Menhukham Yasonna H Laoly tetap akan memberikan remisi kepada para
koruptor meski berbagai kritik menentang rencana tersebut. Ia bahkan
menuding pihak-pihak yang menolak pemberian remisi istimewa tersebut
tidak memahami filosofi keberadaan lembaga pemasyarakatan.
Remisi
istimewa ini diberikan setiap satu dasawarsa kepada seluruh narapidana
(napi), kecuali mereka yang sudah dijatuhi hukuman mati dan napi yang
melarikan diri. Bila napi tidak diberi remisi, menurut Yasonna lembaga
pemasyarakatan (LP) gagal membina manusia yang masuk penjara.
“LP
bisa dipandang gagal membina napi menjadi lebih baik. Itu karena remisi
diberikan sebagai salah satu cara untuk merangsang napi agar mengubah
perilaku menjadi lebih baik,” katanya dalam sebuah wawancara.
Ini
sebetulnya rencana lama Menhukham Laoly. Beberapa waktu lalu, ia pernah
berencana melonggarkan aturan pemberian remisi dalam PP 99/2012.
Padahal, PP tersebut dimaksudkan untuk memperketat pemberian remisi
kepada koruptor, terpidana kasus narkoba, dan terorisme. Ini mengingat
dampak kejahatan mereka sangat luas dan merusak.
Rencana Laoly itu
mengundang reaksi luas. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan
menemui Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan keberatan atas rencana
Laoly tersebut.
“Kami di KPK berharap agar tidak dipermudah
pemberian remisi tersebut, tapi diperketat,” kata pemimpin KPK, Johan
Budi, ketika itu. “Bila dipermudah, hal ini akan bertabrakan dengan
semangat pemberantasan korupsi, yang salah satu tujuannya adalah
menimbulkan efek jera.”
Kini Menhukham Laoly mennggunakan
keputusan presiden (keppres) yang diterbitkan pada 1955 sebagai dasar
kebijakannya. Keputusannya langsung mengundang reaksi luas. Bagaimana
mungkin ketentuan 60 tahun lalu dijadikan dasar kebijakan, padahal sudah
ada aturan baru yang derajat hukumnya lebih tinggi. Menggunakan Keppres
120/1950 tersebut, pemerintah menetapkan 118.000 napi memperoleh remisi
istimewa yang besarnya 1/12 dari masa hukuman, namun maksimalnya tiga
bulan.
Namun, menhukham dinilai mengabaikan pengaturan pemberian
remisi seperti diatur dalam UU Nomor 12/1995, selain PP 99/2012 yang
mengatur masalah tersebut. Selain ada beberapa ketentuan yang berbeda,
status dan derajat hukum keppres lebih rendah dibandingkan PP, sehingga
seharusnya digunakan aturan yang derajatnya lebih tinggi.
Keppres
120/1955 juga bisa dipandang ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi
dengan kesadaran hukum dan tuntutan masyarakat saat ini. Keppres itu
belum memberikan tekanan pada napi kasus kejahatan korupsi. Padahal
setelah Reformasi, kita memberikan perhatian besar terhadap kejahatan
korupsi, bahkan membentuk KPK, mengingat kejahatan ini dipandang luar
biasa. Beberapa terpidana korupsi bahkan telah dicabut hak-hak
politiknya oleh pengadilan, menjadi bukti kejahatan ini bukan
kriminalitas biasa.
Dengan demikian, kebijakan Menhukham Laoly
terlalu meremehkan tuntutan publik yang tetap menginginkan para koruptor
diganjar hukuman tinggi, bahkan dimiskinkan. Kita perlu belajar dari
negara lain, seperti Korea Selatan (Korsel) yang tahun ini juga
memberikan remisi istimewa, namun tidak berlaku bagi para koruptor. Ini
memperlihatkan komitmen pemerintah Korsel tetap tinggi terhadap
pemberantasan korupsi.
Keputusan menhukham tersebut berdampak
buruk terhadap citra pemerintahan Presiden Jokowi. Ini karena bisa
dipandang melawan rasa keadilan dan melemahkan semangat pemberantasan
korupsi.
Patut diingat lagi pandangan akademikus dari
Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robert, yang menyatakan
remisi bagi koruptor merupakan sinyal kemunduran dalam pemberantasan
korupsi. “Sikap ini mengonfirmasi dugaan bahwa pemerintah memandang
korupsi bukan sebagai kejahatan serius. Ini kemunduran dalam
pemberantasan korupsi,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Presiden
Jokowi harus merenungkan pendapat tersebut. Apalagi, kita makin merasa
bertambah kuatnya tangan-tangan kekuasaan yang berusaha memengaruhi
berbagai proses demokrasi, hukum, dan keadilan; dengan tujuan melemahkan
dan mengeliminasi kekuatan yang dinilai mengganggu. Ini misalnya usulan
pencantuman kembali pasal penghinaan presiden dalam rancangan KUHP yang
akan dibahas pemerintah dengan DPR, merupakan salah satu indikasinya.
Kita
perlu mengingatkan Jokowi mengenai semangat baru yang ingin
dikembangkannya, termasuk bagaimana meningkatkan efek jera bagi
koruptor. Itu sebabnya kita senantiasa mendukung keputusan MA yang
mencabut hak politik terpidana korupsi, seperti Luthfi Hassan Ishaaq dan
Irjenpol Djoko Susilo. Dari perspektif ini, keputusan mengobral remisi
jelas bertabrakan dengan keinginan peningkatan efek jera bagi koruptor
tersebut.
Dalam perspektif ini, kita juga mendukung keputusan
pemerintah mengeksekusi mati para terpidana kasus narkoba, sekalipun
banyak kalangan yang menentang hukuman mati. Rakyat umumnya mendukung
kebijakan tersebut, semata-mata karena mereka menderika kerusakan hebat
akibat meluasnya kejahatan narkotika sehingga harus ada balasan
setimpal.
Sangat disayangkan bila semangat pemerintah dalam
pemberantasan korupsi terkesan mengendur. Gelagat itu menimbulkan tanda
tanya, sejauh mana konsistensi Jokowi terhadap kebijakan dan pandangan
politiknya. Jangan sampai hal ini melunturkan kepercayaan rakyat kepada
pemerintah, yang tentu dampaknya akan sangat luas.
14 Agustus 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar