JIKA
Qanun Jinayat (Pidana) sebagai bagian dari pemberlakuan syariat Islam
di Aceh disahkan pada Jumat (26/9) atau paling lambat Oktober 2014,
kita tak akan lagi melihat Indonesia di Aceh.
Pemandangan
Indonesia sebagai sebuah kesatuan bangsa yang didukung kebinekaan,
yang menghargai keberagaman, yang menghormati perbedaan, dan yang
mendorong pluralisme, tak akan lagi kita lihat di Aceh.
Sebagai
ganti, kita akan melihat wajah bangsa yang seragam, penuh kecemasan,
selalu takut berbuat salah, tak berani bersikap beda karena khawatir
kena berangus, dan tumpul kreativitas.
Bukan
tidak mungkin, ke depan kita benar-benar tak mengenali bumi Aceh
sebagai bagian dari Indonesia.
Membaca
pasal-pasal dalam Qanun Jinayat, kita akan menemukan hukum-hukum
agama yang sangat keras yang diberlakukan di masa lalu dan di
sejumlah negara yang menerapkan syariat Islam.
Qanun
tersebut menerapkan larangan soal konsumsi minuman keras (khamar),
maisir
atau
perjudian, khalwat
atau
berdua-duaan di tempat sepi dengan lawan jenis yang bukan muhrim,
juga ikhtilath
(perbuatan
bermesraan seperti bercumbu, bersentuh-sentuhan, berpelukan, dan
berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami-istri
dengan kerelaan kedua belah pihak, baik di tempat tertutup atau
terbuka).
Selain
itu, diatur tentang zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf
atau menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat mengajukan paling
kurang empat saksi. Qanun
Jinayat juga mengatur soal liwath
atau
gay dan musahaqah
atau
lesbian.
Dalam
Qanun Jinayat disebutkan, hukuman bagi gay atau lesbian adalah
hukuman cambuk paling banyak 100 atau denda paling banyak 1.000 gram
emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.
Ajaibnya,
qanun ini juga diberlakukan bagi warga nonmuslim. Meskipun pihak
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengatakan bahwa ada perbedaan
perlakuan bagi nonmuslim yang melakukan pelanggaran—karena bisa
memilih apakah mau dirujuk dengan Qanun Jinayat atau KUHP—tetap
saja qanun yang bernuansa syariat Islam ini diberlakukan untuk semua.
Bahkan,
jika pelanggaran yang dilakukan nonmuslim tidak diatur dalam KUHP,
otomatis pelaku akan diserahkan ke penyidik dan di sidang di Mahkamah
Syariah untuk mengadili.
DPRA
mengklaim, qanun tersebut telah dikoordinasikan dengan Mahkamah
Agung, mendagri, dan menkopolhukam. Tampaknya tak ada keberatan soal
itu.
Namun,
marilah kita coba melihat dengan perspektif yang lebih luas. Kita
mengakui kekhususan Aceh. Meskipun ia bagian dari Indonesia, ia
berhak untuk “berbeda”. Mirip dengan Hong Kong terhadap Tiongkok,
meskipun yang satu provinsi, dan satunya negara.
Tiongkok
mengizinkan Hong Kong memiliki sistem yang sama sekali berbeda dengan
Tiongkok.
Pers,
misalnya, yang mendapatkan kebebasan terbatas di Tiongkok,
mendapatkan akses kebebasan seluasnya di Hong Kong. Namun, soal
urusan demokrasi langsung, Tiongkok berhati-hati.
Karena
jika Hong Kong dibiarkan melakukan pemilihan langsung tanpa tahapan,
gelombang ini bisa menyeret instabilitas politik di Tiongkok.
Sistem
sosialis yang dibangun sejak 1949 dan bertahan dari gempuran zaman,
bisa berakhir dengan mudah jika gelombang demokrasi liberal—salah
satu pintu masuknya adalah pemilihan langsung—dibiarkan terjadi
secara gegabah di Hong Kong.
Pada
titik inilah, kita perlu belajar dari Tiongkok. Bukan mengenai soal
demokrasi langsung atau tak langsung, melainkan soal menjaga esensi
“Menjadi Indonesia.”
Indonesia
tak pernah didirikan hanya oleh satu golongan dan ditujukan untuk
satu golongan.
Dalam
pidatonya tentang Pancasila, 1 Juni 1945, Soekarno, bapak bangsa itu,
menekankan bahwa Indonesia adalah semua buat semua. Buat yang Islam,
Kristen, Jawa, Sunda, nasionalis, bahkan—kata Soekarno—juga buat
yang komunis.
Kita
setuju dengan Soekarno bahwa Indonesia adalah negara yang didirikan
semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan,
baik golongan bangsawan, maupun golongan kaya, melainkan semua buat
semua.
Sekali
lagi, kita tidak mencoba mementahkan keistimewaan Aceh. Namun jika
kita salah bersikap terhadap Aceh, termasuk salah satunya terlalu
longgar membiarkan Aceh mengatur “keseragaman berbangsa”, kita
benar-benar harus siap kehilangan Aceh.
Indonesia
memiliki akar dan sejarah panjang yang bisa menyatukan perbedaan,
bukan dengan cara memaksakan keseragaman, melainkan dengan
menghormati keberagaman.
Apa
yang hendak dilakukan Aceh dengan Qanun Jinayat tampaknya jauh dari
penghargaan terhadap keberagaman.
Mereka
sedang memaksa warga untuk menyeragamkan pemikiran yang sempit,
tetapi menuntut orang-orang di luar Aceh menghargai hal itu sebagai
bentuk “perbedaan.”
Kita
benar-benar prihatin jika negara cuci tangan dan membiarkan hal itu
terjadi.
25 September 2014
http://www.sinarharapan.co/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar