Perombakan kabinet sebelum peringatan ke-70 proklamasi kemerdekaan RI
ternyata tidak serta-merta membuat pemerintahan solid dan mampu bergerak
cepat mengatasi keadaan ekonomi yang memburuk. Silang pendapat yang
muncul dari sejumlah menteri justru memperkeruh keadaan, yang tentu
saja membingungkan masyarakat.
Hal tersebut merupakan tantangan
baru bagi Presiden Joko Widodo. Ia harus mampu menyamakan visi para
anggota kabinet, menyelaraskan langkah, meningkatkan koordinasi dan mutu
komunikasi mereka. Bila tidak, keadaan akan semakin tak terkendali
karena masyarakat menerima sinyal negatif dan arah yang jelas ke mana
pemerintah akan menuju. Perekonomian kita bisa semakin meriang karena
upaya pemerintah tidak fokus dan kurang terkoordinasi dengan baik.
Kita
menerima sinyal yang buruk ketika menko kemaritiman yang baru, Rizal
Ramli, secara terbuka mengkritik kebijakan koleganya. Tudingan Rizal
berkaitan dengan rencana pembelian pesawat Airbus oleh Garuda Indonesia,
pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW, dan proyek kereta api
supercepat Jakarta-Bandung. Kritik terbuka oleh seorang anggota kabinet
terhadap sesama pejabat tinggi, tentu saja, terdengar sangat aneh,
membingungkan, dan tidak produktif.
Apalagi Rizal juga menuding
adanya konflik kepentingan di balik proyek-proyek tersebut. Tidak jelas
apa yang dimaksudkan Rizal dengan adanya conflict of interst dalam
proyek-proyek raksasa tersebut. Namun bagi awam, pengalaman memberikan
pelajaran bahwa konflik kepentingan itu bisa berupa penguasaan proyek
tertentu, fee, kick back, mark up, rente, dan semacamnya. Ditengarai
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih berlangsung.
Kepentingan
terselubung seperti itu yang oleh Rizal dipandang tidak sesuai lagi
dengan slogan pemerintahan Jokowi-JK, yaitu revolusi mental. Kebiasaan
lama pejabat pemerintah yang buruk dan merugikan keuangan negara harus
dikikis habis. Rekayasa proyek tertentu demi keuntungan pribadi maupun
kroninya merupakan praktik lama yang seharusnya ditinggalkan
pemerintahan Jokowi-JK ini.
Tonjokan Rizal, tentu saja,
menimbulkan keresahan. Dari dulu ia dikenal vokal. Namun, sebagai
anggota kabinet, cara dan gayanya tidak bisa diterima karena buruk
secara manajemen pemerintahan. Apalagi ia seorang menteri senior yang
seharusnya memberikan contoh bagaimana berkoordinasi dengan baik,
sehingga misi pemerintah bisa berjalan mulus.
Terlepas dari
cara dan gaya Rizal Ramli yang keluar dari tata krama pemerintahan, kita
bisa menukik pada substansinya. Hampir pasti pemerintah akan berusaha
meredam isu pokok yang disoroti Rizal dan suasana akan bisa
diharmoniskan. Namun, publik berhak memperoleh penjelasan lebih jauh
mengenai tudingan adanya conflict of interest yang melibatkan pejabat
tinggi pemerintah di balik proyek-proyek tadi.
Masyarakat akan
terus menduga-duga adanya fee dan komisi bernilai ratusan miliar, bahkan
mungkin triliunan rupiah, yang diperoleh pejabat tinggi tertentu karena
berjasa mengegolkan proyek untuk kemenangan pihak tertentu. Bila dugaan
ini benar, pemerintahan Jokowi tak beda dengan penguasa sebelumnya,
yang membiarkan suburnya praktik kongkalikong alias KKN.
Ini
ironi kita. Bila dibiarkan, hal tersebut akan menggerogoti pemerintahan
Jokowi sendiri, seperti yang terjadi pada masa Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Ketidaktegasan SBY telah dimanfaatkan sejumlah pembantunya untuk
menggaruk keuntungan dari proyek-proyek pemerintah, sehingga beberapa
menteri dan politikus dijebloskan ke penjara.
Citra SBY dan
Partai Demokrat hancur dalam beberapa tahun terakhir kekuasaannya
sehingga kalah telak dalam pemilu tahun lalu. Secara sangat cerdas
Jokowi yang didukung PDIP mengusung tema “revolusi mental” untuk
memperbaiki pemerintahan yang korup, sehingga menarik puluhan juta
pemilih untuk mengantarkannya menjadi presiden.
Namun, tantangan
bagi Jokowi apakah ia mampu memimpin pemerintahan yang bersih dan
berorientasi pada kepentingan rakyat. Jokowi tidak lagi bisa bersembunyi
dari sorotan publik karena pemerintahannya belum berprestasi, bahkan
tidak mampu menahan penurunan kinerja ekonomi yang terus berlanjut.
Pertumbuhan ekonomi terus menurun, nilai rupiah merosot, dan harga-harga
barang makin mahal.
Dalam keadaan seperti ini, apa pun akan
disorot publik dan pemerintah akan disalahkan. Bila benar ada konflik
kepentingan di balik proyek-proyek raksasa tadi, dan Jokowi
membiarkannya, itu sangat melukai rakyat. Hal tersebut sangat tidak adil
karena KKN dibiarkan merajalela di tengah kehidupan rakyat yang makin
susah.
Ada dua hal yang harus dilakukan Jokowi. Pertama, menjewer
Rizal Ramli dan memastikan agar ekonom senior itu bisa menjaga
pernyataannya, meningkatkan koordinasi, dan memacu kinerja kementerian
dalam lingkupnya. Kedua, Jokowi harus memastikan pemerintahannya
terbebas dari praktik KKN yang justru akan menggerogoti kewibawaannya.
Pemerintah
tidak bisa lagi beranggapan bahwa “keadaan baik-baik saja” karena
kondisi riil memang tidak bagus. Kita berharap, waktu ke depan
digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan koreksi sejalan slogan revolusi
mental agar pemerintahan diabdikan untuk sebesar-besar kesejahteraan
rakyat.
18 Agustus 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar