Di
mana dan apa sejatinya yang harus dilakukan pegiat gerakan masyarakat
sipil (civil
social movement)
di tengah munculnya distrust
society dan
keputusasaan terhadap kaum (elite)
tua yang diangap tidak mampu menyelesaikan krisis bangsa ini? Apakah
itu harus memilih gerakan “moral” atau “politik”.
Ini
adalah dua pertanyaan yang menyiratkan kekaburan pandangan kita
tentang moralitas dan politik. Penghadapan kedua istilah tersebut
mengesankan (seolah-olah)
gerakan
politik tidak mengandung muatan moral. Sementara itu, gerakan moral
tak mengandung muatan politik (M
Yudhie Haryono, 2007).
Sejatinya,
politik adalah suatu karsa menegakkan moralitas dan rasionalitas
publik. Berpolitik adalah tindakan kalkulatif yang berdasar logika
ilmiah; bersifat dari, oleh, dan untuk manusia. Inilah yang
membedakannya dari kehidupan hewan atau binatang.
Keutamaan
manusia adalah karena nalar dan rasionya. Kecenderungan
membelah istilah “politik” dan “moral” juga sering terjadi
ketika orang Indonesia berbicara tentang legitimasi. Dikatakan bahwa
Si Pulan sudah tidak memiliki legitimasi “politik” dan legitimasi
“moral”. Padahal dalam literatur ilmu politik moralitas, aktor
politik merupakan salah satu bantalan vital dari legitimasi politik
selain faktor ideologis, kuantitas dukungan, serta kapasitas
menjalankan efektivitas pemerintahan.
Inilah
dua pertanyaan penting yang harus segera dijawab, berkenaan dengan
“kematian gerakan masyarakat sipil”. Ini karena proses transisi
demokrasi, yang seakan-akan telah memberikan “tiket gratis” bagi
partai politik (parpol) untuk menyelesaikan agenda reformasi.
Mengasah
nalar politik (political
instinc)
dan memotivasi gerakan sosial masyarakat di Tanah Air dengan demikian
menjadi sangat relevan dan penting. Hal ini memerlukan pembacaan
naluri publik yang tajam.
Untuk
membangun nalar politik publik yang tajam, diandaikan ada
pembelajaran politik (civic
education)
bagi masyarakat. Dengan
begitu, tindakan
berpolitik, menurut Hannah Arendt (1973),
merupakan salah satu human
condition yang
berbasis aksi bersama dalam memperjuangkan kepentingan secara
berkeadaban (civic).
Menurut
Hannah Arendt (1977),
human
condition terdiri
atas tiga hal, yaitu work,
labor,
dan action.
Work
merujuk
ke pengoperasian sarana-sarana indrawi baik dalam bentuk “kerja
mental” ataupun “kerja fisik”.
Labor
merujuk
ke tindakan manusia sebagai homo
faber (pembuat
alat) yang berbasis keterampilan. Sementara itu, action
merujuk
ke tindakan bersama sebagai konsekuensi dari manusia sebagai zoon
politicon.
Arendt
menuliskan, “Menjadi warga politik berarti hidup di dalam suatu
polis, tempat segala sesuatu diselesaikan lewat argumentasi dan
persuasi, bukan lewat kekerasan dan paksaan.”
Dalam
tradisi Yunani, memaksa orang lewat kekerasan—kebiasaan mengomando
ketimbang membujuk—dinilai sebagai cara prapolitik yang dinisbatkan
kepada karakterisitik orang-orang yang hidup di luar polis. Kata
“politik” dengan demikian menyiratkan kehidupan ideal yang
diimpikan. Bila saat ini politik menjadi kata yang berlumuran
caci–maki dan terkesan hampa moralitas, pastilah ada yang tidak
beres dalam sejarah kehidupan politik kita.
Oleh
karena itu, pembelajaran politik bisa dimulai dari membangun
kesadaran moral (moral
consciousness atau
moral
conscience)
terhadap hak individu dan hak publik. Tentu saja hak itu disertai
kewajiban yang harus dilaksanakan dalam bermasyarakat dan bernegara.
Hak individu merupakan hak setiap individu yang wajib dilindungi dan
dijamin negara
melalui
undang-undang (UU) yang berlaku.
Hak
individu, misalkan, hak dasar mendapatkan sandang, pangan, dan papan
secara layak. Sementara itu, hak publik seperti hak mendapatkan
pendidikan yang layak, persamaan di mata hukum, berkumpul dan
berserikat, mengemukakan pendapat baik lisan maupun tulisan yang
dijamin UU, memperoleh serta mengakses informasi publik secara luas,
memperoleh bantuan dalam bentuk subsidi bagi rakyat yang kurang
mampu, termasuk hak mendapatkan berbagai sarana dan
prasarana/fasilitas publik secara mudah.
Namun
untuk mewujudkan itu semua, pertama, masyarakat terutama lapisan
sosial paling bawah mesti dibangkitkan memori kolektifnya (collective
memory)
akan peran dan fungsi dalam kehidupan sosial/komunitas sosial (social
community).
Kedua, memori kolektif masyarakat dibangun guna mengonstruksi
kesadaran individu menjadi kesadaran kolektif (from
individual conciousness to collective consciousness).
Studi
dari Eyerman dan Jamison (1991:
56)
menemukan, ada beberapa pola perkembangan gerakan sosial. Pertama,
gerakan sosial tumbuh melalui semacam siklus hidup (life
cycle)
dari
tahap persiapan (gestation),
disusul tahap pembentukan (formation),
menuju tahap konsolidasi (consolidation).
Gerakan sosial jarang muncul secara spontan, tetapi memerlukan
jangka waktu persiapan.
Kedua,
tidak ada gerakan sosial yang berhasil tanpa tersedianya “kesempatan
politik” (political
opportunity),
konteks ketertampungan masalah-masalah sosial, serta konteks
komunikasi yang membuka kemungkinan bagi artikulasi masalah dan
penyebarluasan gagasan.
Ketiga,
gerakan sosial tidak dapat hadir, kecuali ada individu-individu yang
siap mengambil bagian di dalamnya, yang bersedia mentransformasikan
masalah pribadi menjadi masalah publik dan mau terlibat dalam
pembentukan identitas kolektif.
Akan
tetapi, memasifkan gerakan sosial tersebut tidak cukup mengandalkan
kesadaran sosial kolektif, apalagi hanya mengandalkan kesalehan
sosial (social
cincerity).
Masyarakat harus berkesadaran politik (political
consciousness),
di samping berkesadaran hukum.
Apalagi
di
tengah maraknya kasus korupsi dan penegakan hukum yang setengah hati,
kesadaran politik maupun hukum bagi masyarakat menjadi sangat
penting. Masyarakat yang berkesadaran politik tinggi dan diiringi
kesadaran mematuhi aturan hukum akan mampu menjalankan fungsi serta
peran sosialnya (social
function).
Keadaan
harus segera diubah demi terciptanya masyarakat sipil yang kuat dan
berkeadaban (strong
and civic society).
Nalar politik rakyat juga harus semakin diasah dan dipertajam.
Pendidikan
yang mencerahkan (aufklarung)
dan membebaskan merupakan jawaban dalam mengasah nalar politik dan
membaca naluri publik. Pendidikan politik (civic
education)
harus dimulai sedini mungkin dari usia dini, di mana tiap orang
memahami hak dan tanggung jawabnya masing-masing.
Hak
dan tanggung jawab bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat
dipisahkan satu sama lain. Keduanya merupakan satu pertautan dan
kesatuan yang saling bersinergi. Tidak ada kebebasan yang satu
mengganggu kebebasan yang lain.
*Penulis
adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa,
intelektual muda Nadhlatul Ulama.
24 September 2014
http://www.sinarharapan.co/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar