Jurnalisme berdaya jelas atau explainatory journalism perlu digalakkan
kembali ketika seluruh sendi kehidupan kita dipengaruhi media sosial dan
atau sejenisnya dengan segala konsekuensinya. Sejumlah pakar, termasuk
Richard Florida, dosen Universitas Toronto, Kanada, berpendapat peran
explainatory journalism?yang merupakan bagian melekat dengan media
mainstream?perlu digalakkan kembali sebagai bagian dari upaya menggiring
masyarakat ke arah yang benar.
Hal ini dilakukan ketika
teknologi dengan seluruh sistemnya mengubah perilaku konsumen dan
proses penyebaran informasinya melanggar semua standar yang dipatuhi
media mainstream. Pola pikir konsumen informasi, kata Richard dalam
bukunya, The Great Reset, menjadi sangat linear. Apabila tidak diatasi,
peran otak, emosi, dan konsentrasi manusia akan tergerus karena sebagian
besar peran berpikir dan berasa dari konsumen, diambil alih teknologi.
Perubahan
norma jurnalistik media mainstream sudah terlihat pada dasawarsa ‘80-an
dengan munculnya jurnalis foto yang dikenal dengan julukan paparazi
atau tukang kuntit. Mereka menembus narasumber yang umumnya selebritas,
tokoh politik dan bisnis dengan berbagai cara dalam perangai kerja yang
agresif serta tidak mengindahkan risiko yang dihadapi narasumber. Media
mainstream memerlukan foto eksklusif karena berdaya jual tinggi.
Kematian Lady Di, Princess of Wales pada 31 Agustus 19997 di Paris,
tidak terlepas dari keberingasan paparazi yang memburu mobil Lady Di dan
pacarnya, Dodi Al Fayed.
Dalam beberapa tahun belakangan ini,
jurnalisme tukang kuntit mengalami transformasi ke suatu bentuk lebih
lunak yang dikenal dengan infotainment (information entertainment)
dengan mengekspos kehidupan pribadi selebritas. Publikasi kehidupan
pribadi selebritas dan seluruh kegiatan artistik mereka pada dasarnya
suatu hal yang sah-sah saja. Namun, bila mengacu kepada definisi
infotainment, fokus peliputan bukan semata selebritas, tetapi juga
bidang-bidang lain seperti pendidikan, di antaranya pengajaran
Matematika dan bahasa asing. Hal yang kedua itu lebih menyangkut cara
dan proses pengajaran yang disampaikan secara rileks agar anak didik
tidak bosan. Pengertian kita tentang infotainment sebagai bagian yang
melekat dengan selebritas, tak perlu dipersoalkan karena itulah kita,
Celebrity Society.
Banyak pihak yang mengeluh bahwa alokasi
jam tayang yang begitu panjang pada waktu ramai (prime time) mengesankan
bahwa selebritas adalah tokoh sentral dalam kehidupan bermasyarakat.
Siaran langsung berjam-jam atas pernikahan selebritas meneguhkan kesan
tadi. Memang sulit dibantah, jurnalisme selebritas meraup iklan yang
begitu besar karena pemirsa memusatkan perhatian kepada sesuatu yang
menarik, sesuatu yang erotik; yang dikorbankan dalam infotainment adalah
kepantasan.
Media Sosial
Penemuan teknologi baru
seperti smartphone, Youtube, Facebook, dan Twitter membawa norma baru
dalam penyebaran informasi dan mengubah sistem kepercayaan konsumen
terhadap informasi yang disalurkan outlet tadi. Ini merupakan akibat
dari karakter jurnalistik yang melibatkan pengguna dalam jumlah besar
(massive participation) dan proses produksi yang serba-instan. Akibat
dari karakter semacam itu, konsumen tak perlu percaya akan apa yang
disimaknya.
Muncul pertanyaan: apakah standar kerja media
sosial bisa digolongkan ke dalam mashab jurnalistik? Jawabannya ya,
kecuali satu persyaratan yang dicopot yakni kepercayaan. Media sosial
tak memerlukan itu. Ini memang subjektif dan subjektivitas itu mulai
menjalar ke media televisi mainstream, terutama saluran berita.
Penulis
mengangkat sebuah contoh. Seorang pendeta di sebuah gereja Indonesia di
negara bagian Maryland, AS, dalam khotbahnya mengeluh tentang betapa
kasarnya kampanye pemilihan presiden tahun 2014 di Indonesia di media
sosial. Ejekan, cemoohan, dan fitnah antara dua kubu calon presiden
merupakan sajian utama media sosial, terutama Facebook. Seusai
kebaktian, beberapa jemaat terlibat dalam diskusi tentang apa yang telah
disampaikan sang pendeta. Ketika giliran saya angkat bicara, saya
mengatakan, media sosial tak perlu dipercaya karena kepercayaan bukan
merupakan keutamaan. Hasilnya nanti akan berbanding terbalik dengan apa
yang dikatakan media sosial.
Benar saja, proses pemungutan
suara berlangsung mulus dan hasil awalnya dapat diketahui pada hari yang
sama. Standar kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan semua pihak yang
terlibat–terutama para relawan–sudah berada dalam satu kelas dengan
kerja KPU Amerika Serikat (AS) yang sudah ratusan tahun menjalankan
pemilu. Sekadar perbandingan, India yang dikenal sebagai gudangnya pakar
teknologi informatika dan wilayahnya kontinental, proses pemilu perdana
menteri yang berlangsung baru-baru ini memakan waktu dua minggu untuk
mengetahui siapa pemenangnya.
Penulis adalah wartawan dan anggota National Press Club, Washington DC.
21 Juli 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar