjaan fisik yang diajukan SKPD lain.
Penyebab lain dari lambannya penyerapan anggaran pemerintah adalah
seringnya mutasi pejabat sehingga dokumen kegiatan harus direvisi.
Selain itu juga kurangnya panitia pengadaan yang memiliki sertifikat
keahlian. Kegiatan pengadaan barang dan jasa menjadi terhambat karena
pegawai yang ditunjuk menjadi PPKom/PPHPgamang. Banyak yang beralasan
upah yang diterima tak sebanding dengan risiko hukum yang mungkin
menjerat.
Ada yang trauma melihat rekan PPHP sebuah kegiatan yang menerima
honor resmi hanya Rp 150 ribu, tapi masuk bui karena salah membuat
berita acara penyerahan pekerjaan. Sekarang ini kegamangan dari pejabat
PA/KPA dan PPKom dalam melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa sudah
sangat serius. Mereka gamang karena takut berurusan dengan penegak
hukum. Tak sedikit pejabat PA/KPA/PPKom yang dikriminalisasi hanya
karena faktor sepele.
Mereka harus bolakbalik memenuhi panggilan penegak hukum karena ada
surat kaleng. Jika pemerintah tidak segera membuat payung hukum yang
mampu mereduksi kekhawatiran mereka dari kriminalisasi, jangan harap
anggaran pembangunan cepat dieksekusi. Semua itu membawa konsekuensi
sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) akan semakin bengkak di akhir
tahun anggaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar