Data FAO (2008) menyebutkan, Indonesia menempati peringkat keempat
produsen perikanan dunia setelah China, Peru, dan AS. Sayangnya, nilai
ekonomis produksi perikanan kita hanya menempati peringkat kesepuluh
dunia. Kalah dibandingkan Vietnam dan Thailand.
Hal yang mirip juga terjadi di dalam negeri. Kawasan Timur Indonesia
(KTI), yang memiliki lautan paling luas dibandingkan daerah lain,
sebenarnya menyimpan potensi perikanan melimpah karena merupakan
pertemuan arus air dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Namun,
sayangnya produksi perikanan di beberapa provinsi KTI, seperti Papua,
NTT, dan Maluku Utara, masih terbilang rendah. Tiga provinsi tersebut
juga merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
bidang kelautan pun, pembangunan bidang kelautan (perikanan) belum
menjadi arus utama dan prioritas dalam pembangunan nasional. Padahal,
sejalan dengan hasil studi McKinsey Global Institute, sektor kelautan
(perikanan) sebagai empat pilar utama selain sumber daya alam,
pertanian, dan jasa yang bisa membawa Indonesia menjadi negara dengan
perekonomian terbesar nomor tujuh di dunia pada 2030.
Secara teknis, keterbatasan infrastruktur, rendahnya aliran investasi,
kurangnya inovasi teknologi, lemahnya SDM, serta banyaknya pencurian
ikan oleh pihak asing menjadi faktor penghambat. Selain itu, kebijakan
ekonomi mikro yang tidak berpihak, gonjang-ganjing politik, lemahnya
penegakan hukum nasional, serta kelembagaan yang tidak kondusif bagi
pembangunan perikanan, merupakan hambatan struktural.
Selama kedua masalah ini belum dapat dipecahkan, potensi perikanan
Indonesia, yang bisa diibaratkan sebagai “raksasa tidur” itu, hanya
menjadi “harta karun” terpendam.
Sinergi
Sejarah perikanan ditandai kecenderungan perubahan produksi subsisten
untuk keperluan sendiri menjadi produksi untuk pasar. Transformasi
tersebut merupakan persyaratan bagi peningkatan produktivitas. Selain
memungkinkan pengadaan pangan bagi mayoritas penduduk yang bekerja di
sektor lain.
Hal tersebut juga telah meningkatkan pendapatan mereka yang bekerja di
sektor ini. Meski, tentu saja, tidak menutup kemungkinan, akibat
struktur pasar yang timpang dan diskriminatif serta anjloknya harga di
pasar komoditi, membuat nelayan berorientasi pasar bisa bernasib lebih
buruk ketimbang, misalnya, petani subsisten karena lebih tergantung pada
kondisi alam.
Meski demikian, sebuah strategi pembangunan perikanan berkelanjutan
tidak berarti kembali ke perikanan berorientasi subsisten. Hal yang
seharusnya dilakukan adalah memengaruhi proses di mana tiga
dimensi—masing-masing ketahanan pangan, pengamanan pendapatan, dan
pembangunan berkelanjutan—yang dalam penerapannya sering mempunyai
tujuan yang saling bertentangan (Zielkonflikte), agar bersinergi satu
dengan lainnya.
Bagi sektor perikanan, secara bertahap harus diadakan optimalisasi
penangkapan ikan sambil menjaga kelestarian laut. Artinya, selain
peningkatan fishing effort (upaya tangkap) dan intensitas penangkapan
(jumlah nelayan dan jumlah kapal ikan, termasuk pembangunan galangan
kapal ikan), harus pula dilakukan semacam pemetaan, daerah mana saja
yang telah overfishing dan perlu “diistirahatkan” dan mana saja yang
belum dan perlu dimanfaatkan secara optimal.
Secara umum, yang menghadapi kesulitan dalam pengamanan pangan adalah
para nelayan gurem. Hal ini juga disebabkan urban bias dalam kebijakan
pemerintah yang lebih menguntungkan, atau mengacu pada kepentingan orang
kota. Salah satu faktor penting dalam pembangunan perikanan
berkelanjutan berkaitan dengan terumbu karang dan mangrove (hutan
bakau).
Terumbu karang Indonesia yang luasnya 60.000-86.000 kilometer persegi
adalah, sama dengan seperdelapan luas terumbu karang dunia. Sayangnya,
nasib terumbu karang tak seindah bentuknya. Buktinya, hasil penelitian
2001 oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan mencatat setidaknya 70
persen terumbu karang di perairan Indonesia dalam keadaan rusak parah.
Akibatnya, Indonesia menderita kerugian sekitar 2 juta ton ikan per
tahun. Kerugian juga dirasakan nelayan tradisional yang umumnya tidak
melaut melebihi 12 mil dari tepi pantai. Dari waktu ke waktu, hasil
tangkapan nelayan terus merosot, mengakibatkan ongkos melaut lebih besar
dibandingkan hasil penjualan ikan.
Hal yang mirip berlaku pula pada hutan mangrove yang dianggap sarang
nyamuk dan hanya berguna sebagai kayu bakar. Padahal, akar-akar napas
mangrove dapat menstabilkan pantai dengan menangkap berbagai bahan, baik
dari darat maupun laut sehingga menjadi ekosistem yang sangat subur.
Perikanan Berkelanjutan
Pembangunan perikanan berkelanjutan mensyaratkan pembalikan resep-resep
standar selama ini, baik itu berupa kebijakan modernisasi lewat program
“Revolusi Biru” yang dicanangkan pemerintah saat ini, maupun usulan
alternatif seperti cara berproduksi subsisten, kebijakan swasembada
pangan serta kampanye antiekspor. Selain itu, perlu optimalisasi
penyesuaian pada ekologi (lokal), serta persyaratan ekonomi dan sosial.
Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan, yang
lebih penting adalah penghasilan yang diperoleh nelayan serta kestabilan
dan distribusi produknya, dibandingkan apa jenis produk yang (harus)
dihasilkan.
Dikaitkan dengan lemahnya ekonomi dan kehidupan rumah tangga nelayan,
persiapan ke depan harus mencakup upaya memberdayakan nelayan. Ada
paradigma yang sengaja dibangun di masa lalu yang mengatakan, amat sulit
bahkan tidak mungkin nelayan bebas kemiskinan karena kulturnya tidak
mendukung.
Kenyataan di mancanegara menunjukkan banyak contoh yang merupakan
pembalikan paradigma tersebut. Tentu saja, dalam kondisi saat ini,
dibutuhkan program pemihakan sehingga gap antara nelayan kecil dan para
“bandar” ikan dan pengusaha bisa diperkecil.
Perikanan berkelanjutan sangat tergantung pada pembangunan struktur
perdesaan, terutama desa pesisir yang terintegrasi secara regional dan
nasional. Dalam kaitan ini, beberapa bidang berikut berperan menentukan.
Pertama, struktur pemilikan dan penghasilan yang berperan dalam
pendistribusian pendapatan. Kedua, struktur kelembagaan yang mengamankan
dan boleh jadi merupakan persyaratan bagi proses pemerataan yang
menguntungkan nelayan tradisional bermodal kecil, seperti pemasaran dan
akses kredit, konseling perikanan, serta peningkatan posisi tawar secara
politis. Ketiga, infrastruktur material dan sosial seperti pendidikan,
kesehatan, transportasi, dan komunikasi. Terakhir, perbaikan struktur
ekonomi, terutama berkaitan dengan bidang perikanan serta ketersediaan
lapangan kerja di luar sektor perikanan.
Sektor kelautan tidak boleh hanya dipandang dari sudut hubungan antara
nelayan dan laut, tetapi dalam keterkaitan struktural pembangunan
pedesaan yang, tentu saja, juga tergantung pada perkembangan nasional
maupun global. Untuk itu, penghasilan nelayan harus menjadi ukuran
situasi ekonomi penduduk pedesaan.
Selain itu, pemberlakuan kebijakan perikanan berkelanjutan mensyaratkan
transformasi sosio-kultural, berupa pengembangan kearifan tradisional,
pembaruan pemahaman tentang pembangunan serta penilaian baru tentang
kondisi dan persyaratan ketahanan alam. Semoga Indonesia, khususnya KTI,
yang sumber daya perikanannya berlimpah, secepatnya terbangun dari
tidur panjangnya.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Institut Pendidikan Demorasi (IDE), Koordinator Target MDG (2007-2010).
04 Maret 2014
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar