Sabtu, 29 Agustus 2015

Sungai Riwayatmu Kini

SUNGAI, selain sebagai urat nadi perekonomian juga menjadi sumber kehidupan petani dan petambak karena memasok air untuk irigasi pertanian dan sirkulasi air tawar dan air payau. Sungai juga menjadi sumber energi pembangkit listrik.

Sungai yang bersih menjadi objek pariwisata. Sayang, saat ini sungai sedang sakit, bahkan beberapa di antaranya kritis. Kondisi ini menimbulkan dampak ikutan dalam bentuk banjir dan kekeringan.

Sungai tak lagi mampu menampung air larian yang makin besar di musim hujan. Makin besarnya air larian menyebabkan cadangan air tanah menyusut sehingga menimbulkan kekeringan sebagaimana kita alami sekarang. Data tentang kerusakan daerah aliran sungai (DAS) juga terus meningkat.

Tahun 1984 tercatat 22 DAS rusak, tahun 1992 meningkat 39 DAS dan tahun 1998 menjadi 59 DAS, dan saat ini lebih dari 70% DAS dalam kondisi kritis. Persoalan kedua adalah pencemaran. Sungai ibarat supermarket, segala macam benda bisa kita temui. Di Jawa Tengah, tercatat 136 sungai dalam kondisi tercemar.

Karena berbagai hal itulah, sungai dalam kondisi kritis, sumbangannya untuk kehidupan kita makin merosot. Legenda Joko Tingkir tinggal kenangan. Kini Bengawan Solo tampil sebagai sungai yang menakutkan. Di sepanjang DAS, warga dihantui ketakutan datangnya banjir manakala musim hujan.

Imbalan Uang 

Banjir besar terjadi tahun 1966 dan 2008. Akhir 2008, banjir di DAS Bengawan Solo menimbulkan kerugian sangat besar, yaitu di Kabupaten Sragen Rp 232,728 miliar, Kota Solo Rp 36,5 miliar, Blora Rp 9 miliar, sedangkan di Jatim yang meliputi Bojonegoro, Lamongan, Tuban, dan Gresik mencapai Rp 589, 18 miliar.

Faktor penyebab kerusakan dan pencemaran sungai tak lepas dari sikap penonjolan ego daerah. Indikasi dari sikap itu adalah sewaktu banjir selalu diikuti saling lempar tanggung jawab. Banjir Jakarta menyalahkan Depok dan Bogor.

Demikian pula Wonogiri yang menjadi hulu Bengawan Solo jadi tumpuan kesalahan atas banjir sungai terpanjang di Jawa itu. Banjir dan pencemaran di Sungai Babon yang berhulu di Ungaran, tengahnya di Semarang, dan hilirnya di wilayah Demak juga selalu menjadi sumber polemik.

Demak selalu teriak karena pencemaran yang diakibatkan buangan limbah dari Semarang. Kota Semarang pun mengeluhkan alih fungsi lahan di Ungaran memicu terjadi banjir di wilayah bagian timur. Sesungguhnya konsep one river, one plan, dan one management telah diadopsi kelompok-kelompok masyarakat.

Di Sungai Cidanau, Serang, Banten, para pemangku kepentingan duduk bersama guna menyepakati pola pengelolaan sungai berdasarkan prinsip imbal jasa lingkungan. Mereka yang berjasa di hulu dengan menanam dan memelihara tanaman penghijauan dengan jumlah/luasan tertentu, mendapatkan imbalan dalam bentuk uang dari pengguna di tengah dan hulu, yakni perusahaan air minum dan industri.

Pasalnya industri itu menikmati air Sungai Cidanau dalam kuantitas dan kualitas memadai. Kali Code di Yogyakarta juga dikelola baik oleh komunitas sungai yang terdiri atas masyarakat, LSM, akademisi, dan dunia usaha berdasarkan prinsip mundur, munggah, dan madhep.

Mundur artinya memundurkan rumah guna memberi ruang bagi sempadan sungai. Munggah artinya membangun rumah vertikal karena keterbatasan lahan dan supaya tak menjarah sempadan sungai. Madhep artinya menghadapkan rumah ke sungai untuk mendorong penghuni merawat sungai sehingga selalu tampak temata.

Inisiatif serupa sebenarnya telah dirintis pemkab/pemkot yang dilewati Sungai Batanghari, Jambi, yang mengelola dengan prinsip bio-region sejak awal 2002. Kota dan kabupaten yang dikitari di Teluk Balikpapan juga menyusun rencana strategis untuk mengelola dengan pola eco-region. Hasil nyata telah ditunjukkan oleh komunitas sungai yang tumbuh dari bawah.

Kongres Sungai Indonesia (KSI) pada 26-30 Agustus 2015 di Banjarnegara, kongres kali pertama tentang sungai, kita harapkan bisa mempertajam persoalan akut sungai. Tentunya juga membedah akar penyebabnya dan mengambil pelajaran dari beberapa langkah yang dilakukan pemangku kepentingan. Selanjutnya, merumuskan rencana tindak mengembalikan fungsi sungai sebagai sumber kehidupan dan peradaban.

26 Agustus 2015 oleh: Sudharto PHadi
http://berita.suaramerdeka.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar