Perayaan Idul Fitri 1436 H atau Lebaran sudah terlaksana. Lebaran
menjadi momentum membahagiakan sekaligus menyedihkan bagi muslim.
Bahagia karena telah menuntaskan ibadah puasa Ramadan dan berharap
menggapai derajat takwa. Sedih karena indahnya Ramadan telah berlalu dan
tidak ada jaminan tahun depan bertemu kembali. Lebaran sarat makna bagi
umat Islam di Nusantara.
Banyak pendapat yang menjelaskan
seputar sejarah Lebaran. MA Salamun (1954) menerangkan, kata “Lebaran”
berasal dari tradisi Hindu yang berarti “selesai, usai, atau habis”.
Artinya, menandakan habisnya masa puasa. Para wali memperkenalkan
istilah Lebaran agar umat Hindu yang baru masuk Islam saat itu tidak
merasa asing dengan agama yang baru dianutnya. Hal ini diperkuat
budayawan Umar Khayam yang menyatakan tradisi Lebaran menunjukkan hasil
terobosan akulturasi antara budaya Jawa dan Islam.
Apa pun itu
Lebaran memiliki banyak pesan selain spiritual, salah satunya adalah
pesan sosial. Pesan ini diharapkan dapat ditangkap dan dioptimalkan ke
depan. Dinamika Ramadan dan Lebaran memiliki multi-aspek nilai. Semua
nilai tersebut terkerangka dalam bingkai spiritual dan menjadi satu
kesatuan yang tidak dipisahkan. Tuntunan teologis dan perkembangan
tradisi pelaksanaan Lebaran salah satunya memberikan hikmah berupa
nilainilai sosial. Pertama adalah zakat. Zakat merupakan kewajiban
muslim yang berdimensi sosial ekonomi. Perintah zakat disebutkan dalam
Alquran bersanding dengan perintah salat dalam kurang lebih 82 ayat.
Filosofi teologis zakat adalah untuk membersihkan segala harta yang
sudah mencapai ketentuan dengan pengalihan kepada fakir miskin (QS 9:
60). Zakat dengan demikian memiliki peran strategis mengurangi
kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Apresiasi patut diberikan
kepada DPR dan pemerintah yang telah mengesahkan Undang-Undang (UU) No
23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Selain zakat, ada bentuk lain dengan
konsep sama, tetapi teknis sedikit berbeda, antara lain sedekah, infak,
dan wakaf. Kedua adalah mudik. Mudik merupakan tradisi besar Islam di
Nusantara pada setiap Lebaran. Umumnya mudik dilakukan mulai H-7 hingga
H+7 Lebaran yang dijadikan libur bersama. Mudik memberikan banyak
manfaat, mulai sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya. Mudik membuktikan
perantau masih mencintai kampung halaman dan dapat dioptimalkan bagi
pembangunan desa. Aktivitas mudik menciptakan perputaran uang yang
begitu besar dan cepat (velocity of money). Ketiga adalah budaya
sungkem. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sungkem
berarti sujud (tanda bakti dan hormat). Sungkem dilakukan dari anak ke
orang tua.
Tujuannya ialah sebagai lambang penghormatan dan
media permohonan maaf atau “nyuwun ngapura” (Djarir, 2010). Budaya ini
meneguhkan sikap penghormatan antara generasi muda terhadap generasi
tua. Keempat adalah silaturahmi. Selama rentang mudik dan libur Lebaran,
agenda besar yang jamak dilakukan adalah silaturahmi. Silaturahmi mulai
dari keluarga inti, tetangga, teman sejawat, hingga semua pihak yang
berinteraksi. Iklim ini positif bagi pembangunan ukhuwah dan ikatan
sosial.
Kelima adalah halalbihalal atau syawalan. Djarir (2010)
memaparkan, tradisi ini dirintis KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal
dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu,
tenaga, pikiran, dan biaya, setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan
antara Raja dengan para penggawa dan prajurit secara serentak di balai
istana. Intinya adalah saling memaafkan. Selain nilai sosial yang penuh
hikmah dan positif di atas, dinamika Lebaran juga memberikan ruang bagi
hadirnya beberapa kerawanan dan mudarat. Terjadinya kerawanan tergantung
dari penyikapan dan kesempatan yang dibuka publik sendiri. Pertama
adalah perilaku konsumerisme. Ramadan dan Lebaran tidak dimungkiri
memberikan godaan konsumerisme baik untuk kebutuhan pangan maupun
sandang.
Hal ini ironis mengingat esensi Ramadan sejatinya
adalah pengendalian hawa nafsu. Godaan tercipta seiring dengan budaya
hedonis dan materialisme yang secara halus mulai memasuki kehidupan
masyarakat. Lebaran menjadi puncak konsumerisme dengan tingkat belanja
tinggi dan variatif. Akibatnya dapat dilihat dengan naiknya harga
kebutuhan dan barang di setiap masa Lebaran. Kedua adalah benturan
budaya. Benturan ini kadang terjadi dari dinamika mudik, antara perantau
dengan penduduk lokal. Perantau membawa budaya perkotaan dengan gaya
mencolok dan individualis. Hal ini dapat mengundang kesenjangan sosial
ekonomi.
Selain itu, hal tersebut berpotensi tertransformasi
bagi generasi di desa. Hingga menggoda pemuda desa ikut merantau ketika
arus balik tiba demi impian perbaikan nasib di kota. Ketiga adalah
kerawanan kriminalitas. Aktivitas mudik menyebabkan perkotaan menjadi
sepi, jalan-jalan padat merayap, dan desa ramai. Selain itu, perputaran
uang dan barang cukup tinggi.
Hal ini mengundang kesempatan
terjadinya kriminalitas di semua tempat, seperti pencurian, perampokan,
copet, gendam, dan pelecehan seksual. Pesan Optimalisasi Kunci
optimalisasi dari nilai sosial Lebaran adalah bagaimana menguatkan hal
positif dan meminimalkan potensi negatif di atas. Semua pihak dan sektor
penting mengupayakannya demi terciptanya dinamika Lebaran yang aman,
nyaman, dan damai. Selain itu, diharapkan musim Lebaran dengan segala
hiruk pikuknya dapat diambil hikmahnya oleh setiap orang. Pemerintah
mesti menjamin keamanan dan kenyamanan pemudik agar lancar.
Fasilitasi
aktivitas sosial Lebaran juga penting diperhatikan, misalnya
pengelolaan dan distribusi zakat. Pemerintah juga penting memberikan
teladan melalui pemimpin agar momentum Lebaran dapat menjadi media
silaturahmi antara pemimpin dan rakyat. Selain saling memaafkan, dapat
dioptimalkan untuk refleksi dan menyerap aspirasi. Antarpemimpin politik
dapat pula menunjukkan keharmonisan di tengah kompetisi demokrasi
melalui silaturahmi politik. Masyarakat khususnya muslim dan pemudik,
penting menyerap hikmah sosial Lebaran secara mendalam.
Output
yang diharapkan adalah terbangunnya ikatan sosial, kesetiakawanan
sosial, hingga pemberdayaan umat. Pemuka agama, seperti ulama, ustaz,
dan kiai menjadi garda terdepan dalam transformasi nilai sosial Lebaran.
Pihak swasta mestinya memberikan ruang dan fasilitas untuk agenda
Lebaran, misalnya melalui pemberian waktu libur, tunjangan hari raya
(THR), dan lainnya. Swasta bisnis juga penting tidak memanfaatkan
Lebaran dengan membabi buta, seperti merekayasa harga agar melambung.
Iklim sosial antara swasta dengan karyawan atau masyarakat dapat
dibangun melalui sedekah atau CSR serta silaturahmi Lebaran.
Nilai
sosial Lebaran menjadi modal berharga bagi pembangunan bangsa jika
dapat dioptimalkan. Selain itu, ini membuktikan peran Islam yang
rahmatan lil ‘alamin. Kuncinya adalah adanya keseriusan pemerintah,
peran pemuka agama, serta kesadaran dan partisipasi umat. l Penulis
adalah Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration
(CPubliCA).
22 Juli 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar