PERNYATAAN Kepala Kepolisian RI (Kapolri), Jenderal Badrodin Haiti,
terhadap insiden penembakan di Tolikara sangat tegas. Terkesan, ia tak
ragu menyimpulkan, penembakan yang terjadi pada kerusuhan Jumat (17/7)
di wilayah Papua itu, merupakan konsekuensi dari pelanggaran yang
dilakukan sekelompok orang di Kabupaten Tolikara. Polisi dalam peristiwa
itu, melakukan penembakan sebagai opsi terakhir sebagai upaya menjamin
konstitusi, yakni kebebasan beragama dan menjalankan ibadah.
Pelarangan
terhadap muslim setempat untuk melaksanakan salat id oleh siapa pun di
sana, adalah jelas menafikan konstitusi. “Penembakan itu wujud dari
upaya negara untuk menjamin konstitusi harus tegas. Sebanyak 12 korban
tertembak itu bagian dari risiko,” tutur Badrodin di Mabes Polri,
Jakarta, Senin (20/7). Kapolri juga dengan mantap menyatakan, tidak ada
negara yang menjunjung tinggi demokrasi, namun membatasi warga negaranya
menjalankan ibadahnya masing-masing. Indonesia, sebagai negara
berdemokrasi, pastinya juga menjunjung tinggi kebebasan yang dijamin
dalam Deklarasi Universal HAM ini.
“Saya menjelaskan di mana pun
negara demokrasi tidak ada kegiatan ibadah dilarang. Itu ada dalam
konstitusi dan hak asasi manusia (HAM),” ujarnya. Ketegasan aparatur
negara, sebagaimana dikatakan Kapolri, juga ditegaskan Menteri Agama
Lukman Hakim Saifuddin. Ia terang mengatakan, larangan beribadah di
Indonesia dapat tergolong melanggar konstitusi.
Itu karena
setiap warga negara harus menjunjung tinggi dan melaksanakan konstitusi.
Lewat keterangan persnya, politikus Partai Persatuan Pembangunan ini
menyatakan, konstitusi menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk
memeluk agama dan beribadah menurut agama yang dipeluknya. Lebih jauh,
ia juga menegaskan, institusi agama yang melarang, terlebih melakukan
kekerasan terhadap umat beragama lain yang sedang beribadah, dapat
dianggap melecehkan konstitusi.
Ketegasan kedua pejabat negara
ini sangat menyejukkan sekaligus menenangkan warga negara Indonesia,
utamanya para pemeluk enam agama yang ditegaskan dalam perundangan.
Pernyataan Kapolri bahkan bisa dianggap sebagai jaminan tegas, siapa
yang mengganggu warga Indonesia beribadah sesuai agamanya, dengan
intimidasi dan kekerasan, akan berhadapan dengan Polri.
Konstitusi
Indonesia, yakni UUD ’45 jelas menegaskan akan jaminan kebebasan
beragama, dalam Pasal 28E ayat (1). Ditegaskan bahwa “Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.”
Peran negara untuk itu juga dinyatakan pada Pasal
29 Ayat (2), yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya
untuk memeluk agama”. Sayangnya, ketegasan serupa sepertinya absen dalam
banyak peristiwa bernuansa sama; pembatasan bahkan pelarangan warga
negara menjalankan ibadahnya. Dalam isu yang sama, Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) saja mencatat ada sepuluh jenis pelanggaran
HAM yang dilaporkan sepanjang kurun tiga bulan; April hingga Juni 2015.
Pelapor
Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komisi ini mencatat di
antaranya ada penyegelan, penutupan dan pelarangan terhadap rumah
ibadah dan kegiatan beribadah pada Masjid Al-Hidayah milik jemaat
Ahmadiyah di Depok, Musala An-Nur di Bukit Duri Jakarta Selatan,
penghentian pembangunan Masjid Nur Mushafir di Kupang, penutupan Musala
As-Syafiiyah di Denpasar Bali. Khusus kasus di Bukit Duri, yang notabene
di Jakarta, warga bersama lurah, ketua RW dan ketua RT setempat memaksa
JAI Bukit Duri menghentikan seluruh kegiatannya. Polisi tak melarang
pemaksaan tersebut.
Sementara itu, di Aceh Singkil, sejak 2012
penyegelan terhadap 19 gereja juga dilakukan pemerintah setempat.
Peraturan Gubernur Tahun 2007 tentang Rumah Ibadah, juga disebut sebagai
akar persoalan, mempersulit kelompok minoritas mendirikan rumah ibadah
di sana. Di Aceh, beberapa organisasi juga diadili, dengan tudingan
“sesat”. Intoleransi juga terjadi di Provinsi Jawa Barat. Di sejumlah
kasus di atas, negara terkesan menafikan hak asasi warganya. Bahkan,
pada kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor yang jemaatnya
kerap beribadah di depan Istana Negara, hukum dan aparaturnya seolah
raib.
Gereja masih disegel, meski Mahkamah Agung telah
mengeluarkan putusan bahwa bangunan GKI Yasmin legal. Esensi kebebasan
beragama memang bukan sebatas pada datang dan beribadah pada rumah
ibadah. Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU), Musdah Mulia berpendapat, ada
sejumlah unsur dalam kebebasan beragama. Termasuk bebas berpindah agama
atau kepercayaan, dan bebas memanifestasikan ritual agamanya. Ini
berlaku bagi semua umur, gender, dan kelas sosial. Berbagai penjabaran
dari kebebasan beragama itu, juga seharusnya dilindungi, bukan sebatas
pada rumah ibadah dan kegiatannya. Polri dan Kementerian Agama juga
menjalankan fungsi-fungsi negara untuk itu.
22 Juli 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar