Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden
dipidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori IV
Pencantuman pasal Penghinaan Presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) hanya menambah keruwetan politik yang tidak perlu
(Sinar Harapan, 7/8). Kutipan tersebut menegaskan polemik ihwal
keinginan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk kembali menghidupkan
delik penghinaan presiden, guna memperjelas definisi antara fitnah dan
kritik yang ditujukan kepada kepala negara.
Dalam Pasal 263 RUU
KUHP Ayat 1 yang disiapkan pemerintah, disebutkan “Setiap orang yang di
muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”.
Maklum
disadari delik penghinaan presiden merupakan warisan pemerintahan
kolonial Belanda. Saat itu, Belanda membawa dan memberlakukan hukum
pidana tertulis dengan asas konkordasi. UU yang digunakan adalah Wetboek
van Strafrecht Stadblad 1915 Nomor 732.
Namun, terhitung 8
Maret 1942, ketika adanya peralihan kekuasaan dari pemerintah Hindia
Belanda kepada Jepang di Indonesia, Wetboek van Strafrecht Stadblad
tidak lagi digunakan. Pada pemerintahan Jepang, kitab UU hukum pidana
yang digunakan adalah Gunzei Keizi Rei yang hanya bertahan selama tiga
tahun.
Terhitung 17 Agustus 1945 melalui Perpres Nomor 2/1945,
Indonesia memberlakukan hukum pidana gabungan antara Wetboek van
Strafrecht Stadblad dan Gunzei Keizi Rei. Namun, setelah Indonesia
merdeka, Wetboek van Strafrecht Stadblad masih tetap dipergunakan dan
diberlakukan sebagai kitab UU hukum pidana Indonesia berdasarkan UU
Nomor 1/1946 jo UU Nomor 73/1958.
Akhirnya, pada 2006 Mahkamah
Konstitusi memutuskan menghapus pasal penghinaan kepada presiden.
Putusan tersebut bahkan mendapat apresiasi dari Dewan HAM Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang menilai Indonesia telah mampu melampaui
peradaban di negara-negara seperti Jerman, Georgia, Belgia, Swedia, dan
Belanda, yang masih menerapkan delik penghinaan terhadap presiden.
Jika
kemudian delik penghinaan presiden kembali diberlakukan, berarti kita
kembali mengulang dan mengadopsi UU kolonial yang telah berusia 90
tahun. Lagipula dalam konteks demokrasi, pemberlakuan pasal-pasal KUHP
warisan colonial jelas akan membungkam kebebasan warga Negara, terutama
dalam menyampaikan pikiran dan pendapat.
Padahal, kebebasan
berpendapat merupakan hak asasi setiap warga negara dijamin konstitusi.
Artinya, pasal demi pasal perihal penghinaan terhadap presiden dan wakil
presiden jelas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28, 28E
Ayat (2), Pasal 28E Ayat (3).
Subjektivitas
Selain itu, bila
delik penghinaan terhadap presiden kembali dihidupkan, akan menciptakan
demokrasi berbasis subjektivitas. Ini karena para penegak hukum akan
terlalu mudah dan sensitif mendefinisikan perihal penentangan terhadap
kepala negara yang masih dianggap sebagai lambang negara.
Padahal,
lambang negara sudah diatur secara khusus dalam Pasal 36 A UUD 1945.
Lambang negara yang diatur dalam konstitusi adalah Garuda Pancasila
dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan bukan presiden dan wakil
presiden.
Oleh sebab itu, keinginan sebagian pihak untuk
mengembalikan delik penghinaan presiden dapat mencederai masa depan
demokrasi. Bagaimana pun demokrasi harus ditegakkan dan jauh dari
kekerasan serta ancaman.
Kita telah sepakat bila esensi demokrasi
adalah bagaimana orang bebas menentukan pilihannya. Ini sudah menjadi
konsensus bersama sebagai negara demokratis. Kita tidak ingin cara-cara
rezim Orde Baru (Orba), seperti intimidasi dan represif kembali merebak
di republik ini.
Masih lekang dalam ingatan kita, gaya
otoritarianisme yang diterapkan Orde Baru telah banyak mengekang
kebebasan berpendapat, anti, hingga memberangus hak asasi manusia (HAM).
Sejarah kelam inilah yang kemudian membuat publik meminta Presiden
Jokowi membatalkan rencana menghidupkan delik penghinaan presiden.
Pada
akhirnya, kita bersepakat menjaga masa depan demokrasi dengan cara-cara
terpuji dan pantas. Namun, tentunya bukan dengan tindakan yang berupaya
mengembalikan budaya feodal dan Orde Baru, dengan membangun formulasi
kepemimpinan nasional yang egaliter, bukan antikritik. Oleh sebab itu,
menolak kembalinya pasal penghinaan presiden merupakan cara terbaik agar
rakyat tidak kembali mengalami penindasan ala Orde Baru.
Akan lebih
arif dan bijak bila Presiden Jokowi, DPR, dan media massa dapat bahu
membahu memberikan kesadaran akan pentingnya mengedepankan kebebasan
yang berbudi luhur. Yakni, kebebasan yang bukan berarti berbuat
sekehendak hati, melainkan kebebasan yang dapat mengakui dan menghormati
adanya hak serta kewajiban setiap warga negara.
Penulis adalah peneliti Bulaksumur Empat, Mahasiswa S-2 Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) Fisipol UGM Yogyakarta.
11 Agustus 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar