Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar pada 1-2 Agustus 2015, mengusung
“Gerakan Pencerahan menuju Indonesia Berkemajuan”. Sebagai gerakan
keagamaan, Muhammadiyah selama ini memberi kontribusi pada penebaran
pemahaman kepada masyarakat, akan pentingnya menjunjung nilai-nilai
penghargaan terhadap perbedaan agama.
Seiring terus
berlangsungnya iklim perubahan yang dimulai dari era Reformasi,
nilai-nilai Islam (sebagai ushuliyyah) yang diusung bergeser, utamanya
akibat dari banyak munculnya ormas keislaman baru yang cenderung lebih
fanatis dan fundamentalistik. Bahkan, pemahaman yang
fanatik-fundamentalistik itu kian hari kian tumbuh dalam idealisme di
sebagian masyarakat Islam.
Pemahaman itu kemudian menjadi
sebentuk gerakan massif yang melandasi munculnya ormas-ormas keislaman
baru. Ormas-ormas keislaman lama seperti Muhammadiyah dan juga Nahdlatul
Ulama (NU) dalam wacana politik nasional cenderung menjadi semakin
“termarginalkan” karena digantikan kemunculan ormas keislaman baru yang
menghiasi media-media massa.
Meski pemahaman fundamentalistik
dalam peta sosial masyarakat Islam terasa semakin tumbuh, terutama
karena kemunculannya yang menghiasi media-media massa, menurut Azyumardi
Azra (Indonesia, Islam and Democracy, 2006), kaum muslim yang memiliki
pemahaman seperti itu, maupun kaum muslim yang tergabung dalam
ormas-ormas Islam yang boleh dikatakan sebagai gerakan fundamentalis,
tetap hanya gerakan periferal dalam masyarakat Islam Indonesia secara
menyeluruh.
Pada intinya, ciri muslim Indonesia (masih) tetap
moderat, dalam pengertian tetap menjalankan syariat Islam sehari-hari.
Syariat tidak harus distrukturasi ke dalam bentuk aturan kenegaraan yang
resmi, akan tetapi dipahami sebagai aturan kultural masyarakat Islam
semata, seperti menjalankan salat setiap hari lima kali, menjalankan
puasa selama Ramadan, melakukan haji, dan menunaikan zakat.
Namun,
periferalisasi aktivis maupun ormas Islam yang dikategorisasi sebagai
gerakan fundamentalis itu, jika terus dibiarkan, boleh jadi akan terus
bertambah dan ideologisasinya bisa terus membumi dalam masyarakat Islam
di Indonesia secara menyeluruh. Dengan bahasa lain, penelitian yang
sudah dilakukan bahwa fenomena fundamentalisme Islam selama ini
cenderung hanya dilihat pada masyarakat muslim perkotaan (urban
society).
Boleh jadi jika terus dibiarkan, ideologisasi
gerakannya bisa masuk di wilayah-wilayah muslim pedesaan dan
pesantren-pesantren. Di sinilah letak tantangan ormas Islam seperti
Muhammadiyah dan NU. Bagaimana kedua ormas ini bisa membendung fenomena
gerakan fundamentalisme dalam Islam. Paling tidak, ada tiga modus
bagaimana pemahaman fundamentalistik dari perkotaan itu bisa masuk di
wilayah-wilayah pedesaan dan pesantren.
Pertama, melalui media
massa. Dalam hal itu, pertumbuhan media cetak yang dipublikasi aktivis
maupun gerakan fundamentalis, dikemas dengan tema dan wacana yang
menarik perhatian banyak kalangan Islam; sehingga bisa menyebar dan
memengaruhi cara berpikir masyarakat Islam umumnya, menuju cara berpikir
yang fanatis dan fundamentalistik.
Kedua, melalui dakwah-dakwah
yang menyebar di ruang-ruang pendidikan, baik di sekolah, kampus, maupun
pesantren. Pola transmisi ideologis aktivis dan gerakan fundamentalis
ialah melalui jalur-jalur kultural di bidang pendidikan.
Ketiga,
melalui aktivitas politik. Aktivis dan gerakan fundamentalis lazimnya
masuk dalam dunia politik dan ambisinya, adalah merebut suara masyarakat
Islam seluas-luasnya.
Selesaikan Problematika
Pemahaman
fundamentalistik, terutama yang selama ini diusung para aktivis Islam
fundamentalis, misalnya menganggap negara tak bisa menyelesaikan
problematika krisis social; seperti kemiskinan, kebodohan, serta
“penyakit masyarakat” lainnya (soal prostitusi, penyalahgunaan narkoba
yang meluas) tak bisa diselesaikan, bahkan keadaannya bertambah buruk.
Semua ini karena negara tidak memberlakukan aturan-aturan yang berangkat
dari ajaran Islam.
Negara mestinya kembali pada sumber dan
spirit ajaran Islam, jika menginginkan perubahan yang signifikan bagi
pengentasan masalah sosial tersebut. Islam tidak menjadi spirit dan
sumber bagi tatanan kenegaraan, bagi aktivis Islam fundamentalis. Oleh
sebab itulah, dalam birokrasi dan departemen pemerintahan masih berjalan
praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang membuat negara dan
bangsa ini terus dilanda secara bertubi-tubi oleh berbagai krisis
sosial, ekonomi, dan politik.
Urusan publik terbengkalai,
kesejahteraan tak didapatkan, keadilan tak dirasakan, karena adanya
korupsi. Korupsi terjadi karena tidak adanya kepastian hukum, tidak
adanya ketegasan hukum, karena hukum yang digunakan negara ini, menurut
aktivis Islam fundamentalis, adalah hukum yang tidak dijalankan
berdasarkan syariat Islam. Demikian, terjadinya pergeseran sosial Islam
yang menuju ke arah fundamentalisme, terpicu karena beberapa hal.
Pertama,
karena ketidakpercayaan terhadap negara. Negara dianggap sangat korup
karena dijalankan roda birokrasi yang sudah keluar dari nilai-nilai
Islam. Korupsilah sumber malapetaka dan krisis yang dialami bangsa
Indonesia.
Kedua, Islam tidak menjadi faktor signifikan dalam
strukturasi negara. Islam tidak dianggap sebagai sumber dan spirit bagi
penyelesaian berbagai krisis yang menimpa bangsa ini. Penyakit-penyakit
sosial yang melanda masyarakat kian tumbuh subur karena tidak adanya
tindakan tegas dari negara.
Ketiga, negara terlalu mengakomodasi
kepentingan-kepentingan dari Barat (AS dan sekutunya), baik dalam
persoalan sistem kenegaraan, demokrasi, maupun campur tangan ekonomi.
Sedangkan di sisi lain, antara kepentingan Barat dan masyarakat Islam di
Indonesia umumnya selalu terjadi kutub biner.
Tatanan nilai dari
Barat juga diyakini turut menyebarkan nilai-nilai yang amoral dalam
masyarakat Islam khususnya, sehingga menjadi kian terpuruk. Adanya
kecenderungan ormas Islam fundamentalis yang menginginkan segala sesuatu
harus dikembalikan pada sumber-sumber ajaran Islam. Sementara menafikan
keragaman bangsa Indonesia yang pluralistik dan multikulturalistik
semacam ini sudah mulai tumbuh dalam masyarakat Islam, yang meskipun
masih bersifat periferal, namun harus diredam serta meluruskan
pemahaman.
Penulis adalah peneliti Madya Institute for Social Research and Development, tinggal di Jakarta.
04 Agustus 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar