NILAI tukar rupiah terus menyusut, ekspor pun susah didongkrak dan
cadangan devisa tidak pernah bertambah, bahkan makin mengecil.
Semua indikator ekonomi seakan-akan tidak banyak memberi harapan
perbaikan. Dalam situasi demikian, siapa pun mereka, rakyat jelata atau
rakyat bermahkota, pasti berpikir dengan dua opsi: (1) diam menunggu
keajaiban hingga ekonomi datang sesuai harapan atau (2) mencari
alternatif kekuatan yang bisa mengatasi persoalan.
Opsi mana yang diambil? Tergantung kemampuan kita menganalisis
persoalan sehingga ditemukan jalan keluar yang efektif dan signifikan.
Potensi yang selalu saya yakini bertahan, bahkan menjadi starter membuat
ekonomi reboundadalah industri rokok.
Industri rokok adalah aktivitas ekonomi yang tidak pernah mengenal
resesi, output-nya tidak pernah terhantam gelombang krisis ekonomi.
Walaupun iklan produksinya makin terbatas, baik jam tayang maupun ruang
premium tempat penayangan, serta ruang-ruang publik untuk merokok makin
dibatasi.
Tahun 1969, produksi rokok 14,3 miliar batang, 39 tahun kemudian,
tepatnya 2008 mencapai 250 miliar batang dan 2014 tidak kurang dari 340
miliar batang. Kontribusi produksi rokok Jawa Tengah berada pada
peringkat kedua, setelah Jawa Timur, sebesar 30% terhadap total produksi
nasional.
Selain itu, Jawa Tengah produsen tembakau nasional ketiga terbesar,
setelah Jawa Timur dan NTB. Berdasarkan data tabel input output 2008,
tenaga kerja yang diserap 242 ribu orang, angka itu belum termasuk
tenaga kerja di sektor cengkih, tembakau dan industri tembakau bukan
rokok. Total tenaga kerja dari empat sektor itu sekitar 414 ribu orang.
Di tingkat nasional, sektor industri rokok beserta pendukungnya,
termasuk sektor perdagangan riil, diperkirakan menyerap 6 juta tenaga
kerja. Kontribusinya terhadap penerimaan APBN selalu pada kisaran 6%-
6,5%.
Tahun 2014 pendapatan CHT sekitar Rp 118 triliun, 2015 sekitar Rp 125
triliun atau naik 7,2%. Perolehan sebesar itu diharapkan oleh
pemerintah dari tiga hal, yaitu peningkatan produksi, kebijakan
penyesuaian tarif CHT dan harga dasar barang kena cukai serta extra
effort pemberantasan cukai ilegal.
Sejak 2008 pemerintah menerapkan Pasal 66 AUU 39/2007, di mana
penerimaan negara dari CHT yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada
provinsi penghasil cukai hasil tembakau 2%, yang dikenal dengan istilah
dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).
Sumbangan Signifikan
DBHCHT adalah dana yang ditransfer ke pemprov dalam bentuk dana bagi
hasil. Tahun 2015 Jawa Tengah mendapat alokasi DBHCHT Rp 544,41 miliar
atau 3,2% dari total APBD Jateng 2015 sebesar Rp 17,097 triliun.
Sumbangan itu cukup signifikan dalam memperkuat APBD Jawa Tengah.
Bagaimana kuatnya APBD tersebut jika saja pengembalian DBHCHT ke
daerah dinaikkan jadi 10% maka APBD Jateng mendapat transfer DBHCHT dari
pusat Rp 3 triliun-Rp 3,5 triliun sehingga sangat membantu mewujudkan
cita-cita Gubernur Ganjar Pranowo: Jawa Tengah dengan infrastruktur
hebat.
Pemerintah sampai hari ini belum meratifikasi konvensi pengendalian
rokok dunia (Framework Convention on Tobbaco Control/FCTC) yang
diinisiasi WHO dan diteken lebih dari 150 negara.
Pemerintah telah menerbitkan PP109 Tahun 2012 tentang Pengamanan
Bahan yang Mengandung Zat Aditif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan
yang merupakan penjabaran Pasal 116 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Regulasi itu paling keras sanksinya dibanding regulasi lain yang ada.
Jika saja regulasi ini diterapkan ketat, dampaknya akan mendorong
penurunan kinerja di sektor industri rokok. Pemerintah harus memikirkan
exit strategy jitu untuk mengatasi PHK massal dari industri ini dan
turunnya sumbangan CHT bagi penerimaan negara.
Bagi provinsi rokok seperti Jateng dan Jatim, kebijakan yang bersifat
kontraproduktif terhadap kinerja industri rokok akan berimplikasi luas
dan mendalam bagi perekonomian regional secara keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar