Sabtu, 29 Agustus 2015

Menghadapi Regulasi Keras

NILAI tukar rupiah terus menyusut, ekspor pun susah didongkrak dan cadangan devisa tidak pernah bertambah, bahkan makin mengecil.

Semua indikator ekonomi seakan-akan tidak banyak memberi harapan perbaikan. Dalam situasi demikian, siapa pun mereka, rakyat jelata atau rakyat bermahkota, pasti berpikir dengan dua opsi: (1) diam menunggu keajaiban hingga ekonomi datang sesuai harapan atau (2) mencari alternatif kekuatan yang bisa mengatasi persoalan.

Opsi mana yang diambil? Tergantung kemampuan kita menganalisis persoalan sehingga ditemukan jalan keluar yang efektif dan signifikan. Potensi yang selalu saya yakini bertahan, bahkan menjadi starter membuat ekonomi reboundadalah industri rokok.

Industri rokok adalah aktivitas ekonomi yang tidak pernah mengenal resesi, output-nya tidak pernah terhantam gelombang krisis ekonomi. Walaupun iklan produksinya makin terbatas, baik jam tayang maupun ruang premium tempat penayangan, serta ruang-ruang publik untuk merokok makin dibatasi.

Tahun 1969, produksi rokok 14,3 miliar batang, 39 tahun kemudian, tepatnya 2008 mencapai 250 miliar batang dan 2014 tidak kurang dari 340 miliar batang. Kontribusi produksi rokok Jawa Tengah berada pada peringkat kedua, setelah Jawa Timur, sebesar 30% terhadap total produksi nasional.

Selain itu, Jawa Tengah produsen tembakau nasional ketiga terbesar, setelah Jawa Timur dan NTB. Berdasarkan data tabel input output 2008, tenaga kerja yang diserap 242 ribu orang, angka itu belum termasuk tenaga kerja di sektor cengkih, tembakau dan industri tembakau bukan rokok. Total tenaga kerja dari empat sektor itu sekitar 414 ribu orang.

Di tingkat nasional, sektor industri rokok beserta pendukungnya, termasuk sektor perdagangan riil, diperkirakan menyerap 6 juta tenaga kerja. Kontribusinya terhadap penerimaan APBN selalu pada kisaran 6%- 6,5%.

Tahun 2014 pendapatan CHT sekitar Rp 118 triliun, 2015 sekitar Rp 125 triliun atau naik 7,2%. Perolehan sebesar itu diharapkan oleh pemerintah dari tiga hal, yaitu peningkatan produksi, kebijakan penyesuaian tarif CHT dan harga dasar barang kena cukai serta extra effort pemberantasan cukai ilegal.

Sejak 2008 pemerintah menerapkan Pasal 66 AUU 39/2007, di mana penerimaan negara dari CHT yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau 2%, yang dikenal dengan istilah dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).

Sumbangan Signifikan

DBHCHT adalah dana yang ditransfer ke pemprov dalam bentuk dana bagi hasil. Tahun 2015 Jawa Tengah mendapat alokasi DBHCHT Rp 544,41 miliar atau 3,2% dari total APBD Jateng 2015 sebesar Rp 17,097 triliun. Sumbangan itu cukup signifikan dalam memperkuat APBD Jawa Tengah.

Bagaimana kuatnya APBD tersebut jika saja pengembalian DBHCHT ke daerah dinaikkan jadi 10% maka APBD Jateng mendapat transfer DBHCHT dari pusat Rp 3 triliun-Rp 3,5 triliun sehingga sangat membantu mewujudkan cita-cita Gubernur Ganjar Pranowo: Jawa Tengah dengan infrastruktur hebat.

Pemerintah sampai hari ini belum meratifikasi konvensi pengendalian rokok dunia (Framework Convention on Tobbaco Control/FCTC) yang diinisiasi WHO dan diteken lebih dari 150 negara.

Pemerintah telah menerbitkan PP109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Aditif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang merupakan penjabaran Pasal 116 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Regulasi itu paling keras sanksinya dibanding regulasi lain yang ada. Jika saja regulasi ini diterapkan ketat, dampaknya akan mendorong penurunan kinerja di sektor industri rokok. Pemerintah harus memikirkan exit strategy jitu untuk mengatasi PHK massal dari industri ini dan turunnya sumbangan CHT bagi penerimaan negara.

Bagi provinsi rokok seperti Jateng dan Jatim, kebijakan yang bersifat kontraproduktif terhadap kinerja industri rokok akan berimplikasi luas dan mendalam bagi perekonomian regional secara keseluruhan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar