Sebagai organisasi sosial terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU)
tampil sebagai salah satu kekuatan sipil yang mempunyai peran besar
dalam menopang eksitensi negara Indonesia. Sebagai pendiri NU dan
Muhammadiyah, KH Hasyim Asyíari dan KH Ahmad Dahlan adalah dua sahabat
yang pernah dalam satu pesantren yang sama di bawah asuhan KH Sholeh
Darat.
Ketika sudah selesai belajar di pesantren dan pulang untuk berdakwah,
objek dakwahnya berbeda, maka cara dakwahnya pun berbeda pula.
Kelahiran Khittah NU sebagai garis, nilai, dan jalan perjuangan ada
bersamaan dengan tradisi dan nilainilai di pesantren dan masyarakat NU.
Sedangkan dakwah Muhammadiyah lebih kontemporer dalam pemberdayaan
ekonomi umat. Sekarang, warga binaan kedua ulama tersebut telah
berkembang dan mempunyai jamaah berjuta-juta di negeri ini.
NU telah menjelma menjadi salah satu ormas Islam terbesar di
Indonesia dan dalam perjalanan negeri ini, komitmen NU untuk negara
tidak diragukan lagi dalam menjaga keutuhan NKRI. Para ulama NU telah
sukses mengawal perjalanan negara dengan baik sampai detik ini. Tata
kelola organisasi pun dalam berdakwah lebih tertata dengan baik dan
dipertanggungjawabkan semua aktivitas dakwahnya dalam sebuah muktamar.
Muktamar tersebut berfungsi sangat penting dan strategis, karena
tidak hanya membahas program-program NU ke depan, melainkan juga
berkaitan erat dengan proses pergantian kepemimpinan (suksesi). KH
Sholahudin Wahid, KH Asíad Ali, KH Said Aqil Siroj, dan Muhammad Adnan
MA adalah figur-figur terbaik yang dimiliki NU dalam Muktamar Ke-33 di
Jombang.
Sedangkan Muhammadiyah melaksanakan Muktamar Ke-47 di Makassar dalam
kepemimpinan yang berbeda mulai dari era KH Ahmad Dahlan, KH Ibrohim, KH
Hisyam, KH Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusuma, Buya AR Sutan Mansyur, HM
Yunus Anis, KH Ahmad Badawi, KH Faqih Usman, KH AR Fachruddin, KH Azhar
Basyir MA, Prof Dr Amien Rais hingga Prof Dr Din Syamsuddin. Setiap
pemimpin Muhammadiyah sukses dengan ciri khas masing-masing dalam
memperdayakan umat.
Kedua muktamar ini hendaknya jangan hanya dimaknai sebagai ajang
pergantian pengurus. Muktamar memiliki pesan dan tujuan yang jauh lebih
mulia dari sekadar rebutan ketua atau pengurus lembaga.
Kompetisi boleh-boleh saja dalam muktamar, namun tetap harus
dilakukan dengan etika dan integritas yang tinggi sesuai ajaran Islam.
Jangan sampai karena adanya perbedaan, akhirnya membuat keutuhan umat
menjadi berantakan. Tidak diperkenankan pemaksaan dengan segala cara,
apalagi menggunakan uang dan melibatkan kekuasaan untuk mencapai pucuk
pimpinan ormas Islam tersebut.
Bersaing sehat , sehingga menghasilkan pemimpin yang hebat yang
akhirnya dapat memberikan sumbangsih bagi kemajuan bangsa dan negara.
Siapa yang terpilih dalam muktamar, warga NU dan Muhammadiyah harus
menghormati. Ahmad Riyatno, SAg, MPdI Jalan Medoho Barat 7/9 Sambirejo Gayamsari, Semarang
NU Jangan Terjebak Politik
Salah satu penyebab Muktamar NU di Jombang gaduh sampai membuat Gus
Mus menangis dan malu kepada para pendiri NU, menurut saya, adalah
syahwat politik para nahdliyyin yang begitu besar dan konflik
kepentingan yang melilit para petinggi organisasi Islam terbesar di
Indonesia ini. Sebelumnya dikabarkan, politikus PKB menguasai arena
muktamar di Jombang.
Keprihatinan Gus Mus adalah keprihatinan kami semua, kaum nahdliyyin.
Pengunduran diri beliau dari pencalonan rais aam adalah kekalahan
kelompok Khittah NU di tengah mayoritas politikus atau peserta muktamar
yang berafiliasi ke politik praktis. Bukan soal kekalahan penggagas ahlu
halli wal aqdi (AHWA) dari kelompok pengusung voting.
Mundurnya Gus Mus sebagai pertanda habisnya tokoh pendukung Khittah
NU yang menolak politisasi jamiyah. Setelah wafatnya KH Sahal Mahfudh,
kini tidak ada lagi kiai karismatik yang berani melawan arus terhadap
derasnya syahwat politik tokohtokoh NU. Kiai Sahal dan Gus Mus adalah
sedikit pemimpin Syuriah NU yang dalam diamnya tetap istikamah dan
konsekuen menjaga martabat NU.
Saya tidak tahu lagi siapa yang dapat mempertahankan martabat dan
perjuangan NU sebagai jamiyah yang mengayomi anggotanya dan menuntun
bangsa Indonesia meraih masa depannya. Kalau terhadap NU saja tega
membuat gaduh, apalagi kepada orang lain di luar NU. Astaghfirullah
al-adziim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar